Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah itu pas bagi Arsul Sani, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang kini menjadi salah satu dari sembilan Wakil Ketua MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia). Tergolong sebagai lawyer mapan, membangun kantor pengacara yang cukup maju, namun panggilan politik tidak bisa diabaikannya.
Partai Persatuan Pembangunan bukan tempat asing bari Arsul Sani. Ayahnya, Abdullah Fadjari, sepuluh tahun memimpin Kantor Cabang PPP Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Sebelumnya, Arsul sempat berbelok ke PKS (Partai Keadilan Sosial) dan kurang berjodoh. Dengan baju PPP, melalui Dapil (Daerah Pemilihan) Jawa Tengah X (meliputi Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Batang, dan Pemalang) ia meraih suara yang cukup mengantarkannya ke Senayan dalam Pemilu 2014 dan 2019.
Nama Arsul naik di tengah perpecahan yang melanda PPP, dengan kubu Romahurmuzy dan kubu Djan Faridz. Arsul ada di rombongan Romahurmuzy dan dipercaya menjadi Sekjen. Pertentangan ini surut setelah Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepengurusan Romi Romahurmuzy-Arsul Sani sebagai pihak yang sah. Romi terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, untuk kasus gratifikasi dan digantikan Suharso Monoarfa. Karena Suharso tak terlalu sering tampil ke depan publik, porsi itu diamanahkan ke Arsul Sani dan membuatnya lebih dikenal.
Latar belakangnya sebagai pengacara membuat Arsul Sani bisa membangun narasi yang kuat dengan segala basis legalnya. Itu yang diperankannya belakang ini, baik mewakili PPP maupun mewakili partai koalisi pendukung Presiden Joko Widodo. Jejak kepengacaraan Arsul Sani, yang lahir di Pekalongan 8 Januari 1964 itu, cukup panjang. Mula-mula ia magang di Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) Jakarta, arena yang mempertemukannya dengan pengacara kondang Adnan Buyung Nasution (alm).
Arsul Sani termasuk murid kesayangan Adnan Buyung Nasution. Hubungan keduanya tetap erat meski Arsul Sani kemudian bergabung ke Kantor Pengacara Gani Djemat and Partners, bahkan kemudian ia membangun kantor sendiri, yakni Karim Sani Lawfirm (1997). Di luar dunia hukum, Arsul sempat pula menjadi Komisaris PT Tupperware Indonesia (1997-2014).
Tumbuh dalam keluarga muslim, membuat Arsul Sani tak bisa jauh dari kegiatan organisasi keislaman. Ketika menempuh pendidikan di Fakultas Hukum (FH) UI, ia aktif di HMI dan menjadi Ketua Komisariat Fakultas Hukum. Pada tahun 1996, ia bergabung dengan Yayasan Asrama Pelajar Islam yang bernaung di bawah komunitas Masyumi. Arsul mulai bersentuhan dengan komunitas tarbiyah yang kini bersatu di bawah atap Partai Keadilan dan Sejahtera.
Tak heran bila menjelang Pemilu 2009, Arsul diajak untuk bergabung ke PKS dan menjadi caleg (calon legeslatif). Arsul menyanggupinya meski pun ditentang oleh keluarganya dan diprotes oleh mentornya Adnan Buyung Nasution. Mereka berpandangan jalur PPP adalah yang paling pas buatnya, atau ke PAN, dan paling jauh PKB. Namun, master hukum lulusan Justice & Policy di Glasgow Caledonian University, Irlandia, tetap mencobanya, dan ternyata ia kandas. Ia kemudian memutuskan bergabung ke PPP. Jalur PPP ternyata lebih sesuai untuk Arsul, dan ia menjadi sosok penting di partai berlambang Kabah itu.
Dengan pembawaannya yang kalem, santun, dan gaya bahasa yang tertata, Arsul ikut berperan dalam mendinginkan suasana dalam keluarga besar PPP saat Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan kubu Romi Romahurmuzy. Dengan pengetahuan tentang hukum, ia menyampaikan pandangan yang jernih tentang konsideran keputusan itu, dengan tetap menyelipkan ajakan untuk bersatu.
Dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Arsul Sani menjabat sebagai salah satu wakil ketua. Ia pun tampil dengan baik dalam menyampaikan penjelasan tentang berbagai kebijakan lembaga pemerintahan yang disebut sebagai kebijakan Presiden Joko Widodo. Semisal, penangkapan penyebar hoaks, tuduhan ketidaknetralan pemerintah dalam penanganan hoaks/berita palsu, tuduhan kecurangan kampanye, tuduhan kecurangan penghitungan suara, dan seterusnya.
Arsul Sani bisa menjawab berbagai tuduhan itu secara santai, santun, dan bernas. Ia konsisten untuk membawa diskursus kebijakan dalam konteks hukum. Sesekali ia meluruskan fakta, dan di waktu yang lain ia menduduksoalkan permasalahan di atas meja peraturan perundang-undangan. Ia bukan jenis politikus yang gemar mengumbar retorika. ‘’Politik itu dijalankan dengan hukum dan bicara politik harus jelas dasar hukumnya,’’ katanya suatu kali.
Tak mengagetkan bila Arsul Sani dipilih PPP untuk dijadikan wakilnya dalam jajaran pimpinan MPR RI. Sebagai pejabat negara, ia melaporkan harta kekayaannya senilai Rp19,3 miliar. (P-1)