Indonesia.go.id - UU KPK Baru, antara Perppu atau Uji Materi

UU KPK Baru, antara Perppu atau Uji Materi

  • Administrator
  • Kamis, 14 November 2019 | 05:54 WIB
REGULASI
  Ilustrasi. Foto: Dok. KPK

Presiden Jokowi mengaku akan menampung dan mempertimbangkan usulan Perppu, sembari melihat opsi-opsi lain. Aspek sisi politis tentu menjadi salah satu poin pertimbangan utama.

Presiden Joko Widodo mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang menuai pro dan kontra. Wacana itu muncul setelah ada desakan masyarakat supaya Presiden Jokowi membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan DPR pada 17 September 2019.

Setelah menerima masukan dari puluhan cendikiawan dan budayawan seperti Goenawan Mohamad, Quraish Shihab, Butet Kartaradjasa, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Emil Salim, Franz Magnis Suseno, Mahfud MD, Bivitri Susanti, Feri Amsari, Erry Riana Hadjapamekas, dan lain sebagainya di Istana Merdeka pada 26 September 2019, Presiden Jokowi berkata, “Banyak sekali masukan-masukan juga yang diberikan kepada kita, utamanya memang masukan itu berupa penerbitan perppu. Tentu saja ini akan kita segera hitung, kita kalkulasi, dan nanti setelah kita putuskan akan juga kami sampaikan kepada para senior dan guru-guru saya yang hadir pada sore hari ini.”

Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa dirinya akan menampung dan mempertimbangkan usulan tersebut sambil melihat adanya opsi-opsi lain yang dapat ditempuh. Aspek sisi politis tentu saja menjadi salah satu poin pertimbangan utama terkait sikap presiden nantinya. Menariknya, wacana Presiden Jokowi untuk menerbitkan perppu juga mengundang pro dan kontra lanjutan.

Bagi kubu yang pro, justifikasi keluarnya perppu ialah disebabkan hasil revisi UU KPK dianggap melemahkan KPK. Merujuk pendapat salah satu pegiat antikorupsi dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum-UGM Zainal Arifin Mochtar, mereka bukan tidak setuju perihal agenda revisi UU KPK. Pokok soal yang ditolak oleh kubu ini ialah karena aspek materiil atau substansi dari hasil revisi UU KPK ternyata isinya justru melemahkan fungsi dan tugas kelembagaan KPK terkait upaya pemberantasan korupsi.

Sedangkan bagi yang kontra, yang utamanya direpresentasikan oleh partai-partai di DPR, seharusnya langkah penolakan hasil revisi UU KPK tersebut dilakukan melalui mekanisme uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) dan bukan melalui kebijakan mendorong Presiden Jokowi menerbitkan Perppu.

Tentu bukan hanya tokoh-tokoh representasi partai. Sebutlah Wakil Presiden Jusuf Kalla, termasuk salah satu tokoh yang kurang setuju jikalau Presiden Jokowi menerbitkan perppu. Menurut JK, ada jalan lain yang masih bisa ditempuh bagi mereka yang menolak hasil revisi UU KPK “baru”, yaitu melalui mekanisme uji materi di MK. 

Menurut JK, penerbitan perppu akan menjatuhkan kewibawaan Pemerintah Jokowi sendiri. Pasalnya, sebelumnya Pemerintah bersama dengan DPR telah menyetujui untuk melakukan revisi terhadap UU KPK, di mana output legislasinya juga telah disahkan oleh DPR.

Tulisan ini bukan bermaksud memprediksi, apakah polemik terkait UU Revisi KPK akan bermuara pada kebijakan Presiden Jokowi untuk menerbitkan perppu atau sebaliknya melalui mekanisme uji materi di MK. Tulisan ini hanya memaparkan bagaimana kontruksi konstitusionalisme atas perppu, dan seputar pro dan kontra terkait produk perundang-undangan tersebut.

Kontruksi Konstitusionalisme

Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum di Indonesia. Perppu adalah mekanisme perubahan undang-undang yang tidak lazim karena mengesampingkan proses legislasi secara normal. Posisi perppu dimaksudkan sebagai upaya pemerintah merumuskan norma yuridis, baik dengan mengurangi atau menambah sebagian ataupun keseluruhan, dari isi UU tertentu.

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan “jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan” ialah sebagai berikut: a. UUD 1945; b. Ketetapan MPR; c. UU/Perppu; d. PP; e. Perpres; f. Perda Propinsi; g. Perda Kabupaten/Kota.

Bicara landasan yuridis perppu adalah Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Konsepsi ini dikukuhkan kembali melalui UU No 12 Tahun 2011 khususnya Pasal 1 Angka 4: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Merujuk Jimly Asshiddiqie (2007) dari segi isi, perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang sederajat dengan UU, tetapi karena kelahirannya didasarkan pada situasi ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ maka ia ditetapkan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Sebagai bagian dari karakteristik sistem presidensial, perppu sebagai produk perundang-undangan serta-merta berlaku pada saat ditetapkan oleh presiden. Namun demikian perppu harus segera diajukan dalam bentuk RUU dalam proses legislasi di persidangan berikutnya di parlemen.

Secara konstitusional, perppu merupakan hak subjektif presiden yang didasari adanya ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’. Hakikat perppu bermaksud mengantisipasi hal itu. Sekalipun ada aspek kegentingan, pembentukan perppu tetap harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti rumusannya jelas dan proporsional, memiliki tujuan jelas dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya.

Pro dan Kontra

Lazimnya polemik tentang lahirnya perppu selalu terkait interpretasi terhadap klausul ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’. Pertanyaannya ialah: apakah parameter objektif tentang klausul tersebut, sehingga dengan begitu pemerintah dianggap absah saat mengeluarkan perppu dan bisa diterima serta disahkan sebagai UU?

Merujuk Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945, perppu yang dilahirkan oleh interpretasi subjektif presiden tentang adanya ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ itu kemudian harus diobjektifkan melalui pembahasan di sidang DPR. Jika perppu (RUU) itu nanti diterima dan disahkan menjadi UU, maka tafsiran subjektif pemerintah terkait klausul ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ itu bermakna objektif dan juga absah baik secara politis maupun yuridis.

Sedangkan jika ditolak, berarti juga sebaliknya. Artinya kesimpulan apakah lahirnya perppu itu sekadar subjektivitas interpretasi presiden ataukah juga bernilai objektif sesuai dengan realitas, jawabannya menunggu mekanisme persidangan parlemen di mana kata kuncinya ialah proses politik (political review) di DPR melalui mekanisme legislative review.

Dalam perkembangan hukum tata negara selanjutnya, kini bukan hanya DPR melalui mekanisme legislative review, melainkan bahkan MK juga berwenang menguji keabsahan perppu dengan mekanisme judicial review. Merujuk laman hukumonline.com sejauh ini setidaknya MK pernah melakukan uji materi terhadap perppu sebanyak dua belas kali.

Salah satu tafsiran kewenangan MK ini didasarkan pada dasar hukum Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Kewenangan MK untuk menguji perppu memang bisa diperdebatkan (debatable). Tak aneh jika Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tidak pernah bulat diputuskan oleh 9 hakim. Saat itu terdapat concurring opinion dari Mahfud MD dan dissenting opinion dari Muhammad Alim.

Concuring opinion berarti terdapat argumentasi yang berbeda dalam membangun pertimbangan hukum, namun hakim tetap pada kesimpulan atau amar putusan yang sama. Sedang dissenting opinion berarti hakim menunjukkan pendapat berbeda, baik dari segi argumentasi dalam pertimbangan hukumnya maupun pada amar putusannya.

Walau begitu masyarakat sebenarnya juga dapat belajar menilai sendiri, apakah syarat-syarat dari keluarnya perppu, baik secara sosiologis maupun yuridis, telah terpenuhi ataukah tidak. Sayangnya merujuk UU 12 Tahun 2011 tidak ditemui definisi terperinci dari klausul ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’.

Beruntunglah, Putusan MK No. 138-PUU-VII-2009 telah memberikan batasan atau norma tafsiran terhadap klausul itu. Menurut MK, ada tiga syarat yang harus dipenuhi bagi terpenuhinya tafsiran atas klausul ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’, yaitu:

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Dan terakhir atau ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. (W-1)