Indonesia.go.id - Mendorong Hingga 5,3 Persen, Mengandalkan Konsumsi

Mendorong Hingga 5,3 Persen, Mengandalkan Konsumsi

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2019 | 21:38 WIB
PERTUMBUHAN EKONOMI
  Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Fundamental ekonomi yang kuat diyakini bisa menjadi modal Indonesia untuk menghadapi ketidakpastian global. Untuk menjaga pertumbuhan, pengeluaran rumah tangga dan pengeluaran pemerintah menjadi tumpuan utama.

Tahun ini, target pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sampai 5,3% sepertinya agak sulit dicapai Indonesia. Tekanan ekonomi global dan lemahnya investasi asing masih mengganggu perekonomian. Diproyeksi maksimal, Indonesia hanya bisa tumbuh 5,2%. Ada juga yang hanya mematok 5,1%.

Bahkan kajian Bank Mandiri memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir 2019 sebesar 5,06%. Perlambatan ekonomi domestik sejalan dengan ekonomi dunia yang lesu, volume perdagangan yang menurun, dan harga komoditas yang rendah. 

Perang dagang yang masih bergulir sampai saat ini menjadi sentimen negatif utama yang memengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Ada dua kanal (channel) pengaruh perang dagang terhadap ekonomi domestik. 

Pertama, dampak langsung (direct channel) di mana perang dagang menurunkan permintaan barang dari AS dan Cina sehingga total ekspor Indonesia melemah. 

Tahun lalu, ekspor ke AS dan Cina masing-masing sebesar 10,2% dan 15,1% atau seperempat dari total ekspor Indonesia. 

Menurut hitungan setiap penurunan 1% PDB Cina akan ikut menyeret turun pertumbuhan Indonesia sebesar 0,09%. Begitu juga dengan penurunan 1% PDB AS akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,07%. 

Kedua, dampak tidak langsung yang memengaruhi perekonomian Indonesia ialah harga komoditas ekspor utama seperti CPO yang tertekan. Belum lagi, dampak dari kelebihan suplai produk Cina yang relatif murah pada pasar global, berpotensi meningkatkan risiko kenaikan impor oleh Indonesia. 

Diperkirakan komoditas utama seperti sawit dan batubara masih akan flat ekspektasi harganya sampai 2020. 

Di sisi lain, mesin pendorong ekonomi yaitu pertumbuhan investasi juga belum bisa diandalkan. Kuartal II-2019, pertumbuhan pengeluaran investasi justru menurun jadi 5,01%, dari 5,03% di kuartal sebelumnya. 

Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mengandalkan mesin domestik yaitu konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Sepanjang tahun ini, tren pertumbuhan  konsumsi meningkat dan mencapai 5,17% pada kuartal kedua lalu. 

Jadi tantangannya sekarang bagaimana menjaga konsumsi rumah tangga ini tetap di atas level pertumbuhan di 2017 dan 2018. Dengan menjaga konsumsi, biasanya Indonesia akan tetap resilien di tengah cycle ekonomi global yang ke bawah karena porsi konsumsi mencapai 56% PDB.

Di tengah pelemahan ekonomi global, pemerintah akan fokus menggarap sektor-sektor yang terjangkau dalam jangka pendek (low-hanging fruit sectors) seperti pariwisata, makanan, dan minuman, FMCG, dan infrastruktur. Pemerintah juga mesti menata dan mengembangkan potensi perekonomian lokal di daerah-daerah dengan berkoordinasi lebih erat dengan pemerintah daerah. 

Sementara itu kajian Bank Indonesia mengatakan memang laju pertumbuhan ekonomi domestik cenderung melemah. Potensi pertumbuhan ada, tapi tidak besar untuk saat ini. 

Namun, rumah tangga dan pemerintah masih mampu melakukan pengeluaran yang kuat. Naiknya konsumsi pemerintah seiring mengikuti besaran PDB, sedangkan naiknya konsumsi juga tertopang bantuan sosial yang terus naik juga.

Kajian sejenis dikeluarkan Asian Development Bank (ADB) yang kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 dari 5,2% menjadi 5,1%. Lemahnya ekspor dan investasi menjadi faktor penyebab lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. 

Ekspor Indonesia melambat karena faktor global. Pelemahan harga komoditas yang diakibatkan penurunan permintaan global membuat pasar ekspor Indonesia makin menipis. Apalagi ekonomi Cina sebagai salah satu mitra utama ekspor Indonesia sedang loyo.

Tak hanya itu, ADB memandang Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia belum bisa bersaing dengan negara Asia Tenggara lainnya. Terbukti dengan relokasi investasi Cina yang tidak menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan relokasi dan lebih memilih Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Meski demikian, ADB menilai perekonomian Indonesia masih bisa mempertahankan laju pertumbuhan yang baik pada tahun 2019 dan 2020 berkat konsumsi domestik yang masih tetap kuat. 

Konsumsi akan terjaga karena pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) baru-baru ini berpeluang memberikan suntikan tenaga bagi pertumbuhan kredit. Asal tahu saja, di tahun ini BI telah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di mana saat ini posisi BI 7-Day Reserve Repo Rate (BI7DRRR) di level 5,25%.

Apalagi fundamental perekonomian Indonesia masih solid, dengan posisi fiskal yang dikelola dengan baik, harga-harga yang stabil, dan cadangan devisa pada posisi yang cukup aman.

ADB memproyeksi inflasi Indonesia kemungkinan akan tetap stabil sebesar 3,2% tahun ini. Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan terkendali pada 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini. 

Di sisi lain, konsumsi akan terstimulus sektor konstruksi karena pembangunan properti perkotaan. Komitmen pemerintah untuk mengadopsi teknologi baru juga akan meningkatkan kemampuan manufaktur dan membawa peningkatan daya saing dalam jangka menengah

Melemahnya investasi juga perlu menjadi perhatian dan Indonesia harus tetap melanjutkan langkah-langkah reformasi guna mendiversifikasi perekonomiannya dan bersiap meraih peluang terkait perubahan rantai pasokan global. (E-1)