Sosok santri yang mumpuni ada pada diri Profesor Mahfud MD. Ia dikenal sebagai intelektual ilmu hukum tata negara, sekaligus memahami urusan teknokrasinya. Pasalnya, ia pernah menjabat sebagai Menhan dan Menkum HAM pada era Presiden KH. Abdurahman Wahid (1999-20010).
Mahfud MD juga pernah menjadi anggota DPR RI (2004-2008) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013). Belakangan, ia duduk di Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Toh, dia tetap seorang santri, rendah hati, ilmu agamanya kental, dan hidupnya sepi dari cerita miring dan nada sumbang.
Tak heran bila Presiden Joko Widodo sempat meliriknya menjadi wakil presiden menjelang pencalonan Pilpres 2019. Namun, konstelasi politik tidak berpihak pada putra Madura berusia 62 tahun ini. Pilihan akhirnya jatuh pada Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin. Dosen UII (Universitas Islam Indonesia) Jogjakarta itu tak kecil hati. Ia tetap berdiri di barisan Jokowi meski menolak masuk secara resmi di tim suksesnya.
Mahfud turut berdiri di depan, membentengi Presiden Joko Widodo, ketika sang petahana itu diserang banyak isu hukum, baik di sepanjang masa kampanye atau sesudahnya. Maka, tidak mengherankan bila ia menjadi orang pertama yang diundang ke Istana Presiden untuk audiensi menuju kabinet.
Profesor Mahfud pun dilantik Rabu (23/10/2019) lalu, menjadi satu dari 34 orang yang mengisi posisi di Kabinet Indonesia Maju di bawah Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma’ruf Amin. Mahfud diminta duduk di posisi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan (Menko Polhukam). Menurut tradisi pemerintahan di Indonesia, posisi Menko Polhukam adalah untuk sosok senior yang dihormati.
Rekam jejak Mahfud cukup panjang dalam urusan hukum dan politik. Ia pun dikenal cekatan, berani, dan pandai berkomunikasi dengan publik. Terkait hal ini, ada catatan panjang atas kiprahnya di Mahkamah Konstitusi perihal keputusan lembaganya tentang suara terbanyak untuk caleg yang bersaing di Pemilu. Mahfud menjadi narasumber yang laris di media pers, karena dianggap mampu memberikan perspektif yang jelas dan menyegarkan.
Semua pencapaian itu harus dilakukan Mahfud melalui kerja keras. Ia menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di lingkungan pesantren hingga menamatkan PGA (Pendidikan Guru Agama), setingkat SMA di Pamekasan, Madura. Tak puas dengan bekal pendidikan yang ada ia pun ke Jogja, melanjutkan sekolahnya ke jenjang vokasional Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), jenjang diploma guna mengisi tenaga hakim di Kantor Pengadilan Agama.
Di Jogja Mahfud jatuh cinta pada dunia akademik. Lulus dari PHIN, ia enggan melamar menjadi pegawai di Kementerian Agama, dan ia memilih mengambil kuliah di dua tempat. Satu di Fakultas Hukum UII dan juga Sastra Arab di UGM. Ia juga aktif di HMI. Aktivitas yang tak mudah dijalani untuk mahasiswa dengan uang saku yang pas-pasan seperti Mahfud.
Kesibukannya bertambah ketika ia mulai menjalani tugas sebagai asisten dosen di UII. Di tengah situasi serba terbatas itu, toh ia berani menyunting adik kelasnya di UII, Zaizatun Nihayati, gadis asal Jember. Baru beberapa tahun kemudian kehidupannya mulai mapan setelah Mahfud resmi menjadi pengajar di UII dan Yatie (istrinya) sudah mengajar di sebuah SMA setamat dari sekolah hukumnya.
Pantang melangkah surut, Mahfud tak mau studi Sastra Arabnya berhenti di tengah jalan. Ia selesaikan jenjang S-1-nya itu di UGM. Lantas, sambil mengajar ia juga melanjutkan studi magister dan kemudian jenjang S-3 yang semua dilakukannya di UGM. Ia meraih gelar doktornya 1993. Tiga tahun berikutnya, Mahfud sudah dipercaya menjadi Direktur Pascasarjana UII. Masa depannya mulai bersinar terang.
Pascareformasi, Mahfud hijrah ke Jakarta. Mula-mula ia menjadi Staf Ahli (1999-2000) pada Menkum HAM yang ketika itu dijabat oleh Yusril Ihza Mahendra. Dari situ, Presiden Abdurrahman Wahid mempromosikannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Hanya 10 bulan, karena terjadi reshuffle kabinet, dia pun digeser menjadi Menkum HAM, posisi itu dijabatnya tidak sampai sebulan. Gus Dur jatuh dan Wapres Megawati naik sebagai Presiden.
Telanjur basah di pelataran politik, Mahfud pun menerima tawaran Gus Dur (alm) untuk di kursi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (2002-2005), posisi yang ikut mendorongnya ke DPR-RI. Namun, ia memilih mundur dari PKB setelah Muhaimin Iskandar menyingkirkan Gus Dur dari kepemimpinan partai pada 2006.
Toh, Mahfud bisa meniti karir politiknya tanpa melalui jalur partai politik. Sebagai Menko Polhukam kini Mahfud menghadapi urusan-urusan deradikalisasi, gerakan populisme keagamaan, separatisme yang memainkan isu rasialisme, ketidakpuasan kepada demokrasi, kekecewaan atas penagakan HAM masa lalu, merajalelanya narkoba, bahaya laten korupsi, dan seterusnya. Bukan isu-isu baru bagi Mahfud MD, ia kini hanya dituntut meramu langkah dan kebijakan yang memadai untuk meresponsnya. (P-1)