Indonesia.go.id - Krisis tak Mampir di Gambir

Krisis tak Mampir di Gambir

  • Administrator
  • Selasa, 12 November 2019 | 04:14 WIB
PERANG DAGANG
  Pekerja melakukan bongkar muat barang dari kapal di Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (6/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Sejumlah negara sangat was-was dengan akibat perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Bahkan sejumlah negara sudah menyiapkan sejumlah jurus penolaknya. Tapi syukurlah, sepertinya krisis tak akan berlanjut, kedua negara sudah berbaik-baikan.

Perang dagang Tiongkok dan AS hampir berakhir. Kedua negara sudah mulai menurunkan tensi ketegangannya. Sejumlah negara mulai lega karena resesi sepertinya tak akan terjadi. Seperti diketahui, Perang dagang Tiongkok dengan AS berimbas pada perekonomian global. Akibat perang ini sejumlah negara terancam resesi ekonomi. Kedua negara terbesar itu sudah terlibat perang dagang sejak awal 2018 dan menerapkan tarif hingga ratusan miliar dolar terhadap barang satu sama lain.

Faktor penyebab perang dagang mereka di antaranya adalah karena AS menganggap Tiongkok melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, seperti melakukan pencurian kekayaan intelektual. Juga, akibat lebarnya defisit perdagangan antara kedua negara.

Pada 1 September 2019 Amerika Serikat resmi memberlakukan tahap pertama kenaikan tarif 15% pada USD300 miliar barang asal Tiongkok. Sementara Tiongkok juga mulai memberlakukan tarif tambahan pada beberapa barang AS senilai USD75 miliar. Tarif tambahan senilai 5% dan 10% dikenakan pada 1.717 barang dari total 5.078 produk yang berasal dari AS. Sedangkan AS juga berencana untuk menaikkan tarif masuk menjadi 30% dari 25% yang sudah diberlakukan pada impor Tiongkok senilai USD250 miliar mulai 1 Oktober.

Akibat serangkaian peningkatan dalam perang dagang dua ekonomi terbesar dunia ini, pasar saham berguncang hebat sepanjang tahun. Banyak investor yang mulai ragu pada prospek pengembalian dari investasi. Sebagai hasilnya, aset aman (safe haven) lainnya seperti emas menjadi banyak diincar.

Selain itu, perang dagang yang sudah berlangsung sejak awal 2018 ini telah membuat berbagai perusahaan yang beroperasi di kedua negara kalang kabut. Ancaman tarif telah membuat mereka terpaksa melakukan berbagai upaya untuk melindungi keuntungan, mulai dari melakukan efisiensi bisnis dan menaikkan harga produk. Bahkan, memindahkan operasinya keluar AS dan Tiongkok.

Saking dahsyatnya perkembangan perang dagang tersebut menyebabkan volume perdagangan dunia menurun dan proyeksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara pun direvisi. Bahkan hal tersebut diikuti pula dengan harga komoditas melemah dan ada tekanan inflasi.  Di sejumlah negara memberikan respons dengan melonggarkan kebijakan moneter dan memberikan stimulus fiskal, dan mendorong masuknya aliran modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Namun demikian kabar melegakan datang dari kawasan Thamrin Jakarta. Dari salah satu ruang di kompleks kantor Bank Indonesia,  pada 31 Oktober 2019, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan bahwa stabilitas sistem keuangan Indonesia triwulan III 2019 tetap terkendali di tengah tingginya ketidakpastian perekonomian global. Ketidakpastian yang dipengaruhi oleh ketegangan hubungan dagang AS dengan Tiongkok.

KSSK menilai dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi masih tetap baik, meskipun kontraksi kinerja ekspor perlu mendapat perhatian karena berdampak pada kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi. Mereka memperkirakan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III 2019 membaik.  Karena didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang tetap besar, serta terkendalinya defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD).  

“Cadangan devisa masih berada jauh di atas standar kecukupan internasional. Kinerja NPI  yang membaik ini berdmpak pada nilai tukar rupiah menguat.  Inflasi juga terkendali pada level yang rendah dan stabil, di dalam target 3,5+1%,” tulis siaran pers KSSK.  

KSSK menilai, stabilitas sistem keuangan yang terkendali ini karena didukung ketahanan perbankan yang terjaga, likuiditas memadai, dan stabilnya pasar uang. Hal tersebut terjadi karena rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang tinggi dan risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah. Kecukupan likuiditas tergambar dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi. Perkembangan ini berkontribusi terhadap penurunan suku bunga deposito dan kredit yang searah dengan pelonggaran suku bunga kebijakan moneter.

Dalam siaran Pers KSSK, ditulis, koordinasi kebijakan KSSK yang terus diperkuat berdampak positif pada stabilitas sistem keuangan yang tetap baik. Koordinasi kebijakan pun diarahkan untuk mempertahankan stabilitas keuangan, sehingga tetap mendorong momentum pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi. Juga, sinergi kebijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan eksternal melalui meningkatkan  ekspor barang dan jasa, serta menarik aliran masuk modal asing, termasuk penanaman modal asing (PMA).

Selain itu BI memperkuat bauran kebijakan akomodatif, dengan menurunkan suku bunga kebijakan BI (7-day Reverse Repo Rate/BI7DRR) sebesar 100 basis poin (bps) sejak Juli hingga Oktober 2019. Hal ini sejalan dengan prakiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil investasi keuangan domestik yang tetap menarik serta sebagai langkah preemtive untuk mendorong momentun pertumbuhan ekonomi domestik di tengah ekonomi global yang melambat.

Disebutkan, BI juga mekakukan relaksasi kebijakan makro prudensial. Pertama, meningkatkan kapasitas penyaluran kredit perbankan melalui pelonggaran pengaturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)/RIM Syariah. Kedua, mendorong permintaan kredit pelaku usaha melalui pelonggaran ketentuan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV). Menambah keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit properti dan uang muka Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang berwawasan lingkungan. Selain itu, kebijakan sistem pembayaran dan kebijakan pendalaman pasar keuangan juga terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, dalam siaran pers KSSK juga ditulis dalam rangka untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik, pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas belanja dan menjaga program-program prioritas agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mampu memberikan daya dorong yang optimal bagi perekonomian. Pemerintah juga mengantisipasi potensi pelebaran defisit fiskal dan mempertimbangkan beberapa opsi pendanaan yang dapat diambil. Opsi pendanaan itu baik yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, maupun penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah akan mengedepankan prinsip efisiensi dan kehati-hatian dalam pengelolaan utang, dengan tetap mengendalikan rasio utang dalam batas aman.

Untuk melengkapi insentif fiskal dan moneter, OJK menegaskan bakal terus mengoptimalkan kontribusi sektor jasa keuangan dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan ketahanan sektor jasa keuangan. OJK akan terus memantau transmisi kebijakan moneter dua pasar lembaga jasa keuangan dengan mempertajam kebijakan dan insentif yang telah dikeluarkan dalam rangka pendalaman pasar keuangan, peningkatan akses keuangan, pemberdayaan UMKM, dan masyarakat kecil.

Merespons tren penurunan suku bunga simpanan yang terjadi secara bertahap pascapenurunan suku bunga kebijakan moneter setelah kondisi likuiditas perbankan yang relatif membaik, LPS pada periode September 2019 menurunkan tingkat bunga penjaminan pada bank umum dan BPR masing-masing 25 bps menjadi 6,5% dan 9% untuk rupiah. Sedangkan untuk valuasi asing (valas) menjadi 2%.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil di tengah ketidakpastian global tahun ini yang tecermin dari angka pertumbuhan ekonomi yang masih relatif stabil di atas 5 persen. Sementara itu, negara Singapura sempat mengalami pertumbuhan negatif, terakhir hanya 0,1 persen. Vietnam masih cukup tinggi meskipun juga terjadi pelemahan.

Sri Mulyani mengakui, perekonomian dunia mengalami tekanan cukup berat, yang terlihat dari revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2019 yang turun sekitar 0,7 persen, dari proyeksi 3,7 persen menjadi hanya 3 persen.

Pertumbuhan ekonomi di banyak negara, lanjut Sri Mulyani, mengalami penurunan, bahkan Amerika Serikat yang dulu masuk dalam kategori kuat dari sisi pertumbuhan ekonomi, sekarang tak terelakkan mengalami pelambatan akibat kondisi tersebut. Jerman bahkan mengalami pertumbuhan negatif, meskipun terakhir hanya tumbuh 0,4 persen. Sementara Tiongkok yang biasanya tumbuh 7 persen, diperkirakan hanya akan mencapai pertumbuhan 5,5 persen hingga akhir 2019. “Eropa, Inggris, Jepang dan India bahkan merosot tajam di kisaran 5 persen. Thailand juga terpengaruh, Filipina juga begitu,” kata Menkeu.

Namun demikian, walaupun pertumbuhan Indonesia relatif stabil, tetap perlu mewaspadai kondisi pelemahan ekonomi di sejumlah negara tersebut. (E-2)