Produksi minyak dan gas bumi (migas) PT Pertamina (Persero) diperkirakan berada pada kisaran 910.000 barel setara minyak per hari (MBOEPD) pada 2019. Target pada 2020, produksi akan berada pada kisaran 923.000 boepd. Dan pada 2021, target produksi Pertamina pada kisaran 1 juta boepd dan ditargetkan terus naik di tahun-tahun berikutnya.
Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu dalam rilis yang dikeluarkan Pertamina pada 19 November 2019 mengatakan bahwa saat ini perusahaan melalui anak usaha sektor hulu mengelola lapangan yang mayoritas sudah berproduksi sejak lama dan termasuk kategori mature fields dengan angka laju penurunan alamiahnya (natural decline) dapat mencapai 50%.
Menurut Samsu, menahan laju penurunan alamiah merupakan tantangan utama yang berhasil dikelola dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan lapangan-lapangan tersebut bertahan untuk berproduksi dengan laju pengurasan secara agregat yang jauh lebih rendah bahkan mendekati 0%. Sebab, kata Samsu, migas adalah energi yang tidak terbarukan, dan semua lapangan pasti akan menghadapi laju penurunan produksi alamiah.
Oleh karena itu, tambah Samsu, strategi pengelolaan wilayah kerja yang sudah ada saat ini dilakukan dengan cara menciptakan siklus kehidupan kedua (second life cycle creation) bagi lapangan yang sudah mature tersebut.
Hingga 2 Agustus 2019, total kesepakatan pembelian minyak mentah dan kondensat dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan Pertamina mencapai 123.600 barrel minyak mentah per hari (MBCD) dari 39 KKKS. Jumlah total kesepakatan pembelian minyak mentah dan kondensat dari KKKS dalam negeri ini meningkat sangat signifikan dibanding pada 2018. Dari total volume tersebut, Pertamina mengoptimalkan pasokannya sesuai dengan kebutuhan, jenis dan volume, serta kesepakatan bisnis yang dicapai.
Adapun delivery untuk total volume minyak mentah dan kondensat yang disepakati akan dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati dan bisa berbeda-beda untuk setiap KKKS. Begitu pula dengan jenis crude yang diserap Pertamina, juga bisa berbeda-beda karena disesuaikan dengan kebutuhan pengolahan di kilang.
Dengan adanya penyerapan ini, maka berdampak pada penurunan impor minyak mentah Pertamina. Seperti terlihat pada periode Januari-Juni 2019, impor minyak mentah Pertamina tercatat sebesar 220 MBPD. Dengan volume impor minyak mentah sebanyak 220 MBPD, maka komposisi impor dibandingkan lifting domestik yang sebesar 681 MBPD mencapai sekitar 25 persen banding 75 persen.
Kondisi ini membaik dibandingkan tahun 2018, di mana perbandingannya 37 persen (339 MBPD) impor dan 63 persen (571 MBPD) domestik. Selain menekan impor minyak mentah, Pertamina juga berhasil menekan impor produk BBM seperti avtur dan solar. Dengan adanya inovasi untuk optimasi kilang, sejak Mei 2019 Pertamina sudah bisa memenuhi kebutuhan Avtur dan Solar dalam negeri dari produksi kilang-kilang sendiri. Produksi avtur dari kilang Cilacap kini sudah diekspor ke luar negeri karena kebutuhan avtur domestik semua sudah terpenuhi.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Dalam aturan ini dinyatakan, PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mengutamakan pasokan minyak bumi yang berasal dari dalam negeri. Demikian juga kontraktor atau afiliasinya wajib menawarkan minyak bumi bagian kontraktor kepada PT Pertamina (Persero) dan/atau badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak bumi. Dengan adanya kebijakan peraturan menteri tersebut, disertai dengan itikad baik dari para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Pertamina dapat membantu mengurangi impor dalam negeri sehingga berdampak pada penguatan cadangan devisa negara.
Kendati bisa mengurangi impor produk BBM, Indonesia belum serta-merta menjadi mandiri energi. Presiden Jokowi berharap agar pengembangan dan optimalisasi kilang menjadi perhatian adalah sebuah keniscayaan. Apalagi kilang yang dikembangkan menghasilkan produk turunan berupa petrokimia yang punya prospek yang bagus.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di sektor petrokimia, sehingga semua pihak optimistis industri petrokimia terintegrasi seperti yang sudah dimiliki negara lain bisa terwujud. Apalagi, Indonesia masih memiliki cadangan total minyak bumi sekitar 3,3 miliar barel, cadangan total gas bumi 135,55 trillion standard cubic feet (TSCF), dan cadangan total batu bara 39,89 miliar ton.
Indonesia memiliki peluang untuk pengembangan industri petrokimia. Saat ini lebih dari 50% kebutuhan petrokimia nasional masih dipenuhi dari impor. Dari 5,6 juta ton kebutuhan bahan baku petrokimia per tahun, sekitar 55% berasal dari impor. Sedangkan barang jadi petrokimia ada 800.000 ton yang juga masih impor.
Sebenarnya Indonesia pernah menjadi negara dengan kapasitas produksi industri petrokimia terbesar di Asia Tenggara pada periode 1985-1998. Namun, kondisi tersebut saat ini berbalik sebab Indonesia menjadi negara tujuan impor dari negara Asia Tenggara. Pasalnya, tidak ada lagi investasi baru di sektor petrokimia.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam beberapa kali kesempatan juga mengakui, berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri kimia merupakan satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Tanah Air. Karena itu, industri kimia mendapat prioritas pengembangan agar lebih produktif, inovatif, dan kompetitif di kancah global.
Airlangga mengemukakan, peta jalan tersebut mampu merevitalisasi industri manufaktur nasional agar lebih berdaya saing global di era digital. Adapun lima sektor yang telah dipilih dan mendapat prioritas pengembangan untuk menjadi pionir dalam penerapan revolusi industri 4.0, yakni industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, dan industri elektronika.
Kelima sektor tersebut dipilih berdasarkan hasil studi, karena dari lima sektor itu mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 60 persen dan 60 persen tenaga kerja di industri dari lima sektor tersebut. Bahkan, global product, 60 persen yang beredar di dunia, merupakan produk dari kelima sektor itu.
Namun demikian, menurut Airlangga, sektor industri lainnya bukan berarti tidak berperan penting. Penerapan industri 4.0 tidak akan meninggalkan sektor yang saat ini masih menggunakan teknologi di era industri 1.0-3.0.
Contohnya, industri petrokimia, sektor hulu yang berperan strategis dalam menunjang berbagai kebutuhan produksi di sejumlah manufaktur hilir. Produk yang dihasilkan oleh industri petrokimia, antara lain digunakan sebagai bahan baku di industri plastik, tekstil, cat, kosmetik, dan farmasi. (E-2)