Rokok itu seperti buah simalakama. Didorong-dorong tidak mungkin, dihambat-hambat pun tidak bisa. Maka, tidak mudah mengelola kebijakan publik tentang rokok, di tengah sikap masyarakat dunia yang mendua. Cina dan Amerika Serikat (AS) adalah contohnya. Meskipun keduanya begitu giat melakukan pembatasan bagi warganya, toh industri rokoknya kian tumbuh meraksasa. Bahkan, Cina kini memasok 42 persen kebutuhan rokok dunia.
Dalam situasi ini, Pemerintah Indonesia mengambil sikap moderat, yang jamak dilakukan di berbagai negara, yakni menarik cukai yang lebih tinggi. Bagaimanapun, ada kesepakatan di seluruh negara di dunia bahwa rokok dianggap berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Kaum perokok dianggap beresiko lebih besar terpapar penyakit katastropik seperti jantung, stroke, paru, diabetes, dan kanker. Karenanya, cukai tinggi dinilai sepadan dengan jaminan layanan kesehatan yang diberikan negara bagi para konsumennya.
Pilihan itulah yang ditempuh Pemerintah RI, dengan mengenakan kenaikan tarif cukai rokok 23 persen per Januari 2020. Ditambah adanya pajak rokok 10 persen dari tarif cuka, dan PPN (pajak pertambahan nilai) 10%, maka harga jual rokok akan naik 35%. Keputusan ini diambil di sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9/2019). Keputusan ini akan diberlakukan efektif awal 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan tarif cukai itu telah dipertimbangkan secara matang. Ada isu tentang kenaikan jumlah perokok, yang kini mencapai 33,9 persen, tertinggi di dunia. Yang kedua sebagai kontrol terhadap industri rokok, yakni memastikan bahwa semua pabrikan membayar cukai. ‘’Yang ketiga untuk penerimaan negara,’’ kata Menkeu, usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan.
Dengan kenaikan tarif itu, cukai rokok ditargetkan akan menyumbang Rp173 triliun pada APBN 2020, meningkat sekitar Rp14 triliun dari tahun 2019. Kebijakan ini dikatakan tak akan berubah, meski ada kabinet baru Oktober nanti. Bahkan, dikatakannya dalam masa transisi kabinet baru akan menyiapkan pencetakan cukai baru.
Instrumen cukai memang lazim digunakan untuk membatasi lonjakan jumlah perokok. Malaysia telah lama menetapkan kenaikan cukai rokok hingga kini mencapai 59% dari harga jual rokok. Angka perokok beringsut turun, dari 23,1 persen pada 2011 menjadi 22,8 persen pada 2015. Dari cukai itu, Pemerintah Malaysia dapat memungut penerimaan negara RM 13,5 miliar, sekitar Rp46,6 triliun pada 2018.
Jika tarifnya naik 23 persen, cukai rokok di Indonesia sudah akan mencapai 57 persen dari harga rokok. Itu sudah tergolong tinggi. Di Vietnam (populasi perokok sekitar 20 persen) cukainya sekitar 42 persen. Singapura yang memiliki populasi perokok 13 persen, mencoba mengurangi jumlahnya dengan antara lain membatasi area merokok dan menetapkan cukai di atas 70 persen. Di Thailand dengan 17 persen perokok tarif cukainya menyentuh 80 persen.
Negara lain yang punya angka perokok tinggi ialah Chile (32 persen) dan Rusia (31,5 persen). Di banyak negara Barat, angka perokok juga masih cukup tinggi. Di Perancis jumlah perokok regulernya mencapai 23,1 persen, Jerman 21,1 persen, Inggris 16,3 persen, dan Amerika 15,1 persen. Turki, Mesir, dan Cina prevalensinya sekitar 22-23 persen, Korea 21 persen dan Jepang 17 persen. Hampir semuanya mematok cukai di atas 50 persen untuk rokok.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, Indonesia harus lebih bersungguh-sungguh membendung pertambahan jumlah perokoknya. Dalam beberapa tahun terakhir, prevalensi perokok anak dan remaja meningkat dari 7 ke 9 persen. Pada kurun yang sama, kaum perempuan perokok meningkat tajam dari 2,5 ke 4,8 persen. Prevalensi penyakit katastropik, yang berkaitan dengan dampak merokok, juga terus meningkat.
Namun, pemerintah juga perlu berhati-hati melaksanakan kebijakan pembatasan merokok itu agar tak mengguncang industri rokok yang sudah berkembang puluhan tahun itu. Industri rokok jadi sandaran hidup bagi jutaan rakyat Indonesia, mulai dari petani tembakau, petani cengkeh dan pekerja pabrik, di sisi produksi. Rokok menghidupi beribu-ribu pedagangan, dan kue iklan rokok yang triliunan rupiah itu menetes ke mana-mana. Kontribusi ekspornya pun mencapai USD1 miliar.
Kalangan industri rokok umumnya menunjukkan sikap terkejut atas kenaikan cukai itu, dan menyebut sebagai keputusan sepihak yang akan mengganggu ekosistem industri rokok. Yang dikuatirkan adalah, volume penjualan anjlok, rokok ilegal yang tak membayar cukai akan merajalela dan petani tembakau serta cengkih akan kesulitan karena permintaannya menyusut.
Namun, Kementerian Keuangan yakin bahwa industri rokok masih bisa tumbuh. Bukan hanya lantaran populasi perokok yang tinggi. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai punya pengalaman merazia peredaran rokok ilegal. Menurut rilis Kemenkeu, dalam beberapa tahun terakhir peredaran rokok ilegal yang tidak membayar cukai bisa ditekan dari 12 persen menjadi 3 persen. Bahkan, dengan kenaikan tarif cukai itu pun Kemenkeu yakin bahwa inflasi 2020 masih bisa dikelola di level 3,2 persen. (P-1)