Indonesia.go.id - Keamanan Membaik, Tapi Politik Masih Berisik

Keamanan Membaik, Tapi Politik Masih Berisik

  • Administrator
  • Senin, 28 Oktober 2019 | 20:00 WIB
5 TAHUN JOKOWI-JK
  Petugas kepolisian berjaga di kawasan Pejompongan jelang pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin di Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Meski teror masih ada, ancaman terorisme di Indonesia lebih rendah dibanding Jerman, Prancis, dan Inggris. Postur TNI lebih kuat. Tapi, masih ada gangguan hak sipil dan hak politik minoritas.

Serangan nekat dengan pisau atas Menko Polhukam JenderaI (Purn) Wiranto di Menes, Banten, memang mengagetkan. Aksi itu menunjukkan bahwa serangan teror tidak mudah dideteksi. Siapa sangka, bahwa kehadiran Menko Wiranto di Alun-Alun Menes itu membuka peluang bagi Syahrial Alamsyah, 51 tahun, anggota jaringan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) untuk melaksanakan amaliyah, serangan bunuh diri.

Meski mengalami luka serius di bagian perut, Wiranto selamat. Syahrial alias Abu Rara pun diringkus bersama istrinya Fitria Diani, 21 tahun, yang turut aktif membantu suaminya dalam aksi teror itu. Syahrial sendiri sebetulnya sudah masuk dalam database Polri. Namun, karena ia belum melakukan aksi yang melanggar hukum, ia belum ditangkap, hingga kemudian teror terhadap Menko Polhukam itu di Menes, Kamis (10/10/2019) itu terjadi.

Jejak digital Syahrial ditelusuri. Ternyata, jejaring JAD ini bersiap melalukan sejumlah teror, yang diduga terkait pelantikan Presiden Joko Widodo dan KH Makruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Densus 88 melakukan pengejaran. Hasilnya, dalam sepekan 36 orang ditangkap di 8 provinsi. Mereka diduga telah melakukan persiapan untuk melakukan aksi terorisme.

Seberapa gawat ancaman terorisme di Indonesia? Di Indonesia memang ada potensi bahaya terorisme yang laten. Namun aksi terorisme bisa terus ditekan sehingga tingkat ancamannya lebih terkendali dan cenderung menurun. Pada 2015, Indonesia masih pada peringkat 33 daftar GTI (Global Terrorism Index) dengan skor 4,75. Pada 2018, peringkatnya turun ke level 42 dengan skor 4,54, artinya kondisi membaik. Kemajuan ini, yang antara lain, dilaporkan Kantor Staf Presiden (KSP) dalam buku Lima Tahun Maju Bersama yang terbit pekan lalu.

Survei yang dilakukan Institute for Economics & Peace (2018) itu menunjukkan bahwa Irak, Afganistan, Nigeria, Syria, dan Pakistan, adalah lima negara dengan ancaman terorisme tertinggi di dunia. Kawasan Asia Tenggara tergolong aman dari terorisme, kecuali Filipina yang masuk peringkat 10, dengan skor di atas 7. Ancaman terorisme di Filipina itu sedikit di atas Turki. Terkait ancaman terorisme, kondisi RI juga lebih baik dibanding Jerman, Prancis, dan Inggris.

Menurut Institute for Economics & Peace, saat ini ada sekitar 270 grup teroris. Namun, 75% aksi teror diborong oleh ISIS, Bokoharam, Taliban, dan Al Qaeda. Maka sejak bertahun lalu, negara-negara yang dihuni oleh grup ini selalu tercatat sebagai negara dengan korban dan kerusakan akibat teror tertinggi, yakni Irak, Afganistan, Syria, Nigeria, dan Pakitan.

Berkebalikan dengan ancaman teror tinggi adalah kondisi damai dengan tingkat konflik antarkelompok yang rendah yang dinyatakan dengan Global of Peace Index (GPI). Pada 2019 ini, Indonesia menempati posisi ke-41 dari 163 negara di dunia. Skornya 1,77.

Pada 2015, Indonesia di posisi 48 dengan skor 1,81. Kondisi Indonesia lebih baik ketimbang Thailand dan Filipina. Lagi-lagi, negara dengan GPI rendah ialah Somalia, Sudan Selatan, Irak, Syiria, Afganistan, Yaman, dan Libya.

Langsung atau tak langsung, tingkat ancaman itu tidak terlepas dari postur kekuatan TNI yang semakin memadai. Postur yang dirumuskan dalam rencana strategis minimun essential force (MEF) II itu makin dekat ke target dengan capaian 63,37%, hampir dua kali lipat dari kondisi 2015 (33,90%). Dari program  MEF II  ini hadir persenjataan seperti tank-tank besar (main battle tank) dan sedang, roket artileri, tank amfibi, heli-heli tempur, kapal selam, kapal patroli rudal, konvet cepat stealth, jet tempur, roket jarak menengah berpengendali, dan segala perkakas elektronik untuk pertempuran modern.

Perlengkapan tempur itu tentu bukan untuk tujuan agresi, lebih untuk menjaga kedaulatan wilayah dan melindungi sumber daya alam Indonesia. Hasilnya sudah terlihat, antara lain, pencurian ikan di perairan Indonesia menurun. Postur militer juga bermanfaat untuk diplomasi.

Kekuatan diplomasi Indonesia juga produktif. Kedaulatan RI di perbatasan terjaga. Isu separatis Papua tidak bergema di PBB. Bahkan, di tengah gangguan keamanan dan aksi-aksi provokasi politik di Papua, Pemerintah terus menggenjot pembangunan di wilayah Timur ini. Hasilnya, IPM (indeks pembangunan manusia) di Provinsi Papua  dan Papua Barat terus meningkat untuk memasuki level IPM sedang, yang berarti ada peningkatan kualitas hidup di kedua provinsi tersebut.

Melalui aksi diplomasi sebanyak 43 WNI yang di sandera di luar negeri bisa dibebaskan, 304 WNI yang terancam hukuman mati dapat dibebaskan, dan hampir 4.800 WNI dievakuasi dari wilayah konflik dan daerah bencana di luar negeri. Pemerintah Indonesia pun berhasil mengembalikan Rp574 miliar hak pekerja migran Indonesia yang ditahan pihak asing. Indonesia terus mengirim pasukan TNI-Polri untuk misi perdamaian di bawah bendera PBB, dan mengambil inisiatif pembicaraan damai di Afganistan.

Untuk menjaga marwah negara, pemerintah tak mau lebih lama membiarkan pintu pelintasan antarnegara (melalui jalur darat) dalam kondisi memprihatinkan. Maka, tujuh bangunan megah pun dibangun di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Layanan di situ tak lagi hanya sebatas keimigrasian dan keamanan, ada tambahan layanan bea-cukai (kepabeanan). Dengan begitu, pintu perbatasan tak lagi menjadi titik rawan penyelundupan, justru menjadi jalur baru bagi perniagaan ekspor-impor.

Ancaman keselamatan warga juga datang dari bencana alam. Maka, kapasitas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) terus ditingkatkan untuk tanggap darurat maupun tahap rehabillitasi dan rekonstruksi.

Kebijakan untuk peringatan bahaya bencana alam dan mitigasi bencana diperluas. Ada hasil yang menggembirakan. Indeks rata-rata risiko nasional maupun indeks rata-rata prioritas nasional terus menurun. Artinya, kemungkinan warga terpapar risiko bencana bisa dikurangi.

Perlu menjadi catatan pula bahwa di tengah tradisi demokrasi yang relatif muda, dan ditingkahi oleh gelombang populisme global, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tetap bisa bertahan di level menengah yakni di angka 72,39. Sempat bertengger di angka 73,04 (2015), lalu bergerak turun sampai menyentuh 70,07 (2016) untuk kemudian terangkat lagi. IDI pada kisaran 60-80 tergolong sedang, di atas 80 tinggi dan di bawah 60 rendah.

Dari tiga elemen pembangun indeks demokrasi, persoalan hak-hak sipil (semisal kemerdekaan untuk berserikat dan berpendapat) terus mencatat kemajuan. Unsur lembaga demokrasi pun terus menguat. Yang masif kurang stabil adalah aspek hak-hak politik warga. Meski secara legal tidak ada diskriminasi dalam urusan hak politik, gelombang populisme telah melahirkan aksi politik identitas, politik primordialisme, dan sejenisnya.

Ujungnya terjadi muncul tekanan kepada kebebasan sipil satu kelompok oleh kelompok yang lain, dan tekanan atas hak politik dari satu kelompok pada kelompok yang lain, khususnya kelompok minoritas. Ketegangan ini terjadi antarkelompok masyarakat, bukan masyarakat dengan negara. Situasi semakin berisik karena ketegangan menyeruak di media sosial dan diwarnai hoaks dan fake news (berita palsu). Ini akan menjadi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo untuk periode kedua jabatannya 2019-2024.(P-1)