Indonesia.go.id - Strategi Menangkal Radikalisme Keagamaan

Strategi Menangkal Radikalisme Keagamaan

  • Administrator
  • Rabu, 13 November 2019 | 23:16 WIB
RUMAH MODERASI
  Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin (tengah), Direktur Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri Akbar Ali (kanan) saat Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 di Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (11/11/2019). Foto: IndonesiaGOID/Hermawan Susanto

Indonesia sebenarnya memiliki infrastruktur keagamaan atau tradisi keberagamaan yang sangat kuat dalam menangkal radikalisme.

Forum Merdeka Barat 9, acara berkala yang mempertemukan jurnalis dari berbagai media dengan pelaksana kebijakan pemerintah, pada hari Senin 11 November 2019 berkesempatan menghadirkan pejabat dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Kamaruddin Amin, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam, berkesempatan memberikan uraian pada para jurnalis tentang strategi menghadapi bahaya radikalisme keagamaan yang mengemuka akhir-akhir ini.

Kamaruddin membuka uraiannya dengan mengacu pada ruang lingkup pendidikan Islam yang menjadi tanggung jawabnya selama ini. Pendidikan Islam di Indonesia meliputi berbagai lembaga pendidikan mulai dari taman pendidikan Quran, taman kanak-kanak, madrasah diniyah, sekolah dasar Islam, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, perguruan tinggi, dan pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.

"TPQ dan sederajatnya ada sekitar 25 juta siswa, belum lagi madrasah diniyah, tsanawiyah, aliyah hingga takwiliyah. Kemudian ada Perguruan Tinggi dan Pesantren yang jumlahnya lebih dari 38.000 lembaga," ungkap Kamaruddin. Saat ini, dalam perkiraan dirjen, ada lebih dari 4 juta santri tersebar di seluruh Indonesia.

Data tahun 2016  yang dipunyai Bagian Data Sistem Informasi dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Dirjen Pendidikan Islam mencatat, angka sebesar 28.194 pesantren tersebar di seluruh Indonesia. Angka itu mencatat sejumlah 4.290.626 santri yang ada di dalamnya. Jika merunut pada tren pertumbuhan sekitar 20% per tahun bisa diperkirakan angka itu telah menembus 5 juta santri pada 2020.

Tentang Radikalisme

Kamaruddin Amin menilai, bahaya radikalisme keagamaan, seperti yang telah diungkapkan oleh Menteri Agama di berbagai kesempatan sebelum ini memang merupakan problem bersama. Tetapi penting untuk menjelaskan terlebih dahulu apa yang disebut bahaya radikalisme itu.

"Radikalisme adalah upaya sistematis yang dilakukan individu atau kelompok untuk melakukan perubahan radikal sampai ke akar-akarnya dengan kekerasan," papar Kamaruddin.

Di era digital, dalam ruang lingkup kompetisi global, disrupsi sosial politik juga terjadi di masyarakat. Kamaruddin Amin yang berlatar belakang pendidikan doktoral di bidang Periwayatan Hadits dari Universitaet Bonn, Jerman, menjelaskan tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam dinamika umat beragama.

Media sosial telah menjadi satu faktor yang mengubah perilaku sikap keagamaan. Masyarakat dunia saat ini telah terintegrasi secara global. Apa yang menjadi isu di Eropa dan Amerika, misalnya, dengan mudah bisa terjadi di Indonesia. Di antara berbagai perubahan itu isu radikalisme adalah satu hal yang harus diwaspadai.

"Karena radikalisme adalah sebuah ideologi yang ingin melakukan perubahan sistematis dalam masyarakat, maka perlu ada upaya yang sistematis pula untuk mengatasinya," kata Kamaruddin.

Dalam bahasa yang populer, Kamaruddin menjelaskan perlunya melakukan upaya yang sistematis, masif, dan terstruktur menghadapi bahaya radikalisme. Tidak bisa hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang sporadis.

Rumah Moderasi

Harus ada upaya fundamental untuk bisa mencegah penetrasi radikalisme di dalam masyarakat saat ini, menurut Kamaruddin Amin. Saat ini, salah satu upaya yang telah dilakukan salah satunya dengan mengelola di tingkatan perguruan tinggi. Sebagai ilustrasi ada sekitar 58 perguruan tinggi negeri di Indonesia ditambah 900 perguruan tinggi swasta.

Dirjen Pendidikan Islam saat ini telah membuat edaran kepada rektor-rektor perguruan tinggi itu untuk membuat pusat kajian yang bertujuan untuk melakukan upaya moderasi dalam beragama. Iklim keagamaan yang toleran, moderat, damai, dan inklusif harus dikembangkan terutama untuk memahami keberagaman atau "diversity".

Harus ada upaya untuk terus mengkampanyekan dan mempromosikan kontra-narasi terhadap gejala radikalisme. Salah satunya adalah dengan memproduksi kajian-kajian yang moderat dan inklusif dalam sebuah Rumah Moderasi. Upaya ini harus dijalankan di semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Upaya ini harus berkelanjutan, berlangsung dalam jangka panjang dan harus menyentuh seluruh civitas akademika. Momentum penerimaan mahasiswa baru, misalnya, harus disikapi dengan kampanye-kampanye moderasi keagamaan. Ide-ide menghormati keberagamaan yang berbeda, menghormati jalan pikiran yang berbeda, dan menghargai perbedaan pendapat harus berkembang sebagai semangat bersama.

Salah satu yang harus segera dibenahi adalah pengajaran agama di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Saat ini, menurut Kamaruddin Dirjen Pendidikan Islam sedang menyelesaikan penulisan kembali buku pelajaran agama di sekolah dasar dari kelas satu sampai kelas enam. Jika tak ada halangan dalam tahun ini penulisan kembali pelajaran agama akan selesai. Buku itu memuat program-program moderasi beragama dan tentu saja kontra-radikalisme.

Program-program yang mengajarkan tentang nasionalisme dan cinta tanah air harus berkembang menjadi kampanye yang inklusif dan demokratis. Pendidikan-pendidikan seperti ini yang mampu menghalau radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan atau pengajaran beragama yang inklusif harus mampu menghadirkan konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai hal yang mempersatukan berbagai latar yang berbeda.

Kampanye ini tentu tidak mudah, lanjut Kamaruddin. Karena program moderasi ini harus berkontestasi dengan berbagai pihak yang selama ini bersaing di ruang publik. Jika upaya ini tidak dilakukan dengan seksama, bisa saja kontestasi dimenangkan oleh pihak-pihak hanya menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan sesaat. Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai pemahaman yang dalam tetapi menguasai dan mendominasi dengan berbagai alat kelengkapannya.

Antisipasi Radikalisme

Kampanye untuk melakukan upaya deradikalisasi keagamaan di tingkatan akar rumput disikapi oleh Akbar Ali, Direktur Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri melalui berbagai tindakan yang terprogram untuk mengantisipasi perkembangan radikalisme.

"Upaya deradikalisasi ini tidak hanya dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait tetapi terutama harus didukung semua aparat hingga pemerintah daerah," jelas Akbar Ali.

Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini telah menyusun rencana aksi mendukung penanganan radikalisme yang meliputi.

  1. Mendorong pemerintah daerah membuat regulasi atau peraturan daerah seperti surat ederan yang memperintahkan aparatur sipil untuk bekerja sampai ke desa-desa melawan radikalisme
  2. Membentuk forum-forum kerukunan umat, tim kewaspadaan dini, tim penanggulangan terorisme. Forum ini harus dipergunakan pemerintah daerah untuk mencegah tindakan radikalisme individu atau kelompok
  3. Tim terpadu penanganan konflik sosial harus melaksanakan pemantauan terhadap pelaku aksi radikalisme dan terorisme
  4. Aparat di daerah harus memonitor atau memantau keberadaan kelompok-kelompok tertentu semisal warga negara Indonesia yang baru pulang dari luar negeri dan berpotensi membawa paham-paham radikal
  5. Pemerintah harus mendorong semua pihak hingga ormas-ormas di masyarakat untuk bersama menangkal radikalisme

Pada saat ini, tambah Kamarudin Amin di akhir acara, Indonesia sebenarnya memiliki infrastruktur keagamaan atau tradisi keberagamaan yang sangat kuat dalam menangkal radikalisme. Sebagai contoh, Indonesia mempunyai Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sudah lama menjadi organisasi masyarakat yang berperan besar mengembangkan semangat keagamaan yang moderat. Ormas-ormas keagamaan tradisional Indonesia sebenarnya merupakan organisasi arus utama yang kuat dan tidak mudah dimasuki oleh upaya-upaya ke arah radikalisme. Dalam istilah Kamaruddin, ormas-ormas agama yang moderat di Indonesia adalah "Unshakeable Social Infrastruktur" yang bisa menjaga kehidupan keagamaan yang damai di Indonesia. (Y-1)