Dorongan pemerintah untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) bukan basa-basi. Tak cukup hanya dengan menggulirkannya di bawah program energi terbarukan, Presiden Joko Widodo menghendaki supaya gerakan PLTSa itu lebih massif. Maka, diterbitkanlah Peraturan Presiden (Perpres) No. 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Kini program bertajuk waste to energi itu telah hadir di 12 kota.
Kota Surabaya adalah pelopornya. Keberhasilan TPA Benowo Surabaya dengan instalasi landfill gas-nya, yang berkapasitas 2 Mega watt (MW) sejak 2016, sedikit banyak turut mendorong percepatan program Apalagi, di TPA Benowo, Pemkot Surabaya telah pula membangun satu instalasi lainnya, yang berbasis gasifikasi sampah dan siap beroperasi Desember 2019. Tak pelak lagi, PLTSa itu pun segera diminati banyak pemerintah daerah. Kini, proyek serupa tengah berjalan di 11 kota lain, di antaranya Palembang, Jakarta, Bekasi, Semarang, Surakarta (Solo), Denpasar, Makassar, dan Manado.
Namun, reaktor landfill gas seperti yang dibangun sebagai model pertama di TPA Benowo tak menjadi pilihan. Reaktor yang mengandalkan gas metana, dari hasil fermentasi di perut gunungan sampah itu, cukup merepotkan. Perlu dibangun dulu sumur-sumur sampah (kedalaman 10-15 meter dengan lebar 20 meter, yang masing-masing disebut cell), berlapis terpal untuk membungkus material sampah.
Lewat pipa-pipa yang dihunjamkan ke buntalan sampah itu, gas metana dikeluarkan, dibersihkan, lantas digunakan untuk bahan bakar mesin generator listrik. Fermentasi memang membuat material sampah kempis, tapi susutnya hanya 40 persen.
Platform reaktor kedua di TPA Benowo, dengan gasifikasi, lebih menjadi pilihan. Material sampah yang umumnya basah itu cukup dibersihkan dari pecahan kaca, logam, atau keramik, lalu dicacah, kemudian dimasukkan ke ruang pengeringan yang bersuhu 150 derajat Celsius. Setelah kering, tumpukan sampah itu dimasukkan ke ruang panggang (grate) yang bersuhu 800-900 derajat Celsius.
Di ruang pemanggangan itu berlangsung proses pirolisis, yang memang memerlukan temperatur tinggi, atas segala material sampah itu. Mengacu ke sampah di Surabaya, bahan organik limbah dapur adalah material dengan porsi terbesar (63%), lantas plastik 15%, kertas 12%, pamper 2,5%, dan seterusnya. Semua mengalami proses pirolisis yang menghasilkan sejumlah gas dan arang. Lewat pendinginan dan proses oksidasi terbentuklah gas metana adalah jumlah besar.
Gas metan itu yang dikirim ke ruang bakar dan digunakan memanaskan boiler. Dari boiler muncul uap air bertekanan tinggi, dan kemudian digunakan untuk memutar turbin. Energi listrik terbangkitkan, dan arang yang muncul hanya 5% dari berat sampahnya. Arang itu cukup aman ditampung di TPA. Dengan cara ini, tempat-tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di berbagai kota tidak lagi dihantui tumpukan sampah yang cepat menggunung.
Reaktor gasifikasi ini cukup lahap menelan sampah. Di TPA Benowo Surabaya, misalnya, ruang grate di reaktornya bisa memakan 1.000 ton sampah dan menyisakan 50 ton arang saja. Tak heran bila reaktor sampah Benowo itu kemudian menjadi acuan kota-kota lain, yang umumnya merancang reaktornya untuk menelan sampah (basah) sekitar 500-1.000 ton sehari, atau bahkan lebih.
Palembang sedang mulai membangun PLTSa di TPA Karya Jaya Sukawinatan. Secara bertahap PLTSa itu akan menghasilkan 20 MW. Investasinya USD120 juta (Rp1,68 triliun). Baru awal Oktober 2019 lalu dilakukan ground breaking-nya. Pemprov DKI punya target ambisius dengan PLTSa 35 MW dengan biaya Rp4,84 triliun. Solo memasang target 10 MW dengan biaya Rp809,2 miliar, dan Bali juga 20 MW dengan biaya Rp1,68 triliun.
Misi pemerintah lebih mengutamakan urusan sampahnya ketimbang produksi listriknya. Program PLTSa itu sejalan dengan agenda global menekan emisi gas rumah kaca, mencegah climate change, dan turut serta dalam penyelamatan planet bumi. Maka, pemerintah siap menyalurkan subsidi tambahan.
Secara umum, listrik PLTSa itu jauh lebih mahal dari listrik batubara, gas, bahkan hidro dan geotermal sekalipun. Nilai acuan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan per KWh listrik di Jatim, menurut Keputusan Menteri ESDM (2018) ialah Rp989 atau 6,94 sen dolar AS. Artinya, untuk supply listrik dari swasta ke PLN akan dibeli di sekitar harga acuan tersebut, kecuali di lokasi terpencil seperti di pulau-pulau kecil di sekeliling Madura.
Untuk Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tangah, Jawa Timur dan Bali, BPP pembangkitannya relatif sama, di angka Rp980-an per KWH. Di Sumatra Selatan sekitar Rp1.058 per KWH. Lantas, berapa listrik dari TPA Sampah itu dihargai PLN? Tak mudah memutuskannya. Tak heran bila PLTSa Sumur Batu, Ciketing Udik, Kota Bekasi, mengundur jadwal operasinya, menunggu harga kesepakatan yang sesuai, PLTSa Bekasi ini berkapasitas 1,5 MW dan mengkonsumsi sampah 120 ton per hari.
Wali Kota Surabaya Risma Harini sempat menyebut angka di sekitar 13 sen dolar, sekitar Rp1.875 per KWH. Artinya, PLN membeli hampir dua kali harga pasar. Tapi, PLN dapat menutup kerugian itu dari margin yang diperoleh dari pembelian puluhan ribu megawat dari pasokan swasta yang lain.
Di lain pihak, PT Sumber Organik yang mengoperasikan PLTSa di TPA Benowo Surabaya sendiri belum untung dari harga Rp1.875 per KWh. Biaya pembangkitan listrik sampah ini diperkirakan di angka 17 sen dolar AS atau Rp2.390 per KWh. Masih ada kekurangan Rp515 per KWh.Kementerian ESDM akan menyubsidi 49% dari kekurangan itu. Yang 51% persen lainnya dibebankan ke Pemkot.
Dengan begitu, jika diasumsikan ada kekuranggan biaya Rp515 per KWh, Pemkot Surabaya harus rela menambal Rp262 per KWH. Bila yang dijual ke PLN rata-rata 10 MW saja dari, maka Pemkot Surabaya perlu menyuntik sekitar Rp62,4 juta per hari. Pengembang (operator) PLTSa akan mengutip sebagai tipping fee, sekitar Rp62,4 ribu per ton sampah yang masuk ke reaktor pembangkit listrik. Tipping fee itu tentu akan membebani anggaran Dinas Kebersikan Pemkot Surabaya yang tak sampai Rp50 miliar per tahunnya. Iuran sampah bisa menjadi pilihan agar APBD tidak jebol. (P-1)