Agak mengejutkan bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada akhirnya bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju. Lepas dari segala kontroversi politiknya, kehadiran Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua ini mengisyaratkan satu hal, para pihak yang bersaing sengit dalam pemilihan presiden nyatanya bersedia bahu-membahu membangun negeri.
Dengan menempati pos Menteri Pertahanan, Prabowo tentu dapat diharapkan berkontribusi mengerek kondisi keamanan negara yang tak kunjung usai dirudung masalah. Ada gerakan politik pro-khilafah, ada terorisme, provokasi laten kelompok separatisme, dan ketidakpuasan atas pelaksanaan demokrasi yang dapat berujung pada aksi-aksi tidak terkendali.
Secara internasional, bahkan regional, Prabowo melihat, Indonesia juga terlalu rendah hati dan hati-hati. Justru, situasi itulah yang sepertinya membuatnya geregetan, penasaran, dan akhirnya menerima ajakan bergabung ke Pemerintahan Presiden Jokowi. Dia meyakini perlu akses supaya punya jalan untuk bertindak. Kalkulasi politik praktis dinomorduakan. ‘’Kalau kami diperlukan, kami siap membantu,’’ kata Prabowo di tengah spekulasi di keterlibatannya dalam kabinet Jokowi yang mendatang.
Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tidak punya kewenangan mengerahkkan kekuatan TNI dan Polri. Prabowo juga sudah 20 tahun berpisah dari dunia kemiliteran. Justru, setelah karir militernya putus di saat ia memegang posisi strategis, pria kelahiran 17 Oktober 1951 itu berkesempatan mengembara ke dunia yang lain, yakni bisnis, sosial kemasyarakatan, dan politik.
Alhasil, Prabowo kini bukan hanya sosok yang hanya pandai memainkan kekuatan fisik, ia pun mahir memanfaatkan jurus-jurus soft power. Dukungan yang diperolehnya pada Pilpres 2019 adalah bukti bahwa dia mampu mempersuasi publik dan berbagai kekuatan politik.
Dalam posisi sebagai Menhan, Prabowo tentu sudah terlatih untuk membangun postur TNI yang makin andal. Seperti dilakukannya saat meniti karir militer, ia tahu peralatan, pelatihan, dan pendidikan terbaik untuk pasukannya.
Sebagai Menhan, dia kini punya kewenangan merencanakan dan melaksanakan agar prajurit TNI semakin tangguh dalam tugas. Prabowo kini punya peluang untuk menyisipkan soft power dalam postur militer itu, agar TNI memiliki daya tangkal dan daya cegah yang lebih tinggi.
Tentu, tak mudah menuju jalan ke sana. Secara hukum, kewenangan militer di Indonesia kini terbatas. Tidak mudah menggunakan hard power TNI, bahkan untuk ancaman terorisme dan separatisme sekali pun. Justru di sini, tantangan yang harus dihadapi Prabowo, alumnus Akmil 1974 itu. Mantan Danjen Kopassus yang sekaligus bisnisman ini ditantang menggunakan daya persuasinya.
Berkiprah di jalan politik adalah pilihan Prabowo. Kalau sekadar ingin menikmati hidup, ia bisa ongkang-ongkang kaki. Hartanya yang Rp1,9 triliun lebih dari cukup untuk dinikmati seumur hidup. Beberapa pengusaha menuturkan, Prabowo merintis bisnis di lingkungan elite Yordania, yang bisa mengantarnya menguasai blok minyak di Asia Tengah. Tambang dibeli saat harga minyak masih di bawah USD35 per barel (awal 2000-an), dan dijualnya ketika harga di atas USD100 per barel.
Prabowo menyingkir ke Yordania, kemudian ke Swis, setelah ia diberhentikan sebagai anggota TNI. Saat itu ia menjabat Pangkostrad sekaligus Danjen Kopassus. Pangkatnya letnan jenderal. Dia dipersalahkan mengambil tindakan-tindakan pengamanan di luar kendali atasannya. Tapi, tuduhan pelanggaran HAM atas Prabowo tidak terbukti.
Prabowo lahir sebagai anak ketiga dari pasangan Soemitro Djojohadikoesomo-Dora Marie Sigar. Dari sisi ayah ia mewarisi budaya Jawa. Ibundanya dari Minahasa. Sang ayah memberikan nama Subianto untuk mengenang adik kesayangannya, Subianto, kadet remaja di Akademi Militer Tangerang, yang gugur dalam baku tembak ketika hendak melucuti Tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Januari 1946.
Profesor Soemitro adalah teknokrat yang sekaligus politikus. Ia meraih gelar doktor ekonomi pada usia 26 tahun. Seperti banyak intelektual dari era perjuangan kemerdekaan, Profesor Soemitro bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin Sutan Syahrir.
Pada 1950-an, Profesor Soemitro dua kali menjadi menteri. Sejak pertengahan 1950-an, muncul kerumitan politik antara pusat dan daerah yang kemudian melahirkan perlawanan militer, yang kemudian dicatat sebagai pemberontahan PRRI. Partai Masyumi dan PSI dianggap ikut di dalamnya.
Penangkapan pun dilakukan terhadap pimpinan Masyumi dan PSI. Profesor Soemitro memilih menyingkir keluar negeri. Mula-mula di Malaysia, lalu Swis kemudian London. Prabowo menyelesaikan pendidikan menengah dan atas di luar negeri. Ia memilih masuk Akmil, mengikuti jejak pamannya.
Lulus Akmil, Prabowo masuk ke satuan elite Angkatan Darat, korps baret merah Kopassus. Ia salah satu perwira yang terpiliih mengikuti pendidikan Special Forces Officer Course di Fort Benning Amerika Serikat. Lingkungan militer itu pula yang membawanya bertemu Siti (Titiek) Hediyati Soeharto, putri Presiden Soeharto. Keduanya menikah, dikarunia seorang anak dan berpisah tak lama setelah Presiden Soeharto mundur 1998, akibat krisis politik yang sangat masif. Krisis itu pula yang membuat karir militer Prabowo berakhir dan ia harus menjalani hidup dengan cara yang berbeda. (P-1)