Indonesia.go.id - Saatnya Ekonomi Syariah Digarap Lebih Serius

Saatnya Ekonomi Syariah Digarap Lebih Serius

  • Administrator
  • Kamis, 7 November 2019 | 00:12 WIB
INSTRUMEN KEUANGAN
  Pameran produk batik saat Sharia Fair 2019 di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (6/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim

Instrumen ekonomi syariah kini menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, sumber kesejahteraan umat.

Ekonomi syariah, di era Presiden Joko Widodo, pertumbuhan industrinya terus digenjot. Bahkan, instrumen keuangan ini diyakini akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional dan menjadi sumber kesejahteraan umat.

Tidak tanggung-tanggung, Kepala Negara memberikan tanggung jawab pengembangan ekonomi berbasis syariah itu kepada pendampingnya, Wakil Presiden dan juga Ketua nonaktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin.

Didapuknya Ma’ruf Amin untuk memimpin pengembangan ekonomi syariah tentu tidak salah. Dari sisi kepakaran wakil presiden ini cukup mumpuni. Beliau adalah seorang ulama dengan latar belakang pendidikan, selain cukup lama menekuni ekonomi syariah.

Terlepas dari figur Ma’ruf Amin, keyakinan pemerintah saat ini untuk lebih memberikan perhatian terhadap pengembangan ekonomi syariah sudah tepat dan patut disyukuri. Perhatian lebih itu masuk akal karena 87,18% penduduk Indonesia adalah Muslim.

Presiden Joko Widodo dalam peresmian Masterplan Ekonomi Syariah (Meksi) 2019-2024 bahkan telah meminta agar pengembangan ekonomi berbasis syariah ditangani secara lebih serius. “Indonesia memiliki peluang besar menjadi salah satu negara ekonomi terkuat ke-4 atau ke-5 di dunia pada 2045. Namun, untuk menuju ke sana, banyak persoalan dan tantangan yang harus dihadapi,” katanya.

Presiden Jokowi mengakui banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi bangsa ini. Dan terlepas dari semua itu, Kepala Negara menyakini ada satu instrumen ekonomi yang belum digarap secara optimal dan menjadi kunci.

"Dan kunci utama menuju cita-cita ekonomi tersebut, negara ini memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, kunci itu adalah ekonomi syariah, sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional, sumber kesejahteraan umat," tuturnya optimistis.

Jokowi pun memberikan ilustrasi bagaimana kapasitas ekonomi syariah memiliki potensi besar di tingkat dunia. Pada 2023 sebagaimana diprediksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kapasitas ekonomi syariah di Indonesia mencapai USD3 triliun (Rp45.000 triliun).

“Saya enggak bisa bayangkan angka seperti itu. APBN yang kita kelola saja Rp2.000 triliun lebih sedikit. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia," ujar Jokowi.

Potensi Besar

Ekonomi syariah tentu merujuk pada potensi masyarakat muslim. Pertanyaan selanjutnya, segmen apa saja yang bisa digali dan menjadi potensi ekonomi berbasis syariah?

Minimal ada enam segmen potensi ekonomi yang bisa digunakan melalui pendekatan ekonomi syariah. Pertama, makanan halal (halal food),  keuangan Islam (islamic finance), bisnis wisata halal (halal travel), fesyen muslim, media dan rekreasi halal, serta pasar kosmetik dan farmasi halal.

Sebagai gambaran, potensi populasi Muslim dunia mencapai 1,8 miliar, atau 24% dari populasi dunia. Dari populasi sebesar itu, potensi pasar ekonomi Islam mencapai USD2.107 miliar, setara dengan 0,27% produk bruto dunia.

Bila dibedah berdasarkan per segmen di atas, potensi kue masing-masing segmen itu adalah USD1.303 miliar (halal food), USD270 miliar (produk fesyen), USD209 (bisnis media dan rekreasi halal), USD177 miliar (bisnis wisata halal), dan USD148 miliar (pasar kosmetik dan farmasi halal).

Menurut data Global Islamic Economy Indicator, meskipun Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, ternyata negara ini tercatat hanya menduduki peringkat 10 dengan skor 45 dari 73 negara yang mengembangkan ekonomi syariah di dunia.

Dari sisi peringkat, posisi Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia yang menduduki peringkat pertama dengan skor 127. Dari pelbagai segmen itu, segmen pengembangan busana Muslim yang terbaik, yakni menempati peringkat kedua terbaik dunia setelah Uni Emirat Arab.

Perhatian yang serius terhadap pengembangan industri destinasi wisata halal juga telah menempatkan negara ini di peringkat empat dunia. Ihwal pengembangan keuangan syariah di Indonesia, ternyata hanya berada di peringkat 10, kalah jauh dengan Malaysia yang menduduki peringkat pertama.

Masih berdasarkan laporan Global Islamic Economic (GIE) 2018/2019, potensi ekonominya luar biasa. Dari sisi konsumsi umat Muslim saja, merujuk laporan GIE tersebut, tercatat mencapai USD219 miliar dari total konsumsi Indonesia sebesar USD581,9 miliar.

Bila dibedah lebih jauh lagi, sebagai produsen, negara ini memiliki potensi pasar yang bisa digali dari masing-masing segmen di atas, potensi bisnis makanan halal bisa menghasilkan USD170 miliar, busana Muslim (USD20 miliar), bisnis media dan rekreasi muslim (USD10 miliar), bisnis wisata halal (USD10 miliar), dan dari bisnis kosmetika dan farmasi halal (USD5,2 miliar).

Namun, negara ini patut berbangga. Sebab, di sektor keuangan syariah ternyata Indonesia menduduki peringkat pertama menurut versi laporan Global Islamic Finance 2019. Pada 2018, Indonesia tercatat masih menduduki peringkat enam. Setahun kemudian atau 2019, negara ini menduduki peringkat satu dengan skor 81,93, menggeser Malaysia yang semula menduduki peringkat satu (2018) menjadi kedua pada 2019.

Sebagai bagian bangsa yang besar dan berpopulasi umat Muslim terbesar dunia, kita patut mendukung ambisi Presiden Joko Widodo yang berencana menjadikan ekonomi syariah sebagai salah satu instrumen utama ekonomi bangsa ini.

"Ini sebuah kekuatan besar yang harus kita lihat dan harus kita pikirkan untuk mengambil kue ekonomi yang besar ini," tambah Joko Widodo.

Tantangan pemberdayaan ekonomi syariah tidak ringan. Perlu melibatkan pelbagai sektor lainnya yang menempatkan ekonomi syariah sebagai bagian integrasi pertumbuhan sistem ekonomi secara menyeluruh.

Dan, pengembangan sektor riil secara fundamental bisa menjadi fokus utama dari sistem ekonomi syariah tersebut. Sudah selayaknya Indonesia tidak hanya sebagai konsumen ekonomi itu atau jadi penonton orkestrasi ekonomi berbasis syariah, tetapi negara ini harus menjadi produsen utama sistem ekonomi ini. (F-1)