Kobaran api dan gelombang asap tidak harus menjadi pertanda buruk bagi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar. Perempuan berusia 63 tahun dipilih kembali mengisi posisi di Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Posisinya tetap sebagai Menteri LHK. Bertahannya Siti Nurbaya di Kementerian LHK ini bisa mengisahkan, bahwa politik di Indonesia itu tidak sederhana, dan tata kelola kawasan hutan ini masih dilanda kerumitan regulasi, warisan sejak puluhan tahun silam.
Kebakaran hebat kembali melanda kawasan hutan pada musim kemarau 2019 ini. Asap dan jelebunya tertiup angin ke mana-mana, merayapi jalanan kota-kota besar Jambi, Dumai, Pekanbaru, Palembang, Pontianak, dan Palangkaraya, dan banyak kota lainnya. Asap pekat itu seringkali membuat kualitas udara kota-kota itu tergolong tidak sehat, sangat tidak sehat, bahkan sesekali masuk ke kategori berbahaya. Asap berjelebu itu sempat pula menyeberang Selat Malaka, menerjang Singapura dan Malaysia.
Meski tak sekuat pada Agustus dan September lalu, pada sejumlah tempat api masih berkobar seraya menghembuskan asap pekat, bahkan di saat Siti Nurbaya beraudiensi dengan Presiden Joko Widodo dan kembali mendapat mandat untuk memimpin Kementerian LHK. Toh, tidak fair juga menimpakan segalanya kepada kader Partai Nasdem tersebut.
Nyatanya, selama Siti Nurbaya memimpin Kementerian LHK tren kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menyusut. Bila pada 2015 karhutla tercatat mencapai 2,6 juta ha, pada tahun tahun berikutnya berkurang menjadi 438 ribu ha (2016), 165 ribu ha (2017), 510 ribu ha (2018) dan per akhir September 2019 tercatat 328 ribu ha. Rekornya masih jauh di bawah karhutla 1983 yang mencapai 3,6 juta hektar, apalagi pada 1998 yang mencatat rekor karhutla yang fantastis di atas 9 juta ha.
Di bawah Siti Nurbaya, Kementerian LHK juga telah membekali pelatihan dan peralatan yang lebih baik kepada Manggala Agni, satuan penanganan Karhutla di lapangan. Kementerian LHK pun belakangan ini dianggap lebih proaktif menjalin kerja sama dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), pemda provinsi dan kabupaten-kota untuk mencegah dan menanggulangi karhutla.
Tidak bisa diabaikan peran Kementerian LHK atas aksi reforma agrara, redistribusi tanah untuk rakyat, yang sebagian besar diambil dari lahan cadangan di hutan produksi. Program Perhutanan Sosial, yang menjadi salah satu andalan Nawacita Presiden Jokowi itu, juga bergulir cukup kencang di lapangan.
Siti Nurbaya Bakar sendiri punya latar belakang sebagai birokrat tulen. Lulus dari Fakultas Kehutanan IPB, ia merintis karir birokrasinya di Bappeda Provinsi Lampung. Dengan beasiswa, dia menyelesaikan pendidikan S-2 di International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC), di bidang studi penginderaan jarak jauh 1988, sesuai dengan karirnya dalam pengembangan wilayah. Studi S-3-nya ia tempuh di almamaternya IPB, dengan tambahan riset di Siegen University, Jerman (1998).
Pulang ke Lampung ia menjabat Wakil Ketua Bappeda. Namun, sesudahnya ia ditarik ke Kementerian Dalam Negeri Jakarta, yang memang kampung halamannya. Ia mengakhiri karir birokrasinya sebagai Sekjen Dewan Perwakilan Daerah RI 2006-2013, lalu pensiun. Tapi lulusan SMAN 8 Bukitduri Jakarta Timur itu tak benar-benar bisa persiun. Ia bergabung ke Nasdem, dan tahun berikutnya menerima tugas sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berbekal pengalaman sebagai Menteri LHK selama lima tahun, perempuan berkacamata itu kini lebih percaya diri. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, ia akan memobilisasikan aparaturnya untuk melakukan patroli karhutla, dengan panduan foto-foto satelit yang mampu mendeteksi titik-titik api. Ahli foto udara itu juga ingin mengajak aparatur BNPB untuk sama-sama patroli.
Toh, penanggulangan karhutla bukan sekadar patroli pencegahan dan penanganan kebakaran. Siti Nurbaya Bakar ini juga perlu membereskan urusan regulasinya. Atas nama hal masyarakat adat, warga masih diizinkan membuka lahan dengan membakar, tapi tidak jelas pengawasannya.
Tak heran, bila korporasi perkebunan senang bila ada tetangga membakar lahan dan membiarkan api memanggang seluruh lahan yang akan digarapnya. Siti Nurbaya perlu mencari suatu solusi yang lebih permanen.Karhutla akan merusak segala jerih-payah pelaksanaan progam pengurangan emisi karbon yang telah lama dirintis di Indonesia termasuk dengan cara membasahi kembali lahan-lahan gambut. (P-1)