PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berencana mengerek harga gas untuk konsumen industri ini. Alasannnya, emiten dengan kode PGAS itu menyatakan kenaikan dilakukan karena mereka sudah tak pernah menaikkan harga gas sejak 2013.
Di sisi lain, biaya pengadaan gas, biaya operasional dan kurs dolar Amerika terus meningkat. Rencana PGN itu sontak memunculkan resistensi dari kalangan industri. Mereka menolak rencana itu dilakukan secara sepihak tanpa mempertimbangkan masukan dari dunia usaha.
Perlu diketahui, PGN kini menjual gas ke konsumen di kisaran USD8-USD10 per juta British thermal unit (MMBtu). Harga ini dinilai sudah tidak layak lagi. Oleh karena itu, anak usaha Pertamina ini berencana menaikkan.
Di tengah-tengah lesunya ekonomi global, dan menekan semua sektor, rencana itu tentu tidak elok meskipun mereka berkilah rencana itu hanyalah penyesuaian dari biaya operasional yang terus terkerek selain faktor kurs mata uang yang terus menanjak.
Namun, PGN berkilah beban biaya yang harus ditanggung korporasi itu sudah tidak memungkinkan mereka untuk tetap bertahan. Dengan beban biaya yang terus meningkat, tentu ruang bagi PGN untuk mengembangkan infrastruktur gas bumi menjadi semakin terbatas.
Sementara itu, banyak sentra-sentra industri baru, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang belum terjamah gas bumi. "Rencana penyesuaian harga gas bumi sudah dikaji secara matang. Selain itu, PGN juga sudah mempertimbangkan kemampuan industri,” seperti dikutip dari pernyataan resmi PGN, Jumat (27/9/2019).
Isu soal harga gas industri telah lama menjadi wacana. Bahkan, rencana penurunan itu sudah lama didengungkan, yakni sejak paket kebijakan ekonomi III Oktober 2015. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun pernah meminta agar harga gas bisa diturunkan hingga USD6 per MMBTU sehingga kinerja industri lebih efisien dan berdaya saing.
Seperti disampaikan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Johnny Darmawan, asosiasi berharap harga gas segera turun. Hal ini untuk menghindari sektor industri mati suri akibat kalah bersaing karena biaya produksi yang tinggi.
Menurutnya, kondisi persaingan kini semakin ketat. Di sisi lain, sektor industri telah terbebani dengan biaya investasi yang besar, mahalnya harga gas, biaya produksi industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan luar negeri, serta makin berkurangnya hambatan teknis (technical bariers) terhadap arus impor.
"Perusahaan swasta di sektor industri petrokimia pengolah migas, keramik, kaca, baja, oleokimia, pulp dan kertas, serta makanan dan minuman sampai saat ini belum mendapatkan penurunan harga gas," kata Johnny, dalam Forum Diskusi Kadin dengan Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) dan Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) di Jakarta (25/9/2019).
Pemerintah, dia mengakui, sebenarnya telah berupaya mengakomodir tuntutan pengusaha itu. Misalnya, dengan mengeluarkan Perpres No. 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas USD6 per MMBtu. “Regulasi itu harus segera diimplementasi.”
Kadin menilai penurunan harga gas tersebut bisa membantu Indonesia terhindar dari resesi. Saat ini sudah banyak industri yang mati suri akibat tidak mampu bersaing dengan industri sejenis dari luar negeri.
Penggerak Ekonomi
Memang, sektor industri sebagai pengguna gas bumi merupakan penggerak perekonomian nasional dari devisa perolehan ekspor, pajak, dan penyerapan tenaga kerja langsung lebih dari 8,5 juta orang.
Tidak itu saja, sektor industri itu mempunyai keterkaitan yang sangat luas dengan berbagai sektor mulai dari pemasok bahan bakar hingga pemasaran produk hilir (consumer goods).
“Pelaksanaan kebijakan Perpres Nomor 40 Tahun 2016 sangat ditunggu oleh para pelaku usaha, karena keberpihakan pemerintah akan menjadi dasar yang kuat dalam pembangunan industri di Indonesia,” ujar Johnny.
Terlebih pemerintah juga sudah mengeluarkan dua kebijakan turunan yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2019 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
“Dengan adanya 2 dukungan kebijakan tersebut, harusnya harga gas industri sudah turun dan berdaya saing sebagaimana amanat Perpres Nomor 40 Tahun 2016," tandasnya.
Terhadap tuntutan itu, pemerintah pun menyadarinya dan berusaha mencari jalan keluarnya. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyakini, harga gas bagi industri berpotensi turun.
Kementerian Perindustrian menyatakan pendapatan negara berpotensi bertambah Rp21,2 triliun bila harga gas diturunkan ke level USD6 per MMBTU. Sekjen Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono, hal itu merupakan hasil kajian Kemenperin bersama Universitas Indonesia pada 2015.
Kajian itu menjadi salah satu dasar bagi pemerintah untuk menetapkan Peraturan Presiden No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Regulasi yang ditetapkan pada Mei 2016 itu mengatur harga gas bumi tertentu senilai USD6 per MMBTU kepada sejumlah pelaku industri.
"Kami hitung impact-nya, negara bisa mendapatkan Rp21 triliun," ujarnya di sela-sela focus group discussion bertajuk Kepastian Impelementasi Penurunan Harga Gas Bumi Sesuai Peraturan Presiden No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, Rabu (25/9/2019).
Potensi pendapatan negara itu bersumber dari pendapatan pajak dari pelaku industri dan turunannya yang diperkirakan kian meningkat dengan dukungan harga gas bumi yang kompetitif. Belum lagi, pertumbuhan industri itu bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Dampak ganda dari kebijakan penurunan harga gas itu diyakini jauh lebih signifikan lagi bagi ekonomi nasional. Bila harga gas meningkat, negara sebaliknya akan kehilangan potensi pendapatan negara tersebut.
Tidak itu saja, penurunan harga gas itu akan memacu hilirisasi industri sehingga dampak ekonominya akan jauh lebih besar. Hasil kajian itu juga memberikan skenario harga gas turun hingga USD5 dan USD4 per MMBTU. Penurunan harga itu akan membuka potensi pendapatan negara masing-masing sebesar Rp26,64 triliun dan Rp31,97 triliun.
"Hitungan kajian pada 2015 itu, kalau kita turunkan harga gas USD1 saja, maka negara bukan rugi, melainkan untung Rp20 triliun-Rp25 triliun. Semakin besar penurunan harga gas, semakin besar keuntungan negara," ujar Sekjen Kemenperin tersebut.
Begitu juga rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengusulkan efisiensi investasi proyek hulu minyak dan gas bumi (migas) menjadi celah bagi pemerintah untuk menekan harga gas bumi.
“Masih ada kemungkinan harga gas dari mulut sumur mengalami penurunan. Namun penurunan itu untuk sumur yang belum berproduksi. Sedangkan untuk yang sudah berproduksi sulit untuk diturunkan, sebab biaya investasi sudah terbentuk,” ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. (F-1)