Indonesia.go.id - Usaha Berbasis Kayu Tetap Jalan, Hutan Pun Tetap Lestari

Usaha Berbasis Kayu Tetap Jalan, Hutan Pun Tetap Lestari

  • Administrator
  • Kamis, 19 September 2019 | 03:52 WIB
INDUSTRI
  Industri kayu Indonesia. Foto: Jatengprov

Industri pengolahan kayu kini tidak lagi kesulitan untuk memperoleh bahan baku. Mereka banyak menyerap kayu dari hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat.

Di satu perempatan jalan, antara Surabaya menuju Jember, tepatnya di Jatiroto, Lumajang, tampak satu mobil mini truk dengan muatan penuh keluar dari sebuah desa. Selang beberapa menit kemudian, mini truk sejenis pun juga keluar dari mulut jalan desa tersebut.

Kedua mini truk itu tidak bermuatan kosong, tapi penuh kayu-kayu dengan diameter 40-50 cm Selidik punya selidik, desa di Kecamatan Jatiroro itu sebagian lahannya sudah diusahakan menjadi tanaman sengon atau dikenal dengan nama latin Albizia chinensis atau yang dikenal juga dengan sebutan Albazia.

Benar, sengon kini sudah jadi tanaman primadona. Dulu, sengon hanya jadi pohon peneduh halaman. Kini setiap jengkal tanah, terutama di Jawa Timur atau Jawa Tengah, telah ditanami pohon tersebut.

Bahkan, pemilik sawah di sejumlah tempat di Jawa Timur malah mengganti tanaman padinya dengan sengon. Sengon bersama mahoni atau jati kini telah menjadi tanaman yang ditanam masyarakat, atau masuk dalam kategori hutan tanaman rakyat.

Hutan tanaman rakyat sendiri merupakan bagian dari hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup per Maret 2019, pencapaian perhutanan sosial kini sudah mencapai 2,56 juta hektar (ha), yang terdiri dari hutan desa (1,28 juta ha), hutan kemasyarakatan (245.593 ha), hutan tanaman rakyat (331.993 ha), kemitraan kehutanan (549.785 ha), dan hutan adat (28.286 ha).

Dengan tersedianya bahan baku kayu yang dihasilkan dari hutan lestari termasuk sengon itu, sejumlah industri pengolahan kayu, seperti kayu lapis atau mebel, pun tidak lagi kesulitan untuk memperoleh bahan baku. Mereka banyak menyerap kayu dari hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat.

Bagi masyarakat yang mengelola hutan tanaman berbasis hutan tanaman rakyat, mereka pun menikmati berkah tersebut. Nilai ekonomi kayu tanaman pun terus membubung seiring kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membatasi penebangan dan penggunaan  hutan alam.

Sebagai gambaran, kini harga kayu sengon dari produksi hutan tanaman rakyat terus bergerak naik dari Rp700.000 hingga lebih dari Rp1 juta per meter kubik. Harus diakui, jenis kayu ini lebih murah dibandingkan dengan kayu jati atau mahoni.

Petani bisa menanam sedikitnya 1.700 pohon di lahan seluas 1 hektar. Sambil menunggu masa panen sengon selama lima tahun, petani bisa mendapat penghasilan dari bertani palawija dan menggemukkan ternak di lahan yang sama.

Tingkat risiko terserang hama dan gagal panen hutan rakyat pun lebih kecil dibandingkan tanaman pangan, yang membutuhkan perawatan intensif dengan pupuk kimia yang mahal dan sulit diperoleh.

Setiap tahun petani memperoleh penghasilan tambahan dari menebang kayu untuk penjarangan tanaman. Saat panen, pohon sengon berumur delapan tahun setinggi 12 meter laku dijual Rp3 juta sebatang.

Berlimpah Produksi

Dengan berlimpahnya produksi dari hasil kayu yang berbasis hutan tanaman rakyat, industri pengolahan kayu, terutama mebel dan kayu lapis, tidak mengalami kendala pasokan bahan baku.

Pasokan kayu rakyat mengalir dengan deras, bahkan mereka berani memberikan harga dan kualitas yang bersaing. Persoalannya, sebagian besar industri pengolahan berbasis kayu rakyat ini masih terpusat di Pulau Jawa.

Padahal, pasar yang sempurna harus memiliki sisi permintaan dan sisi pasokan yang berimbang untuk bertumbuh. Hal ini yang membuat pemerintah terus mendorong pertumbuhan industri kayu rakyat di luar Jawa dengan berbagai kemudahan dan insentif.

Terlepas dari semua itu, upaya pemerintah yang terus mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan lestari telah memberikan berkah bagi semuanya, termasuk masyarakat dan pelaku industri yang berbasis kayu.

Bila kita memutar jarum jam ke masa lalu, industri perkayuan nasional ketika itu lebih banyak mengandalkan bahan baku kayu dari hutan alam, kini sudah bergeser dengan pemanfaatan pasokan kayu dari hutan tanaman industri (HTI) dalam jumlah yang besar, termasuk pasokan dari hutan tanaman rakyat.

Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), bahan baku untuk kebutuhan industri terutama industri perkayuan saat ini lebih banyak berasal dari pasokan hutan tanaman—dari HTI dan HTR-- yang mencapai sekitar 37 juta m3 kayu, sedangkan yang kayu bersumber dari hutan alam tinggal sekitar 5,6 juta m3.

Hampir mirip dengan APHI, data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) menyebutkan, kebutuhan bahan baku industri di bawah naungan asosiasi itu mencapai 2 juta m3. Dari total kebutuhan bahan baku itu, sebanyak 80% berasal dari hutan tanaman rakyat.

Baik bagi APHI maupun Apkindo menilai potensi industri berbasis kayu masih cukup menjanjikan. Pasar dalam negeri terutama yang terkait dengan pembangunan di sektor properti tentunya masih membutuhkan panel kayu.

Begitu juga juga pasar ekspor. Menurut World Plywood Market, pasar panel kayu dunia masih terbuka lebar. Bahkan, lembaga itu memprediksi pasar panel kayu dunia bisa mencapai USD80,1 miliar pada 2024 berbanding tahun ini yang sempat diprediksi bisa mencapai USD70,1 miliar.

Berkaca dari gambaran di atas, industri berbasis kayu sebenarnya berpotensi bangkit lagi seperti kejayaan di era beberapa tahun lalu. Pasalnya, negeri ini memiliki potensi kekayaan alam, terutama berbasis hutan yang berkelanjutan, yang masih melimpah. (F-1)