Seperti para pendahulunya, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Arif Satria harus menerima stigma, bahwa kampusnya adalah persemaian gerakan politik Islam garis keras. Kampus yang memiliki 29 ribu mahasiswa, dari 9 fakultas, 1 sekolah bisnis, 1 sekolah pascasarjana, dan 1 politeknik, dengan puluhan program studi itu sering disebut-sebut menjadi tempat penyebaran gerakan pro-khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ihwanul Muslimin, atau sejenisnya. Hal itu sudah berlangsung setidaknya dua dekade.
Baru satu semester menjabat, Arif Satria yang dilantik sebagai Rektor IPB per Desember 2017 itu, sudah dikagetkan dengan rilis BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), bahwa ada tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terpapar radikalisme. Salah satunya adalah IPB. Tak lama kemudian, BIN (Badan Inteljen Negara) memperlihatkan hasil surveinya, 23,5 persen mahasiswa setuju negara Islam. Tak kalah serunya, Setara Institute (pertengahan 2019) merilis survei pula tentang 10 PTN paling terpapar ide-ide radikalisme dan intoleransi. Yang paling parah, menurut Setara Institute, ITB dan IPB.
Arif Satria harus bekerja memajukan kampusnya di bawah stigma yang tak menguntungkan. Bagaimana pun, katanya, IPB memerlukan siswa-siswa terbaik untuk menjadi mahasiswanya. Isu terkait intoleransi dan radikalisme sedikit banyak akan mempengaruhi minat mahasiswa. Namun, sejauh ini, menurut Arif, kinerja IPB di bidang pendidikan tinggi masih cukup baik.
‘’Secara nasional, IPB masih yang terbaik ketiga pada tahun 2019 ini,’’ kata rektor yang berusia 48 tahun itu.
Ia mengutip penilaian Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Di atas IPB ada UGM di posisi 2 dan ITB di peringkat satu. Posisi ke-3 itu berarti naik satu tingkat dibanding 2018. Ada pun penilaian kinerja itu berdasarkan pada audit input (15%), proses (25%), kinerja output (25%), dan outcome (35%).
Sebagai rektor, Arif Satria meminta masyarakat melihat secara lebih fair, bahwa isu radikalisme itu tidak lepas dari situasi politik yang berkembang. Kegairahan tarbiyah, pendidikan keislaman, pun melanda di banyak tempat, baik itu lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, BUMN, juga TNI-Polri. Bukan pula hanya di Indonesia, juga di negara lain yang penduduk Muslimnya besar seperti di Malaysia, Turki, dan negara-negara Asia Tengah.
Tak berarti fenomena tarbiyah itu meruntuhkan tradisi toleransi. Menurut Arif Satria, tradisi toleransi, kebersamaan dalam keindonesiaan, memiliki akar yang panjang di IPB. Penjaringan calon mahasiswa melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) di IPB sudah berlangsung hampir 45 tahun, dan dipertahankan hingga saat ini.
Dari jalur PMDK itulah terjaring siswa-siswa dari seluruh Indonesia dengan latar belakang suku, budaya, agama, dan bahasa ibu yang sangat beragam. ‘’Kondisi itulah yang membangun tradisi toleransi, saling menghormati dan semagat keindonesiaan di kampus IPB,’’ kata Arif Satria yang dikenal sebagai pakar manajemen sumber daya kelautan itu.
Untuk menguatkan aksen pluralitas dan toleransi itu, Raktor Arif Satria menyiapkan ruang peribadatan khusus untuk pemeluk Agama Nasrani, Budha, dan Hindu, di kampus pusat. Tidak ada yang protes dari pihak manapun. Dalam menyambut mahasiswa baru, rektor mengizinkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi ke kutub NU, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan organisasi kemahasiswaan lainya, promosi merekrut aggota baru. Tak ada keributan.
Kegiatan kemahasiswaan berjalan dengan keragaman tinggi. Ada paduan suara, musik, tari, sepak bola, silat, karate, pecinta alam, konservasi satwa, PMI, kewiraswastaan, kerohanian (semua agama), dan lain-lain. Bagi IPB, tidak mungkin kegiatan kerohanian itu, yang di dalamnya ada tarbiyah dilarang. Kalau ada indikasi pelanggaran hukum, tentu urusan akan dibawa ke penegak hukum. ‘’Sejauh ini, saya melihatnya normal-normal saja. Kalau tak percaya, silakan datang, nikmati suasana kampus kami,’’ Arif Satria.
Pihaknya memang pernah kebobolan, ketika Unit Kerohian Islam Mahasiswa menjadi tuan rumah bagi Simposium Nasional (Simnas) Lembaga Dakwah Kampus 2016, yang diselenggarakan 25-27 Maret 2016. Penyelengganya Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK), diikuti 1.500 mahasiswa dari 242 perguruan tinggi secara nasional. Forum itu ternyata membuat deklarasi mendukung Negara Khilafah Islamiyah di Indonesia. ‘’Itu politik praktis. Mestinya tidak boleh digelar di kampus,’’ kata Arif. Acara itu viral dan heboh di medsos.
Namun, yang membuat Arif lebih terperanjat adalah penangkapan Profesor Abdul Basith, guru besar dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Ia ditangkap akhir September lalu terkait pemilikan 22 unit bom ikan, yang diniatkan akan diledakkan untuk membakar sejumlah pertokoan di Jakarta, bersamaan aksi massa Mujahid 212, 28 September lalu. ‘’Ini benar-benar seperti ngebom kampus IPB,’’ kata Arif.
Rektor IPB itu bergegas menemui Profesor Abdul Basith di tahanan Polda Metro Jaya, untuk mengetahui duduk masalahnya. Kepada rektornya, Abdul Basith mengakui bertanggung jawab atas bom itu, dan memang diniatkan untuk memantik huru-hara seperti Mei 1998. ‘’Tapi, Pak Abdul Basith itu bukan HTI, bukan Islam radikal. Dia lebih mirip seorang ultranasionalis,’’ kata Rektor. Maka, teman perjuangannya pun sebagian purnawirawan yang ultranasionalis juga. ‘’Mereka ingin Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli,’’ ia menambahkan.
Atas dasar pengakuan itu, Rektor IPB tersebut mengontak Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius agar tak terjadi salah paham. Arif Satria tak ingin Profesor Abdul Basith buru-buru dicap Islam radikat, dan IPB akan terbawa-bawa disebut sarangnya. Tentang, siapa sebenarnya Abdul Basith, ia menyilakan Polri menelisik lebih jauh.
Arif Satria mengakui bahwa di IPB ada juga dosen yang terpapar Hizbut Tahrir. Ada enam orang. Sejauh ini tak ada sangsi, karena mereka juga tak melakukan aksi yang melanggar aturan. Dr Arif Satria, yang membawa perubahan bran IPB menjadi IPB University sejak awal 2019 itu, mengatakan pula bahwa dosen yang terpapar HTI jumlahnya tidak seberapa. ‘’Hanya enam dari sekitar 1.300 dosen yang ada,’’ katanya.
Arif juga tidak menampik bahwa sejumlah alumni IPB aktif dalam gerakan politik khilafah seperti Gatot Saptono, 55 tahun, lulusan Prodi Agronomi Fakultas Pertanian 1988. Ketika kuliah, Gatot menjadi Ketua Kerohanian Islam IPB. Dalam kiprahnya, Gatot mengubah namanya menjadi Muhammad Al Khaththath. Ia memimpin HTI 2002-2004 dan kini ia tampil atas nama FUI (Forum Ummat Islam). Nama lain yang tak kalah menarik ialah Ustadz Felix Y Siaw, 35 tahun. Menjadi mualaf sejak semester 3, sejak itu menjadi aktivis HTI. Lulusan Prodi Agronomi 2002 itu kini menjadi influencer di medsos dengan jutaan follower. Felix Siauw penganjur khilafaf Islamiyah.
Bagi Rektor IPB University Arif Satria, adanya dua atau tiga, bahkan seratus orang misalnya, alumni IPB menjadi ustadz penganjur khilafah semacam Al Khaththath dan Felix Siauw, itu tak bisa menjadi ukuran bahwa alumni IPB terpapar HTI. Alumni IPB kini jumlahnya sudah mencapai 120.000 orang. (P-1)