Semakin ke sini, perfilman Indonesia memberikan ruang baru bagi tumbuhnya ekosistem industri yang memberikan nilai tambah. Dalam setahun ini, misalnya, ada sekitar 14 film Indonesia yang berhasil mencetak lebih dari satu juta penonton.
Prestasi itu dulu sangat sulit diraih. Tapi kini, penonton Indonesia mulai menggemari karya-karya anak bangsa yang memang semakin baik kualitasnya. Baik dari sisi penceritaan, teknik perfilaman, dukungan suara, maupun faktor lainnya.
Dikeluarkannya film dari daftar negatif investasi juga mendorong industri film dunia melirik ke Indonesia. Kolaborasi rumah produksi film besar seperti Fox atau HBO dengan para pekerja film lokal mulai banyak dilakukan.
Menurut Triawan Munaf, ada banyak rencana produksi film dunia yang berlokasi di Indonesia. Tentu saja dalam produksinya nanti akan melibatkan pekerja-pekerja film asal Indonesia.
Hal ini bukan saja akan memberikan masukan secara ekonomi, tetapi juga akan terjadi proses transfer pengetahuan dan pengalaman. Pada akhirnya kerja sama tersebut memberikan udara baru bagi produksi film nasional.
Menurut catatan, nilai produksi film asing yang berlokasi di Indonesia mencapai sekitar Rp1,4 triliun atau 100 juta dolar AS. Triawan mengaku pihak produser film dunia itu sudah menemuinya dan menyampaikan rencana tersebut.
Badan ekonomi kreatif akan lebih aktif mendorong industri film dalam negeri, termasuk produksi film dunia di tanah air. Namun demikian, diperlukan insentif dari pemerintah agar Indonesia makin dilirik sebagai salah satu lokasi pembuatan film. Sebab selain sebagai sebuah proses produksi, film pada dasarnya juga sebagai ajang promosi.
Kita bayangkan jika Indonesia sering menjadi lokasi syuting film, otomatis ini akan menjadi dampak promosi yang efektif. Agar semakin banyak produser film dunia melirik Indonesia sebagai lokasi produksinya, butuh sejumlah insentif dari pemerintah.
Dengan begitu, Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain. Sebagai contoh, pemerintah Malaysia memberikan insentif fiskal kepada para produser film internasional dalam bentuk cashback sebesar 25%.
Contoh lainnya, Perancis menjanjikan insentif biaya produksi jika sebuah film menampilkan ikon-ikon di negera itu, seperti Menara Eiffel. Sementara Indonesia satu-satunya negara di dunia yang belum punya insentif seperti itu.
Ke depan Indonesia perlu mendorong adanya aturan pemberian insentif untuk produksi film seperti itu.
Industri film memang menjadi salah satu sektor prioritas yang saat ini dikembangkan pemerintah melalui Bekraf. Bagaimana tidak, kontribusi ekonomi kreatif (ekraf) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun ini ditargetkan mencapai Rp1.200 triliun.
Tiga subsektor ekraf yang diperkirakan tumbuh paling pesat adalah film, video, dan animasi, aplikasi, serta musik. Pencabutan film dari Daftar Negatif Investasi (DNI) pada 2016 pun membuat bisnis ini semakin terbuka.
Karena itu, beberapa perusahaan film mancanegara telah melirik pasar film Indonesia. Contohnya, produser Fox Internasional Productions dari 20th Century Fox Film Corporation terlibat dalam produksi film Wiro Sableng. Sony Pictures Entertainment sedang memproduksi film di Indonesia. Perusahaan film terbesar asal Korea Selatan, Lotte, juga sedang proses ekspansi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pesatnya perkembangan perfilman nasional, diyakini akan makin tumbuh mengesankan. Pertumbuhannya bisa mencapai 20% per tahun. Itu saja sebelum pemerintah memberikan insentif kepada para pemain dunia untuk masuk ke Indonesia.
Diperkirakan dalam lima tahun ke depan, industri film Indonesia akan tumbuh dua kali lipat dibanding saat ini. Sekali lagi, untuk mendorong pertumbuhannya pemerintah perlu memikirkan insentif, khususnya kepada industri-industri besar asing yang akan mengembangkan produksinya di Indonesia. (E-1)