Indonesia.go.id - Peta Jalan Menambal Defisit Pembayaran

Peta Jalan Menambal Defisit Pembayaran

  • Administrator
  • Rabu, 6 November 2019 | 19:37 WIB
INDUSTRI MANUFAKTUR
  Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (kanan) bersama mantan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (kiri) saat Serah Terima Jabatan di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: Dok. Kemenperin

Peta jalan Making Indonesia 4.0 warisan Airlangga menunggu sentuhan Agus Gumiwang. Dua tokoh Golkar ini bertugas menarik investasi, penerimaan pajak, devisa, dan lapangan kerja baru lewat industri manufaktur.

Estafet jabatan strategis Menteri Perindustrian RI yang bergulir dari Airlangga Hartarto, 57 tahun, ke Agus Gumiwang Kartasasmita, 50 tahun, tentu bukan kejadian biasa. Peristiwa ini tidak saja menandai pertaruhan Partai Golkar, yang kadernya berada di posisi yang akan disorot, juga menjadi pertaruhan nama Hartarto dan Ginanjar Kartasasmita, dua sosok penting di balik kisah sukses industrialisasi pada era Pemerintahan Presiden Soeharto. Keduanya dikenal sebagai teknokrat yang cakap serta 15 tahun berada dalam kabinet Presiden Soeharto.

Dalam Kabinet Indonesia Maju (2019-2024), Airlangga Hartarto dipercaya untuk duduk menjadi Menko (Menteri Koordinator) Perekonomian, setelah sebelumnya 39 bulan ia menjabat Menteri Perindustrian–pos yang selama 10 tahun (1983-1993) dijabat Hartarto senior, ayah Airlangga. Sementara itu, track  Agus Gumiwang berbeda dari sang ayah. Agus menjabat sebagai Menteri Perindustrian setelah sebelumnya 14 bulan menjabat sebagai Menteri Sosial.

Adakah kedua kader Golkar itu bisa meraih reputasi seperi ayah mereka? Situasinya berbeda. Hartarto dan Ginanjar berkiprah di era ketika pemerintah begitu kuat, sentralistik, otoriter, dan executive heavy  yang dimungkinkan karena fleksibilitas konstitusi. Kebijakan industri bisa mudah diambil, cukup dengan pertimbangan teknokrasi tanpa risiko politik yang rumit. Kerumitan itulah yang kini harus diemban Airlangga dan kini bergeser pada Agus Gumiwang.

Selama 39 bulan, Airlangga telah menempuh berbagai cara, mengeluarkan sejumlah kebijakan, bahkan membuat peta jalan pemanfaatan teknologi revolusi 4.0 (disebut Making Indonesia 4.0) guna membuat percepatan pertumbuhan industri. Airlangga pun mendorong pendidikan vokasional industri, membuka kawasan industri, dan mendesakkan pemanfaatan komponen lokal. Presiden Jokowi telah menerbitkan sejumlah  peraturan yang memudahkan investasi dan percepatan izin industri. Namun, hasilnya masih belum seperti yang diharapkan.

Kondisi inilah yang  diwariskan kepada Agus Gumiwang. Agus menanggung beban yang tak ringan. Ada target penerimaan pajak industri, devisa hasil ekspor, arus investasi asing dan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, kondisi industri  manufaktur nasional secara rata-rata hanya tumbuh di bawah 5%. Belum dua minggu jadi Menperin Agus Gumiwang belum banyak bicara. Ia masih berbicara memperluas pasar ekspor bagi industri yang telah terpasang dan dianggapnya punya daya saing.

‘’Contohnya, industri otomotif, makanan dan minuman, serta aneka industri, yang mempunyai peluang untuk ditingkatkan  ekspornya," katanya. Menurutnya, tekanan terhadap industri manufaktur nasional karena kondisi ekonomi global yang tengah menurun. "Karena itu, Kementerian Perindustrian bersama Kementerian Perdagangan akan senantiasa berusaha keras untuk membuka dan memperdalam pasar ekspor,” ia menambahkan.

Industri manufaktur adalah pilar penting perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, untuk  tahun 2018 sektor industri manufaktur itu memberikan kontribusi 19,82% terhadap PDB (produk domestik bruto). Kalau dinominalkan Rp2.947,3 triliun, menjadi penyumbang terbesar terhadap  PDB Indonesia yang mencapai Rp14.837 triliun. Tenaga kerja yang terlibat hampir 18 juta orang. Kontribusi yang sangat signifikan.

Langkah percepatan industrialiasi di Indonesia dilakukan sejak 50 tahun lalu. Ketika itu, sumbangan dari sektor industri masih 7,5 persen. Jauh di bawah sektor pertanian yang kontribusinya masih sekitar  55%. Sejak 1980, industri manufaktur mengalami percepatan luar biasa. Pada kurun 1980 – 1997, ia tumbuh rata-rata 10,9% per tahun. Jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional  yang rata-rata 6,7% . Pada 1997, industri manufaktur itu menyumbang 26,8% terhadap PDB Indonesia.

Namun, krisis ekonomi-moneter 1998 membuat semuanya ambyar. Sebagian industri yang  terpasang ternyata tak bisa bersaing. Kontribusi industri manufaktur anjlok ke 16%.  Badai ekonomi itu memukul pula sektor ekonomi lainnya. Toh, di tengah segala kesulitan pascabadai, sebagian unit industri itu bisa bangkit. Hasilnya, pada tahun 2001 sektor industri manufaktur menyumbang 29% PDB.

Namun, itu angka yang tertinggi yang bisa dicapai. Setelah itu, landscape ekonomi pun berubah. Sektor migas, pertambangan, dan perdagangan, mengalami akselerasi, sementara gerak  industri manufaktur melambat. Maka, ketika Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan akhir 2014, sumbangan dari sektor industri manufaktur pada PDB tinggal 21,08%. Selama lima tahun terakhir, kontribusinya turun lagi dan bertengger di 19,82%.

Tidak berarti tumbuh negatif. Namun, pertumbuhannya (2015-2018) hanya sekitar 4,8% per tahun, di bawah growth ekonomi nasional. Padahal, di tengah gerak ekonomi nasional yang lambat ini, industri manufaktur diharapkan bisa menjadi lokomotif pertumbuhan, terutama dari kontribusi ekspor, pajak, investasi dan penyerapan tenaga kerja.

Memang tidak semua jenis industri sedang mengalami masa-masa sulit. Data BPS menyebutkan bahwa di triwulan II 2019, secara umum industri sedang-besar hanya tumbuh 3,62% (year-on-year), namun di dalamnya ada industri pakaian jadi (garmen) yang tumbuh 25,8%,  industri percetakan dan reproduksi media rekaman tumbuh 22,7%. Sementara itu, industri logam (bukan mesin) terjun bebas ke minus 21,5%. Pada kurun yang sama, di level kecil-mikro, industri komputer, elektronika dan optik, tumbuh 17,7%.

Tidak semua pesimistis dan terseok. Pada cluster industri pengolahan non migas terjadi kenaikan jumlah populasi pelaku industri dan serapan tenaga kerjanya. Jika pada 2014 tercatat 25.094 unit industri besar dan sedang, maka pada 2017 bertambah menjadi 30.992 unit. Lebih jauh, jika pada 2014 tercatat hanya 3,52 juta unit industri kecil, maka pada 2017 bertambah jadi 4,49 juta unit. Kalau saja, potensi industri ini bisa melaju, hantu defisit neraca pembayaran yang dalam beberapa tahun belakangan membengkak, tak harus tumbuh menjadi tumor kronis. Seperti di banyak negara maju, bahkan di negara jiran seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, devisa dari produk industri efektif menjadi kedaulatan ekonominya.

Semuanya tentu menunggu jurus-jurus efektif Agus Gumiwang Kartasasmita dan Airlangga Hartarto untuk membuka peluang dan harapan baru. (P-1)