Rencana PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menaikkan harga gas per 1 November 2019 akhirnya tak terwujud. Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa harga jual gas untuk industri tidak jadi naik.
Penolakan rencana kenaikan harga gas bagi industri itu bisa dipahami. Di tengah-tengah tuntutan agar pelaku industri dalam negeri kompetitif dan kondisi ekonomi global yang berat, keputusan itu sangat tepat dan patut didukung.
Bahkan, Arifin pun mengingatkan agar isu masalah harga gas tidak perlu sampai ke presiden. “Yang jelas tidak jadi [rencana kenaikan harga gas], dan tidak perlu sampai ke presiden. Di tingkat ESDM saja, karena kami ingin industri menjadi lebih kompetitif,” ujarnya, usai rapat terbatas di Istana Negara, Kamis (31/10/2019).
Keputusan pemerintah seperti disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif bagi PGN tentu menjadi dilema. Bagi PGN, rencana kenaikan disebabkan emiten gas sudah tidak pernah lagi menyesuaikan harga komoditasnya sejak 2013, atau lebih dari 7 tahun.
Di sisi lain, biaya pengadaan gas, biaya operasional dan kurs dolar Amerika terus meningkat. Perlu diketahui, PGN kini menjual gas ke konsumen di kisaran USD8-USD10 per juta British thermal unit (MMBtu). Harga ini dinilai sudah tidak layak lagi. Inilah yang melatarbelakangi PGN menaikkan harga gas tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, siapa saja yang terkena dampak dari komponen harga gas itu? Menurut catatan Kadin, sektor industri yang berpotensi terkena pengaruh dari kenaikan harga gas adalah sektor industri petrokimia pengolah migas, keramik, kaca, baja, oleokimia, pulp dan kertas, serta makanan dan minuman.
Di tengah-tengah lesunya ekonomi global, dan menekan semua sektor, rencana itu tentu tidak elok meskipun mereka berkilah rencana itu hanyalah penyesuaian dari biaya operasional yang terus terkerek, selain faktor kurs mata uang yang terus menanjak.
Dan, instrumen penaikan harga bisa jadi alat agar perusahaan gas itu memiliki ruang untuk ekspansi, salah satunya mengembangkan infrastruktur gas bumi. Beberapa sentra industri baru adalah sasaran pengembangan ekspansi usaha mereka, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang belum terjamah gas bumi.
"Rencana penyesuaian harga gas bumi sudah dikaji secara matang. Selain itu, PGN juga sudah mempertimbangkan kemampuan industri,” seperti dikutip dari pernyataan resmi PGN, Jumat (27/9/2019)
Lindungi Industri
Khusus soal harga gas industri, pemerintah sebenarnya telah memiliki sejumlah regulasi yang melindungi industri dari penetapan harga gas yang sewenang-wenang. Regulasi itu, antara lain, Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Selain diatur melalui perpres, ada dua kebijakan turunan berbentuk peraturan menteri. Regulasi itu adalah Permen ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Dan kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2019 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
Artinya, dengan adanya dua dukungan kebijakan tersebut, harusnya harga gas industri sebenarnya sudah didorong untuk turun dan akhirnya mendorong industri bisa berdaya saing seperti diamanatkan oleh Perpres Nomor 40 Tahun 2016.
Harapannya, meskipun tidak turun, larangan untuk menaikkan harga gas itu bisa memacu lagi industri untuk lebih berdaya saing di tengah-tengah kondisi makro global yang masih tidak menentu. Ujung dari semua itu tentunya memberikan efek yang positif bagi ekonomi nasional.
Seperti disampaikan Pelaksana Tugas Dirjen Migas ESDM Djoko Siswanto, pemerintah memang melarang harga gas naik. Tujuannya agar biaya produksi dari industri di dalam negeri tidak bertambah besar. "Kalau harga naik cost-nya jadi tambah naik, nanti harga jual dia nggak bisa bersaing kalau diekspor.”
Setelah harga gas industri batal naik, Kementerian ESDM juga meminta agar PGN meningkatkan efisiensi. Menurut Djoko, profitabilitas dari PGN masih cukup baik yang tecermin dari pembayaran dividen setiap tahun.
Pada tahun ini PGN membagikan dividen sebesar Rp1,38 triliun dari laba berjalan, atau senilai Rp56,99 per lembar sahamnya. “Kami berharap, PGN bisa tetap menjaga profitabilitas dengan strategi efisiensi tanpa menaikkan harga jual gas untuk kalangan industri,” ujar Djoko Kamis, (31/10/2019). (F-1)