Indonesia.go.id - Menuju Kelas Dunia

Menuju Kelas Dunia

  • Administrator
  • Selasa, 19 November 2019 | 05:14 WIB
BADAN PUSAT STATISTIK
  Bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (14/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta

BPS sebagai representasi Indonesia tercatat sebagai Member of the Friends of the Chair (FOC) Group on Economics Statistics. Selain Indonesia, lembaga ini beranggotakan 10 negara seperti Amerika, Australia, Austria, Brazil, Denmark, dan lainnya. Lembaga ini juga beranggotakan 10 lembaga internasional, seperti World Bank, IMF, ADB, Eurostat, dan lainnya.

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III mendapat sorotan. Sebuah lembaga riset yang bernama Capital Economics, bersikap skeptis serta mempertanyakan akurasi dan kredibilitas data tersebut.

Menurut lembaga tersebut, berdasarkan data-data yang mereka himpun seharusnya laju perekonomian Indonesia lebih lambat dan lebih kecil daripada 5,02 persen, sebagaimana yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.

"Pertumbuhan PDB Indonesia secara mencurigakan tumbuh stabil di kisaran 5 persen dalam lima tahun terakhir, dan tidak mengejutkan RI kembali tumbuh di kisaran tersebut pada kuartal III tahun ini. Menurut kami, ekonomi negara tersebut tumbuh dalam laju yang lebih lambat," ujar Gareth Leather dari Capital Economics seperti dikutip dari laman resminya, Selasa (5/11/2019).

Dalam artikelnya yang berjudul Why we don’t trust Indonesia’s GDP data, Gareth mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melambat pada beberapa tahun terakhir. Ini terjadi karena pertumbuhan kredit cenderung rendah, kebijakan fiskal tidak memiliki daya ungkit perekonomian, dan tertekannya harga komoditas seperti batu bara dan CPO yang berdampak menekan angka pertumbuhan ekonomi.

Lebih jauh, berdasarkan data yang diperoleh dari activity tracker yang dikembangkan oleh Capital Economics, ekonom senior di tim Emerging Asia ini menyimpulkan, “Meski angka resmi dari pemerintah bakal menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada angka 5% [yoy] pada akhir tahun ini, kami memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada angka 4,5% (yoy).” 

Tentu, kritik yang dilontarkan oleh lembaga riset yang didirikan sejak 1999 ini, segera dibantah oleh BPS Indonesia. Kepala BPS Kecuk Suhariyanto menegaskan, dalam perhitungan PDB seluruhnya mengacu pada manual yang diawasi oleh forum masyarakat statistik. Dalam menghitung PDB, semua penghitungan indikator makro ekonomi dilakukan secara manual.

Selain itu, masih merujuk “Pak Kecuk”—demikian biasa dipanggil—setiap tahun BPS dimonitor oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proses perhitungan PDB dan data-data perekonomian lain.

"Kalau saya sampai melakukan sesuatu, akan ketemu oleh IMF (artinya diketahui oleh IMF, red), dan kalau itu terjadi, yang malu bukan hanya BPS. Sebagai contoh Argentina di tahun 2005, kalian boleh check di internet, 2005-2014 diduga angka inflasi dimanipulasi. Dan itu menjadi ditinggalkan, karena satu angka nggak dipercaya, menjadi nggak ada trust. Saya tidak akan membiarkan itu. Bukan hanya BPS, tapi kredibilitas dari negara," ujar Pak Kecuk.

Ekonom senior, Chatib Basri, memberi penjelasan terkait  angka pertumbuhan ekonomi ini. Menurutnya kunci dari terjaganya pertumbuhan ekonomi ialah karena kinerja net ekspor yang membaik. Dalam akun twitternya, ia memberikan penghitungan sebagai berikut:

"Jika kita melihat angkanya penjelasannya adalah net export. Karena net export (ekspor-impor). Ekspor meningkat pertumbuhannya ke 0,02 persen dari -1.81 persen. Dan impor anjlok dari - 6.73 persen ke - 8.61 persen," tulisnya pada Selasa (6/11/2019).

Chatib menambahkan, ekonomi Indonesia tertolong oleh kinerja ekspor yang cenderung stabil dan dibarengi dengan impor yang turun tajam. Ini menyebabkan net ekspor menjadi tumbuh lebih baik di kuartal III-2019.

“Penurunan impor yang tajam dan ekspor yang stabil membuat net ekspor tumbuh lebih baik di triwulan ketiga,” kata Chatib melalui akun @ChatibBasri. Lebih jauh menurutnya “Akibatnya, pertumbuhan berada di kisaran 5,05%.”

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1574040216_BPS.jpeg" />

Sejarah dan Potret BPS Indonesia

Sejarah berdirinya BPS berawal dari didirikannya Kantor Penyelidikan Perangkaan Umum (KAPPURI), dipimpin oleh Mr Abdul Karim Pringgodigdo, pascakemerdekaan Indonesia. KAPPURI sendiri dibentuk dari nasionalisasi terhadap lembaga statistik di masa pendudukan Jepang, yaitu Chosasitsu Gunseikanbu. Sementara itu, Chosasitsu Gunseikanbu sendiri juga merupakan perubahan dari lembaga statistik di masa pemerintahan Belanda, Centraal Kantoor voor de Statistiek (CKS).

Saat masa perang kemerdekaan di awal 1946, sejalan dengan pemindahan ibu kota ke Yogyakarta, KAPPURI juga sempat berpindah kantor ke sana. Sementara itu di Jakarta, pemerintah Belanda menghidupkan kembali keberadaan CKS.

Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Kemakmuran pada 12 Juni 1950 Nomor 219/S.C., kedua lembaga statistik itu yaitu KAPPURI dan CKS, kemudian diintegrasikan menjadi Kantor Pusat Statistik (KPS). Berbeda dengan sekarang—di mana BPS bertanggung jawab langsung kepada Presiden—saat itu lembaga ini berada di bawah tanggung jawab Menteri Kemakmuran.

Hingga 1952, posisi KPS bergeser dari Menteri Kemakmuran menjadi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perekonomian. Di tahun 1957 keluar Keppres X Nomor 172 tanggal 1 Juni 1957, KPS diubah menjadi Biro Pusat Statistik, tanggung jawab dan wewenang kelembagaan ini bergeser menjadi berada langsung di bawah Perdana Menteri.

Pada 1960, Indonesia bergerak lebih maju dalam kerangka memberikan dasar hukum statistik, maka disusunlah dua buah Undang-undang (UU). Pertama, UU No 6 Tahun 1960 tentang Sensus sebagai pengganti Volkstelling Ordonnantie 1930 (Staatsblad 1930 Nomor 128). Kedua, UU No 7 Tahun 1960 tentang Statistik sebagai pengganti Statistiek Ordonnantie 1934 (Staatsblad 1934 Nomor 508).

Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus, BPS dipercaya menyelenggarakan sensus penduduk yang pertama setelah Indonesia merdeka. Pelaksanaan sensus penduduk dilakukan serentak di seluruh Indonesia pada 1961.

Sejalan adanya perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta munculnya kebutuhan untuk mendukung tercapainya proyek pembangunan nasional, kedua undang-undang di atas kemudian diganti UU No 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Pergantian UU ini juga membawa perubahan nomenklatur kelembagaan. Biro Pusat Statistik berubah nama menjadi “Badan Pusat Statistik”, hingga sekarang ini.

Merujuk Pengenalan Tentang BPS—An Overview of Statistic Indonesia (2008), setidaknya disebutkan beberapa materi muatan baru dalam UU Statistik itu, yang antara lain ialah:

Pertama, jenis statistik dibagi berdasarkan tujuan pemanfaatannya. Terdiri dari statistik dasar yang sepenuhnya diselenggarakan oleh BPS; statistik sektoral yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bersama dengan BPS; dan statistik khusus yang diselenggarakan oleh lembaga, organisasi, perorangan, dan atau unsur masyarakat lainnya secara mandiri atau bersama dengan BPS.

Kedua, hasil statistik yang diselenggarakan oleh BPS diumumkan dalam Berita Resmi Statistik (BRS) secara teratur dan transparan supaya masyarakat mudah mengetahui dan atau mendapatkan data yang diperlukan.

Ketiga, dibentuk sebuah Forum Masyarakat Statistik sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat statistik, yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada BPS.

Dan terakhir atau keempat, tujuan akhir dari UU Statistik ini terbangunnya Sistem Statistik Nasional yang handal, efektif, dan efisien. Ini berarti sudah tentu diharapkan juga bakal terbangun sistem data yang akurat dan kredibel serta dapat dipercaya didasarkan pada standar metodelogi statistik yang diakui oleh masyarakat dunia.

Kini memasuki transformasi masyarakat digital atau era Industri 4.0, tantangan BPS tentu semakin bertambah besar. Terlebih Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Regulasi ini dimaksudkan supaya pemerintah bisa mengumpulkan data dalam satu pintu yang akurat, mutakhir, terpadu, serta mudah diakses.

Dalam regulasi ini, posisi BPS ialah ditempatkan sebagai pembina. Banyak jenis data baru yang harus dikumpulkan oleh BPS. Tujuan yang hendak dicapai ialah bagaimana mengintegrasikan banyak data yang bersumber dari multisektor yang kompleks secara akurat, detail, dan kredibel. Harapannya bukan hanya meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pengguna terhadap data yang dihasilkan oleh BPS dan kementerian/lembaga lainnya, melainkan juga terwujudnya agenda Satu Data Indonesia.

Untuk mencapai tujuan itu, BPS sendiri secara internal telah mendorong proyek perubahan melalui cetak biru bernama Statistical Business Framework and Architecture (SBFA). Sesuai spirit “reformasi birokrasi” di tubuh BPS, tujuannya meliputi: tersajinya data berkualitas, BPS yang bersih dan akuntabel, BPS yang efektif dan efisien, serta sanggup memberikan pelayanan publik yang prima.

Pada titik inilah, BPS telah menerapkan Generic Statistical Business Process Model (GSBPM), sebuah standar internasional sebagai mekanisme kerja lembaga statistik di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, melalui adopsi GSBPM plus program digitalisasi, Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mencanangkan lembaga statistik nasional ini menuju “World Class NSO”.

“BPS yang baru, yang berdiri sejajar dengan NSO (National Statistical Office) lain yang berkelas dunia," ujar Pak Kecuk suatu saat.

Seperti diketahui, GSBPM diadopsi untuk menyelaraskan kinerja antarunit di dalam tubuh BPS. Dengan penerapan GSBPM ini, maka tata kelola proses bisnis, siapa melakukan apa pada proses kegiatan tersebut menjadi memiliki standar dan terukur. Dengan GSBPM bukan saja terbangun harmonisasi infrastruktur penghitungan statistik, melainkan juga dimungkinkan untuk mengintegrasikan banyak data dan standar metadata pada proses penghitungan.

Walhasil, data statistik yang dihasilkan BPS sudah tentu menjadi berkualitas. Implementasi GSBPM sendiri bermula dari tahap specify needs, yaitu mendefinisikan kebutuhan data, penyiapan kerangka sampel, pengumpulan data, dan seterusnya hingga tahap diseminasi dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kegiatan statistik secara keseluruhan.

Setahap demi tahap, namun pasti, proses pembenahan dan peningkatan kualitas kinerja BPS mulai terlihat secara nyata. Bagaimanapun, posisi Kepala BPS sendiri sebagai representasi Indonesia tercatat sebagai Member of the Friends of the Chair (FOC) Group on Economics Statistics.

Selain beranggotakan 10 negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Austria, Brazil, Denmark, Indonesia, Mexico, Saudi Arabia, dan Afrika Selatan; Member of the Friends of the Chair (FOC) Group on Economics Statistics juga beranggotakan 10 lembaga internasional, seperti African Development Bank, Asian Development Bank, Eurostat, Inter-American Development Bank, International Monetary Fund (IMF), Islamic Development Bank, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), United Nations Economic Commission for Africa, World Bank, dan United Nations Department of  Economic and Social Affairs.

Tak hanya itu. Merujuk sumber BPS 2019, dalam Seminar Pemanfaatan Data Seluler untuk Statistik Resmi, yang difasilitasi oleh BPS bekerja sama dengan UNESCAP dan UNSD di tahun 2018, posisi Indonesia disebut-sebut sebagai leading country untuk pemanfaat data besar (big data) untuk statistik resmi. Masih merujuk sumber yang sama, terkait isu data besar, pengumpulan data sensus, dan monitoring indikator implementasi SDGs, posisi Indonesia juga sering menjadi rujukan beberapa negara. (W-1)