Pada awalnya, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas PMK Nomor 81/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, pemerintah tidak membebankan pungutan kepada CPO dan produk turunannya sejak 1 Maret 2019.
Namun, setelah dikeluarkan PMK Nomor 23/PMK.05/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 81/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa sejak 1 Juni 2019 apabila harga CPO di atas USD570 per ton maka akan dikenakan pungutan terhadap CPO dan turunannya sebesar 50% dari pungutan penuh atau USD25 per ton. Sedangkan, jika harganya di atas USD619 per ton, maka pungutannya akan dikenakan 100% atau USD50 per ton.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan bahwa dalam Rapat Komite Pengarah BPDPKS didapatkan informasi dari Kementerian Perdagangan yang melaporkan harga CPO per 20 September 2019 adalah USD574,9 per ton, yang artinya adalah sebanyak USD4,9 di atas batas USD570.
Artinya, kalau berdasarkan aturan yang ada produsen akan kena pungutan USD25 per ton, dan akan berlaku per 1 Oktober 2019. “Tetapi kemudian kita tahu juga jika harga hari-hari setelahnya malah turun kembali. Kita percaya begitu dikenakan pungutan 50% tersebut harga akan turun. Artinya para petani atau produsen kelapa sawit akan menerima harga lebih rendah lagi,” papar Menko Perekonomian Darmin Nasution.
Kondisi dan situasi tersebut telah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo. Kemudian, Presiden menginstruksikan supaya sebaiknya tidak usah dipungut dulu pada saat ini, karena kemungkinan besar harganya akan turun. Pungutan baru akan diberlakukan apabila ada kepastian harga akan naik.
Jadi, waktu pemberlakuan pungutan yang paling tepat yaitu ketika B30 akan efektif berjalan pada 1 Januari 2020. Pada saat itu akan terjadi kenaikan penggunaan CPO, karena volume pengunaan CPO untuk B30 akan bertambah sekitar 3 juta ton dibandingkan saat digunakan sebagai B20.
“Jika penggunaan naik bisa diyakini bahwa harga akan naik. Nah, kalau pada saat itu pungutan diberlakukan, maka meskipun ada penurunan tapi arahnya pasti naik dibanding dengan harga sebelumnya. Sehingga kita bisa melihat harga yang diterima petani dan produsen kelapa sawit menjadi lebih baik,” tutur Menko Darmin.
Apalagi saat ini BPDPKS tidak dalam posisi kesulitan dana, karena tidak ada yang dikeluarkan untuk subsidi terhadap penggunaan solar pada saat pembuatan B20. Maka itu, dana BPDPKS tersebut akan lebih fokus digunakan untuk peremajaan kelapa sawit rakyat.
Seperti yang diketahui bahwa BPDPKS akan membiayai peremajaan kelapa sawit rakyat sebesar Rp25 juta per hektare, dan maksimal yang dibiayai pemerintah adalah 4 hektare. Persyaratan bagi petani yang berhak ikut peremajaan lahan kelapa sawit adalah yang kebunnya berusia lebih dari 25 tahun, atau jika kebunnya masih berusia di bawah 25 tahun, tapi mempunyai produktivitas rendah dikarenakan bibitnya salah.
Pada 2018, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga pernah menghentikan pemungutan ekspor sawit oleh BPDP Kelapa Sawit terhadap eksportir. Hal ini dilakukan ketika harga CPO turun. Harga CPO di bursa Malaysia pagi ini dibuka di RM 2.180 per ton. Turun 0,4% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menyepakati menunda pungutan ekspor sawit dan turunannya hingga awal tahun depan. Hal ini dilakukan guna mempertahankan harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) di pasar internasional.
Pungutan ekspor, baru akan berlaku saat ada kepastian kenaikan harga atau ketika kebijakan biodiesel 30% (B30) dimulai pada Januari 2020. Pada saat itu, konsumsi CPO untuk B30 diperkirakan akan bertambah sekitar 3 juta ton per tahun.
Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi kelapa sawit di Indonesia pada 2018 mencapai 47,4 juta ton. Jumlah ini meningkat lebih dari 12 persen dibandingkan dengan produksi 2017 yang sebesar 38 juta ton.
Selama 2018, produksi kelapa sawit tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2018 mencapai 4,5 juta ton. Sementara itu, untuk konsumsi domestik tercatat 13,49 juta ton, adapun dalam bentuk pengolahan mencapai 28, 1 juta ton.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pernah mencatat pertumbuhan minyak sawit cukup tinggi, mencapai sekitar 5,39% per tahun. Pada 2019 diperkirakan produksi CPO Indonesia mencapai 42,14 juta ton, angka ini akan terus meningkat dimana pada tahun 2020 produksi CPO nasional diprediksi mencapai 44,63 juta ton. Dan pada tahun 2025 angka produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 55,28 juta ton.
Sementara itu Info Sawit menyebutkan produksi Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) asal Indonesia per bulan Juni 2019 mencapai 7.819.243 ton, berasal dari sebanyak 195 pabrik kelapa sawit (PKS) bersertifikat. Angka itu, belum memperhitungkan PKS independen. Volume CPO Indonesia bersertifikat RSPO per bulan Juni 2019 tersebut melonjak dibanding data per bulan Juni 2018 yang tercatat sebanyak 6.372.147 ton.
Sampai Agustus 2019 sertifikat ISPO yang telah terbit sebanyak 566 (556 perusahaan, 6 Koperasi Swadaya, dan 4 KUD Plasma) dengan luas total areal 5.185.544 Ha, Tanaman Menghasilkan seluas 2,961.293 Ha, total produksi TBS 56.650.844 ton/th dan CPO 12.260.641 ton/th. Produktivitas 19,07 ton/ha dan Rendemen rata-rata 21,70 %.
Terdiri dari perusahaan Swasta 508 sertifikat, dengan luas areal 4.896.546 Ha ( 63% Ha dari luas total 7,788 juta Ha); PTP Nusantara 48 sertifikat, dengan luas areal 282.762 Ha ( 40 % dari luas total 713 ribu Ha); dan Koperasi Pekebun Plasma-Swadaya 10 sertifikat seluas 6.236 Ha (0,107 % dari luas total 5,807 juta Ha). (E-2)