Presiden terpilih Joko Widodo telah tuntas menyusun pembantunya di Kabinet Indonesia Maju, termasuk menunjuk Agus Suparmanto sebagai nakhoda baru di Kementerian Perdagangan. Pelbagai kalangan pun menyakini, Agus mampu mengemban amanat yang dibebankan ke dirinya.
Tentu tidak ringan tugas bagi politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu. Pasalnya, Agus yang juga berlatar belakang pengusaha itu mendapatkan amanat agar sektor perdagangan Indonesia menjadi lebih maju lagi.
Untuk sektor perdagangan dalam negeri, misalnya, dia mendapatkan tugas untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan terutama produk kebutuhan masyarakat. Begitu juga dengan perdagangan luar negeri, bagaimana memperbaiki neraca dagang menjadi surplus lagi.
Untuk kali ini, yang membahas bukan masalah-masalah perdagangan dalam negeri. Melainkan tantangan dan tanggung jawab nakhoda baru di sektor itu terutama meningkatkan ekspor menjadi lebih moncer.
Seperti disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, secara garis besar Mendag Agus memiliki sejumlah target utama untuk membawa sektor perdagangan Indonesia menjadi lebih maju.
Target itu, antara lain, memperkuat sisi perdagangan dalam negeri dalam bentuk stabilisasi harga dan ketersediaan pasokan terhadap produk kebutuhan masyrakat. Selain itu, Mendag Agus Suparmanto bertanggung jawab mengembalikan kinerja ekspor menjadi surplus.
Namun bagi menteri baru, mendongkrak kinerja di sektor itu menjadi tidak mudah di tengah situasi global yang kini suram. Apalagi bila melihat gambaran neraca perdagangan selama periode Januari--September 2019. Seperti dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini, masih terjadi defisit USD1,94 miliar.
Bila dibedah lebih jauh lagi, masih menurut data BPS, neraca perdagangan September 2019 mencatatkan defisit sebesar USD160 juta. Hal itu disebabkan oleh ekspor September yang turun 1,29% dari bulan sebelumnya menjadi USD14,10 miliar. Di sisi lain, impor tumbuh 0,63% dari bulan sebelumnya menjadi USD14,26 miliar.
Penyebab turunnya ekspor yang cukup tajam pada September yang mencapai 5,74% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kata Kepala BPS Suhariyanto, adalah anjloknya harga sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia.
“Kinerja ekspor kita secara umum memang terbebani oleh kondisi ekonomi global yang melemah. Namun secara spesifik, ekspor kita tertekan karena harga dua komoditas ekspor utama kita, yakni batu bara dan minyak kelapa sawit, terus mengalami kejatuhan,” ujarnya, Selasa (15/10/2019).
Mungkin juga pendapat dari Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono bisa menjadi pegangan pemerintah untuk membuat kebijakan ke depannya, termasuk memperbaiki neraca perdagangan tersebut.
Menurutnya, defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang tahun ini bakal menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sulit untuk bisa menembus 5,0%. Pasalnya, industri manufaktur terus tertekan oleh penurunan impor bahan baku.
“Pemerintah terlalu fokus menekan impor, yang ternyata salah sasaran. Impor bahan baku dan penolong yang turun tajam, sebaliknya barang konsumsi terus tumbuh,” ujarnya miris.
Bekerja Lebih Keras
Kondisi ini tentu ini menjadi kendala bagi industri manufaktur yang digadang-gadang menjadi salah satu elemen utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, Handito meminta pemerintah lebih bekerja keras untuk memacu ekspor.
Sebenarnya komoditas apa saja yang dapat dipacu ekspornya guna mendukung kinerja dagang Indonesia? Menurut hemat Handito, ada empat komoditas yang bisa menjadi andalan ke depan. Keempat komoditas itu adalah bahan makanan, elektronik, fesyen, dan produk dekorasi rumah.
“Pemerintah harus segera mengambil langkah cepat dan strategis. Bila tidak, negara ini bisa terperangkap dalam jurang resesi, seperti yang terjadi di negara-negara lain, pada tahun-tahun mendatang,” katanya.
Pendapat Handito senada dan terkonfirmasi dari pernyataan Sri Mulyani yang dikemukakan di malam silaturahmi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta. Disinyalkan bahwa ancaman resesi bukan sebuah bualan.
Dalam paparannya pada Jumat (1/11/2019) itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan peringatan bahwa perekonomian global kini menghadapi ketidakpastian, yang berdampak terhadap pelemahan ekonomi di banyak negara termasuk perekonomian domestik.
Beberapa faktor global yang sangat berpengaruh terhadap prospek ekonomi 2020, seperti belum tercapainya kesepakatan perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok, ancaman impeachment Trump oleh kongres, adanya stimulus moneter The Fed dengan penurunan 25 bps yang menyebabkan pelonggaran likuiditas global.
Dari kawasan Eropa, belum tuntasnya masalah Brexit yang berpotensi menyebabkan defisit yang semakin melebar selain potensi ancaman resesi 2020. Tidak itu saja, adanya rencana stimulus European Central Bank (ECB), masih terjadinya perlambatan serta perang tarif dengan AS juga menjadi potret buram ekonomi dunia 2020.
Di belahan bumi lain, Timur Tengah, sejumlah konflik di kawasan itu juga menjadi penyebab risiko global. Konflik itu, antara lain, serangan Turki terhadap pemberontak Kurdi, serangan terhadap tanker minyak Iran, dan potensi memicu serangan balasan dari Iran. Begitu juga penempatan pasukan tambahan AS di Arab Saudi yang dianggap sebagai persiapan serangan terhadap Iran.
Dan, tentu masih berlanjutnya perang tarif AS dan Tiongkok juga memberikan pengaruh bagi risiko krisis global tersebut. Kondisi itu semakin menekan ketika Pemerintah Tiongkok melalui People Bank of China (PBOC) berencana memberikan stimulus melalui tambahan likuiditas 200 miliar Yuan melalui pinjaman ke sistem perbankan negara itu dengan tenor 1 tahun.
Imbas dari beberapa faktor itu tentu berdampak terhadap perekonomian global. Bahkan, World Economic Outlook yang dirilis pada Oktober, telah memberikan peringatan bahwa pertumbuhan ekonomi global diproyeksi hanya 3,4% dan itu juga berpotensi turun.
Potret suram dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global tentu juga mengkoreksi proyeksi pertumbuhan volume perdagangan global. Pada 2020 diproyeksi hanya 3,2% dengan potensi turun. “Yang jelas, perlambatan ekonomi global itu tentu berdampak bagi perekonomian Indonesia,” tambah Sri Mulyani.
Ada 3 jalur imbas perlambatan ekonomi global. Pertama, pasar finansial, yakni aliran modal ke Indonesia dipengaruhi oleh kebijakan moneter negara maju. Kedua, bagi penanaman modal asing (FDI). Sentimen negative global dapat mempengaruhi kepercayaan investor. Dan, ketiga, sektor perdagangan. Kinerja neraca nonmigas tetap akan tertekan, dan defisit neraca masih tetap tinggi.
Namun yang jelas, perekonomian global yang masih volatile diyakini tetap akan mempengaruhi perdagangan dunia. Bagi Indonesia, yang sangat berkepentingan untuk menggenjot ekspornya tentu harus pintar-pintar menjual produk yang memiliki daya saing di pasar global.
Produk itu, antara lain, produk otomotif, produk manufaktur termasuk elektronika, fesyen selain komoditas unggulan lainnya, seperti CPO dan lainnya sembari juga melakukan relaksasi sejumlah regulasi yang menghambat laju ekspor Indonesia. Inilah tantangan Indonesia di peta perdagangan global. (F-1)