Indonesia.go.id - RI Digugat ke WTO, Program Penghiliran Jalan Terus

RI Digugat ke WTO, Program Penghiliran Jalan Terus

  • Administrator
  • Selasa, 26 November 2019 | 20:42 WIB
KOMODITAS NIKEL
  Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Jojon

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi berjanji segera mempelajari gugatan UE tersebut.

Perdagangan internasional Indonesia kembali mendapat ujian setelah komoditas kelapa sawit. Kali ini, blok perdagangan yang sama, Uni Eropa, resmi mengadukan Indonesia ke organisasi perdagangan dunia atau WTO, terkait dengan pelarangan ekspor bijih nikel mulai 2020, pada Jumat (22/11/2019) waktu setempat.

Benar. Mereka mengadukan soal larangan ekspor mineral itu ke World Trade Organization (WTO) setelah pemerintah menetapkan larangan ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020.

Larangan itu dikeluarkan melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Jadwal pelarangan ini lebih cepat dua tahun dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang memperbolehkan ekspor tersebut hingga 2022.

Sebenarnya, dalam konteks larangan, Indonesia melakukannya bukan yang pertama kali. Pelarangan ekspor nikel pernah dilakukan pada 2014 lewat Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Regulasi itu mengacu kepada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pemerintah mengatur dan melarang ekspor mineral mentah.

Pasal 103 Ayat 1 beleid tersebut mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan (smelter) di dalam negeri. Pasal 170 juga mewajibkan perusahaan Kontrak Karya (KK) melakukan kewajiban pembangunan smelter di dalam negeri.

Pemerintah kemudian membuka keran ekspor bijih nikel pada 2017 lewat Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri.

Lalu lewat PP nomor 1 tahun 2017 pemerintah juga memberikan kelonggaran yakni perusahaan yang telah membangun atau dalam tahap membangun smelter diizinkan ekspor hingga tahun 2022.

Larangan ekspor mineral mentah merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Dalam Pasal 103 tertulis, pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri.

Menanggapi pengaduan Uni Eropa itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan, pemerintah masih mempelajari terlebih dahulu gugatan UE terkait pelarangan ekspor nikel berkadar rendah ke WTO.

"Masih kami pelajari," ujarnya Minggu (24/11/2019). Sebelumnya, Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengaku tak keberatan dengan rencana Uni Eropa yang akan mengadukan Indonesia kepada WTO. Pihaknya siap menjelaskan alasan pemerintah melarang ekspor nikel dipercepat. "Biarin saja, enggak apa-apa. Nanti kita jawab, kami jelaskan ke Uni Eropa," kata Bambang.

Bagi Indonesia, kebijakan percepatan larangan ekspor bijih nikel harus diambil oleh pemerintah merujuk laporan lonjakan ekspor yang terjadi. Pasalnya, realisasi ekspor bijih nikel dalam bentuk mentah, tanah dan air, dari tahun ke tahun meningkat. Ketahanan cadangan nikel tanah air pun bisa dipastikan tergerus.

Data Kementerian ESDM mencatat, cadangan terbukti komoditas nikel nasional mencapai 698 juta ton. Jumlah tersebut hanya mampu memenuhi suplai bijih nikel untuk smelter selama 7,6 tahun. Di sisi lain cadangan terkira mencapai 2,8 miliar ton.

Produk Bernilai Tambah

Tentu tidak mudah menjadikan cadangan terkira itu menjadi cadangan terbukti. Banyak faktor yang harus dilakukan untuk bisa menghasilkan produk tambang, seperti kemudahan akses, perizinan lingkungan, dan keekonomian. Artinya, dengan jumlah cadangan sebesar itu, tentu terpikirkankah sampai berapa lama kekuatan cadangan Indonesia bila terus ekspor dalam bentuk mentah, tidak dalam bentuk bernilai tambah.

Perlu diketahui, pemerintah dan pengusaha nikel sebenarnya sudah mencapai kesepakatan untuk melakukan relaksasi ekspor nikel mentah sejak 2015. Komitmen relaksasi itu juga diikuti dengan komitmen untuk membangun 31 smelter nikel baru hingga 2021.

Artinya hingga tahun itu Indonesia akan memiliki sebanyak 37 smelter dengan kapasitas hingga 95 juta ton. Dengan adanya pendalaman industri itu, Indonesia memiliki jaminan ketersediaan bahan baku sektor manufaktur nasional.

Sebagai gambaran, menurut data BPS, jelang berlakunya larangan permanen ekspor mineral mentah, ekspor komoditas itu naik signifikan. Pada September 2019, nilai ekspor mineral mencapai USD88,2 juta.

Bahkan, nilai ekspor naik lagi menjadi USD97,4 juta pada Oktober. Lonjakan ekspor pada bulan itu naik tajam hingga dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan volume ekspor itu terjadi sejak pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor dalam bentuk nikel mentah per 1 Januari 2020.

Bagi Indonesia, tujuan penghentian ekspor nikel mentah adalah upaya negara ini mendorong tumbuhnya hilirisasi industri nikel, seperti industri besi, baja, atau pengguna lainnya.

Indonesia, seperti disampaikan Sekjen Kemenperin Achamd Sigit Dwiwahjono, tidak bergeming dengan ancaman Uni Eropa tersebut. Menurut Sigit, pemanggilan Pemerintah Indonesia ke sidang Organisasi Dagang Dunia (WTO) merupakan hak pelaku industri Eropa.

“Ya sama saja, Eropa juga melarang penggunaan CPO [crude palm oil/ minyak sawit mentah] di dalam negeri mereka. Penghentian ekspor nikel jelas akan memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja, beban defisit neraca jadi berkurang, selain jadi subtitusi impor bahan baku bagi industri pengguna.” (F-1)