Hingga kuartal ketiga 2019, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)/IPC mencatat laba perusahaan sebesar Rp2,21 triliun. Angka ini naik 18,38% dibandingkan dengan capaian kuartal ketiga 2018. Sementara itu, pendapatan usaha mencapai Rp8,56 triliun, naik tipis sebesar 2,4% dibandingkan capaian periode yang sama tahun 2018.
Direktur Utama IPC Elvyn G Masassya meyakini, IPC akan meraup laba bersih tahun ini melampaui laba bersih perusahaan pada 2018, yakni sebesar Rp2,43 triliun.
Sepanjang Januari hingga September 2019, EBITDA perusahaan tercatat Rp3,06 triliun, 4,8% lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Sementara itu, biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) berhasil diturunkan menjadi 64,2%. Angka ini turun 4,2 persen dibandingkan BOPO kuartal 3 tahun 2018 yang sebesar 68,4%.
Biaya operasional terus menurun, kata Elvyn, karena hasil dari efisiensi yang terus-menerus yang dilakukan IPC. Namun demikian, laba perusahaan terus naik, IPC akan terus mencermati peluang untuk memaksimalkan capaian revenue stream maupun throughput pada dua bulan terakhir 2019. “Tren kenaikan laba perusahaan harus dipertahankan,” ujarnya.
Dilihat dari sisi kinerja operasional, trafik arus peti kemas hingga kuartal ketiga tercatat sebesar 5,62 juta TEUs. Capaian ini naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 5,58 juta TEUs. Demikian juga dengan arus nonpeti kemas yang terealisasi sebesar 43,3 juta ton. Angka ini naik 1% dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 42,8 juta ton.
Sementara itu, di sisi arus kapal yang keluar masuk pelabuhan, terjadi penurunan sebesar 2%, yaitu dari 158,3 juta GT menjadi 154,5 juta GT. Elvyn tidak menutup kemungkinan bahwa terjadinya penurunan ini berhubungan dengan melemahnya arus ekspor atau impor nasional.
Di sisi lain, IPC mencatat kenaikan arus penumpang, dari 505 ribu penumpang menjadi 905,5 ribu penumpang. Arus penumpang ini tumbuh 79% persen. Hal itu menunjukkan bahwa moda transportasi laut kembali menjadi alternatif.
Walaupun demikian IPC tidak akan berhenti berinovasi. Dalam hari-hari ke depan, IPC akan terus melakukan moderninasi dan digitalisasi sarana dan prasarana di terminal penumpang. Selain itu IPC juga terus mengembangkan ekosistem kepelabuhanan untuk memperkuat peran strategis IPC sebagai trade facilitator. Di mana semua itu bermuara pada penurunan biaya logistik yang menjadi target pemerintah.
Beberapa ruas Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) ada yang bisa beroperasi pada pertengahan tahun 2020. IPC juga tengah menyiapkan pembangunan dermaga di kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL), setelah Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR kembali mematangkan rencana pelebaran dan pendalaman kanal CBL sebagai aksesnya.
Di kancah internasional, IPC terus berkolaborasi dengan perusahaan pelayaran dunia dengan melayani kapal-kapal besar untuk melakukan pelayaran langsung dari Indonesia ke semua benua. Saat ini, dalam 1 bulan rata-rata ada 8 kapal ukuran raksasa dengan kapasitas di atas 10 ribu TEUs yang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal-kapal itu membawa barang-barang ekspor maupun impor secara langsung ke negara tujuan.
Yang terbaru, layanan direct call (pelayaran langsung) ke Rusia. Sebelumnya belum pernah ada pelayaran kapal besar langsung dari dan ke Rusia. Dengan meningkatnya layanan direct call, lanjut Elvyn, maka harga barang ekspor semakin memiliki daya saing. Sebaliknya, harga barang impor semakin turun, karena ongkos logistiknya yang semakin rendah.
Sementara itu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mencatat masa bongkar muat peti kemas atau dwelling time di pelabuhan logistik Tanjung Priok turun menjadi rata-rata 2,4 hari. Pada April lalu, masa dwelling time untuk barang ekspor-impor masih di atas 3 hari sehingga sering menimbulkan penumpukan. Penurunan angka dwelling time ini diikuti oleh peningkatan volume kapasitas bongkar-muat barang.
Hingga pengujung 2019, Budi Karya menargetkan bongkar-muat kapal di seluruh terminal di Tanjung Priok akan mencapai 8 juta TEUs. Angka tersebut naik sekitar 500 ribu TEUs dari tahun lalu yang hanya 7,5 juta TEUs.
Semakin baiknya layanan dweling time di IPC, menurut Corporate Communication PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Indonesia Port Corporation (IPS) Fajar Setyono, akibat dari digitalisasi sistem bongkar-muat kapal. Selain itu, IPC juga membuka pelayanan bongkar-muat 7x24 jam. Pelayanan nonstop, tersebut meningkatkan aktivitas bongkar-muat barang dari semula sekali sepekan menjadi dua hingga tiga kali sepekan. Penambahan waktu pelayanan tersebut juga berdampak mengurangi kemacetan di jalan tol sekitar Tanjung Priok imbas bongkar-muat barang.
Tak hanya oleh IPC, kantor Bea Cukai juga berkontribusi dalam menekan dwelling time. Menurut Fajar, Bea Cukai dibutuhkan dalam proses custom clearance adalah proses administrasi pengeluaran atau pengiriman barang dari dan ke pelabuhan logistik.
Sejak dipimpin Elvyn G Masyasya, IPC melakukan transformasi operasional yang sangat radikal dari yang sebelumnya manual ke digital. IPC melakukan digitalisasi di seluruh kegiatan pelabuhan secara koorporasi.
Di sisi laut, IPC membangun marine operation system (MOS), vessel management system (VMS), dan vessel traffic system (VTS). Perangkat ini untuk memonitor dan memantau pergerakan kapal sejak berangkat dari pelabuhan asal, hingga tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Di sisi darat, IPC membangun terminal operating system (TOS) dan non peti kemas terminal operating system (NPKTOS), serta auto tally untuk penghitungan kontainer. IPC juga menyiapkan container freight station (CFS), buffer area, DO online, auto gate, car terminal operating system, reception facility, serta truck identification. Semuanya untuk mengidentifikasi pengemudi dan tujuan pengiriman barang.
Penerapan digitalisasi berbagai sisi di pelabuhan menjadi fokus utama IPC dua tahun terakhir. Standarisasi pelayanan berbasis digital di sisi darat dan laut diimplementasikan dan dioptimalkan secara menyeluruh mulai saat barang dikirimkan ke pelabuhan sampai kemudahan pembayaran serta tracking dan tracing barang.
Di sisi keuangan, IPC melakukan transformasi yang signifikan, yaitu seluruh transaksi di pelabuhan berbasis elektronik atau cashless payment system. Jadi tidak ada lagi pembayaran secara tunai dan pola yang IPC lakukan ini tentu berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan menjadi lebih cepat, lebih terdata, lebih transparan, dan lebih akurat.
Perubahan radikal ini memberikan dampak yang signifikan, produktivitas meningkat dan revenue korporasi meningkat. Itu karena, semua tercatat dengan baik. Ini merupakan cikal-bakal untuk mentransformasi IPC menjadi pelabuhan yang disebut Digital Port atau pelabuhan yang berbasis digital.
“IPC akan bertransformasi dari terminal operator menjadi trade corridors. Nantinya IPC akan berperan sebagai trade facilitator dan lebih jauh lagi menjadi trade accelerator. Dengan konsep ini IPC tidak hanya akan melayani bongkar muat barang, tapi juga mendorong perdagangan melalui ekosistem,” papar Elvyn, pada suatu kesempatan.
Di tahun 2019, IPC berada pada fase sustainable superior performance (performance yang berkelanjutan) dengan 3 (tiga) fokus utama yaitu growth strategy baik secara organik maupun nonorganik, national connectivity artinya bagaimana IPC terus membangun proyek-proyek strategis dan program global expansion.
Melalui organic growth strategy, IPC akan terus mengembangkan kapasitas internal, bagaimana produktivitas bisa lebih tinggi, layanan bisa lebih cepat, ongkos/biaya-biaya bisa lebih kompetitif. Tujuannya adalah agar pelayanan pelabuhan bisa lebih cepat, lebih mudah dan lebih murah. Ini dalam rangka mendukung program pemerintah menurunkan biaya logistik. Sementara itu, non organic growth merupakan keinginan IPC untuk mengambil alih pengelolaan pelabuhan UPT sehingga IPC bisa lebih bertumbuh dan pengelolaan pelabuhan-pelabuhan itu bisa lebih optimal.
Fokus kedua di tahun ini adalah national connectivity. IPC akan terus membangun proyek-proyek strategis. IPC akan bangun pelabuhan untuk peti kemas, nonpeti kemas, curah cair, curah kering, dan sebagainya yang akan dilengkapi dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Ini adalah dalam rangka meningkatkan konektivitas antarpulau di Indonesia dari Barat sampai Timur.
Fokus ketiga di era sustainablity adalah saat IPC ingin menjalankan global expansion. Melalui strategi ini IPC memulai mengembangkan sayap dengan menjajaki potensi kerja sama, IPC menjadi operator pelabuhan di negara-negara lain seperti Philipina, Vietnam, Bangladesh, dan sebagainya, yang rencananya akan dilakukan melalui anak-anak perusahaan IPC.
Tahun 2018, IPC telah melayani direct call ke 4 benua, yakni Inter Asia, Amerika, Eropa, dan Australia. Direct call telah berkontribusi dalam penghematan biaya logistik sebesar 40% lebih murah dari transhipment via Singapura. Selain itu, layanan ini juga menghemat waktu pengiriman barang dari 31 hari menjadi 21 hari.
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC sebagai operator pelabuhan terbesar di Indonesia mempunyai visi untuk menjadi pengelola pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan. IPC memiliki 12 (dua belas) cabang pelabuhan yang tersebar di wilayah bagian barat Indonesia, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, Sunda Kelapa, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Banten, Bengkulu, Panjang, Cirebon, Jambi, Pangkal Balam, dan Tanjung Pandan.
Selain itu, IPC memiliki 17 (tujuh belas) anak perusahaan dan perusahaan afiliasi yang terdiri atas PT Pelabuhan Tanjung Priok, PT Jakarta International Container Terminal, PT Pengembang Pelabuhan Indonesia, PT Indonesia Kendaraan Terminal, PT Energi Pelabuhan Indonesia, PT Integrasi Logistik Cipta Solusi, PT Jasa Peralatan Pelabuhan Indonesia, PT Pengerukan Indonesia, PT Electronic Data Interchange Indonesia, PT Terminal Petikemas Indonesia, PT Pendidikan Maritim dan Logistik Indonesia, PT IPC Terminal Petikemas, PT Rumah Sakit Pelabuhan, PT Multi Terminal Indonesia, PT Jasa Armada Indonesia Tbk., KSO TPK Koja, serta PT Pelabuhan Indonesia Investama. (E-2)