Indonesia.go.id - Sektor ESDM Jadi Tumpuan Masuknya Investasi

Sektor ESDM Jadi Tumpuan Masuknya Investasi

  • Administrator
  • Selasa, 29 Oktober 2019 | 05:39 WIB
PEMERINTAHAN JOKOWI JILID II
  Serah Terima Jabatan Menteri ESDM Periode 2019-2024 di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: Dok. ESDM

Masalah yang masih menghantui dan besar adalah bagaimana memperbaiki current account deficit (CAD) di sektor migas.

Di bawah pundak Luhut Binsar Pandjaitan, Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, sejumlah pekerjaan rumah siap menghadangnya. Tentu tidak ringan bagi Luhut menjawab tantangan pekerjaan rumah sejumlah sektor di bawah koordinasinya.

Bila dilihat rentang tanggung jawabnya, Luhut tidak hanya bertanggung jawab di sektor kelautan dan perikanan—sesuai nama kementerian yang dipimpinnya. Namun, rentang koordinasi yang dipegangnya termasuk sektor ESDM, perhubungan, pariwisata, serta investasi.

Benar, pembaca tentu merasa janggal ada nama investasi dari nomenklatur kementerian tersebut. Namun dari penamaan kementerian itu, kita tentu sudah bisa membacanya, Presiden Joko Widodo sangat percaya terhadap pria asal Tarutung tersebut.

Seperti disampaikan Luhut kepada pers setelah dipanggil oleh Jokowi di Istana Negara, Selasa (22/10/2019), dirinya kembali dipercaya untuk menangani masalah maritim dan investasi.

“Saya diminta oleh presiden untuk menyelesaikan masalah investasi di sejumlah bidang, umumnya di bidang di bawah koordinasi saya,” ujarnya.

Sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman atau kerap disebut Menko Maritim, Luhut bertanggung jawab melakukan koordinasi terhadap empat kementerian di bawahnya, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Kementerian-kementerian di bawah koordinasi Kemenko Maritim merupakan kementerian strategis yang banyak mengundang investasi. Wajar jika kemudian Luhut kerap mengurus hal tersebut.

Menurut Luhut, dirinya diberi arahan presiden untuk menyelesaikan masalah investasi di sejumlah bidang, umumnya di bidang-bidang di bawah koordinasi kementeriannya seperti industri migas, petrokimia, program B20 dan B30, hingga perbaikan pengelolaan sumber daya mineral.

Presiden Jokowi, tambah Luhut, juga memintanya agar masalah “refinery” dan petrokimia harus selesai dalam beberapa tahun ke depan. “Saya diminta langsung membantu penanganan itu,” kata suami Devi Simatupang ini.

Dari pernyataan Luhut itu, sangat kental sekali adanya pesan Presiden Joko Widodo untuk perlunya seorang eksekutor untuk membenahi pelbagai masalah sejumlah sektor di bawah koordinasi Kemenko Maritim dan Investasi.

Dalam konteks ini, pembahasan tidak akan melebar terlalu jauh membahas pelbagai masalah. Kali ini, fokus pada pembahasan masalah sektor ESDM, yang juga masih di bawah kendali Luhut Binsar Pandjaitan.

Berbicara soal sektor ESDM, masalah yang masih menghantui dan besar adalah bagaimana memperbaiki current account deficit (CAD). Dan, salah satu penyebab utama pelebaran CAD adalah defisit neraca minyak dan gas (migas).

Sekadar catatan, per September 2019, defisit neraca migas Indonesia tercatat sebesar USD6,44 miliar. Hasil ini diperoleh dari nilai impor migas Indonesia yang mencapai USD15,86 miliar, sedangkan ekspor migas hanya USD9,42 miliar.

Sebagai Menteri ESDM, tugas Arifin Tasrif yang diberi amanah untuk memperbaiki defisit neraca migas tentu bukan perkara mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan saja. Apalagi, defisit neraca migas sudah terjadi sejak tahun 2000.

Kebutuhan Domestik

Hal ini terjadi lantaran kebutuhan migas di dalam negeri yang terus belum mampu diimbangi oleh tingkat produksi yang memadai. Sebagai gambaran, khusus untuk minyak, konsumsi emas hitam itu sudah mencapai 1,6 juta barel, tapi produksinya hanya bisa 800.000 barel.

Upaya terbaik yang bisa dilakukan sekarang adalah memperbanyak produksi dan cadangan minyak. Dengan begitu, setidaknya kebutuhan minyak di dalam negeri dapat terpenuhi dan impor berangsur-angsur turun.

Artinya, pemerintah dan SKK Migas harus mendorong tumbuhnya investasi di sektor itu. Sebagai informasi, menuurut data SKK Migas, investasi di sektor hulu migas cenderung turun. Investasi beberapa tahun terakhir ini tidak pernah mencapai seperti pada 2014 dengan nilai USD21,7 miliar.

Setelah 2014, investasi hulu migas yang masuk terus merosot menjadi USD17,9 miliar (2015), USD12,7 miliar (2016), USD11 miliar (2017), USD11,9 miliar (2018), dan USD5,21 miliar pada 2019. Khusus investasi di 2019 baru terdata hingga Juni 2019, belum termasuk Blok Masela.

Ini menjadi pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan di sektor itu, termasuk SKK Migas dan pelaku usaha di sektor itu, untuk menggenjot ekplorasi dan ekploitasi sumur-sumur migas.

Peluang itu ada, karena negara ini sangat kaya terhadap sumber daya alam itu termasuk yang masih belum digarap dengan baik terutama yang berada di laut dalam. Namun untuk menggarapnya tentu butuh dana besar. Artinya, butuh investasi.

Bagaimana dengan program bauran energi, sejatinya tetap perlu digenjot sebagai wujud komitmen Indonesia untuk program energi yang berkelanjutan. Harus diakui, implementasi bauran BBM dengan biodiesel 20% (B20), B30 atau B50 hanya memberi manfaat bagi neraca migas secara jangka pendek.

Pasalnya, kebijakan tersebut disubsidi oleh pemerintah. Artinya, pemerintah perlu memperhatikan risikonya, walau secara moneter menguntungkan, subsidi yang besar juga bisa membebani fiskal.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus mengupayakan pengurangan diskriminasi tarif sehingga komoditas seperti crude palm oil (CPO) harganya bisa terkerek lagi. Peluang inilah yang harus diperbesar sehingga bisa menolong neraca perdagangan Indonesia.

Dalam jangka pendek, yang dibutuhkan untuk mendorong investasi, baik untuk keperluan eksplorasi minyak bumi, produksi gas bumi dan batubara, hingga investasi untuk menaikkan pemanfaatan EBT sangat memerlukan terobosan dari sisi regulasi.

Dengan adanya terobosan regulasi, harapannya tentu dana investasi yang besar,  baik berupa foreign direct investment (FDI) ataupun domestic direct investment (DDI), dapat didorong masuk sehingga sektor ESDM tetap menjadi lokomotif ekonomi bangsa ini. (F-1)