Daya tahan fondasi ekonomi Indonesia ternyata cukup mampu menahan badai tsunami krisis global, terutama dampak perang dagang AS Vs Tiongkok. Indikator itu tergambarkan dari kinerja defisit neraca transaksi berjalan (CAD) selama kuartal III 2019 yang membaik.
Laporan kinerja itu tentu cukup melegakan. Merujuk laporan Bank Indonesia (BI), neraca defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) pada kuartal III 2019 tercatat sebesar USD7,7 miliar atau 2,7% dari produk domestik bruto (PDB).
Dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai USD8,2 miliar atau 2,9% dari PDB, defisit yang terjadi kuartal III 2019 itu bisa ditekan. Perbaikan kinerja transaksi berjalan itu, seperti disampaikan BI, terutama ditopang oleh meningkatnya surplus neraca perdagangan barang.
Tentu pembaca bertanya, apa itu defisit transaksi berjalan atau CAD? CAD adalah kondisi keuangan negara dengan angka pertumbuhan impor yang lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekspor.
“Pencapaian ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa, karena di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang dan konflik geopolitik, perekonomian Indonesia masih tetap tumbuh berkualitas dan stabil,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi kinerja ekonomi triwulan III 2019, Jumat (10/11/2019).
Laporan BI itu juga menyebutkan perbaikan defisit transaksi berjalan yang menyempit itu ditopang oleh neraca perdagangan migas, terutama impor migas yang menurun sejalan dengan dampak positif kebijakan pengendalian impor. Bentuk pengendalian impor itu berupa substitusi bahan bakar melalui program B20.
Sementara itu, surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat stabil di tengah perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang menurun.
Defisit neraca transaksi berjalan yang membaik juga didukung oleh penurunan defisit neraca pendapatan primer akibat lebih rendahnya repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri.
Dari gambaran kondisi itu juga direfleksikan di Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III-2019 yang menunjukkan perbaikan dengan mencatat defisit USD46 juta, atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya yang sebesar USD2 miliar.
NPI pada kuartal III-2019 ini didukung juga oleh perbaikan defisit neraca transaksi berjalan yang membaik serta surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat. Ini juga menunjukkan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia yang tetap terjaga, di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.
Cadangan Devisa
Ketahanan ekonomi Indonesia itu juga diiringi dengan peningkatan posisi cadangan devisa pada akhir September 2019 yang mencapai USD124,3 miliar, lebih tinggi dari posisi akhir Juli 2019 yang sebesar USD123,8 miliar.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.
Masih berdasarkan laporan BI, ke depan, bank sentral memprakirakan kinerja NPI tetap baik sehingga dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal. Prospek NPI tersebut didukung oleh defisit transaksi berjalan 2019 dan 2020 yang diprakirakan tetap terkendali dalam kisaran 2,5%–3,0% PDB dan aliran masuk modal asing yang tetap besar.
"Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal, termasuk berupaya mendorong peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA)," tulis BI melalui keterangan resminya tersebut.
Berkaitan dengan ketahanan ekonomi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui ekonomi negara ini terjadi pelambatan. Namun, dia juga menegaskan pencapaian itu masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan Asean, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Dari gambaran potret ekonomi Indonesia harus diakui Kabinet Indonesia Maju tetap harus bekerja keras untuk menjaga ketahanan ekonominya, syukur-syukur bisa lebih baik lagi ke depannya.
Menurut laporan BPS, potret ekonomi Indonesia saat ini yang mengalami pelambatan dengan hanya tumbuh 5,02% pada kuartal III 2019 sebenarnya tak hanya menggambarkan pengaruh dari situasi global.
Namun, itu juga cerminan sejumlah masalah yang ada di dalam negeri. Bangsa ini harus lebih kerja keras untuk segera menyelesaikan sejumlah masalah tersebut. Menurut Airlangga, pelambatan ekonomi global merupakan tantangan yang saat ini dihadapi oleh seluruh negara di dunia, sehingga pertanyaan yang lebih relevan adalah seberapa tahan perekonomian Indonesia menghadapinya.
“Sebenarnya, kinerja ekonomi Indonesia sepanjang 2019 cukup baik secara fundamental karena banyak negara justru mengalami perlambatan ekonomi yang lebih dalam, misalnya Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Eropa,” tutur Menko Airlangga.
Fenomena tren pelambatan pertumbuhan ekonomi sebenarnya bukan hanya dialami oleh Indonesia. Sebagian besar negara di dunia juga mengalaminya. Bahkan IMF dalam laporannya Oktober 2019 hanya memproyeksikan pertumbuhan 3,0%. Begitu juga dengan Bank Dunia yang hanya memproyeksikan pertumbuhan 2,6% sesuai laporan terakhirnya Juni 2019.
“Pencapaian ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa, karena di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang dan konflik geopolitik, perekonomian Indonesia masih tetap tumbuh berkualitas dan stabil,” jelas Menko Perekonomian.
Namun demikian, Airlangga menambahkan, pemerintah tidak berdiam diri menghadapi situasi eksternal tersebut. Pembenahan ke dalam terus didorong, seperti debottlenecking perizinan melalui omnibus cipta kerja, penyusunan prioritas investasi dan menyiapkan kartu pra kerja agar tenaga kerja lebih terampil untuk mengisi tantangan investasi. (F-1)