Indonesia.go.id - Jaring Investasi dan Serap Naker, Apparel Park Wujudkan Daya Saing

Jaring Investasi dan Serap Naker, Apparel Park Wujudkan Daya Saing

  • Administrator
  • Rabu, 27 November 2019 | 03:10 WIB
INDUSTRI TEKSTIL
  Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) menerima pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) di Istana Merdeka Jakarta, Kamis (21/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Presiden Jokowi menawarkan agar sentra pabrikan TPT didirikan di seputaran Tegal.

Presiden Joko Widodo atau akrab dipanggil Jokowi melontarkan wacana untuk membangun kawasan khusus untuk industri tekstil. Jokowi mengistilahkannya dengan apparel park.

Tentu bagi berbagai kalangan menjadi bertanya-tanya, barang apa lagi itu? Tentu bagi presiden, lontaran wacana bukan asal lontaran saja. Kepala negara pasti sudah memikirkan semuanya, termasuk ancaman produk TPT asing yang mengincar pasar lokal.

Apparel park sendiri bisa jadi adalah sebuah kawasan tekstil produk tekstil yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Misalnya, pembeli ingin datang ke kawasan itu dan kemudian bertemu dengan pabrikannya sehingga mereka bisa langsung bertransaksi sesuai dengan kebutuhannya.

Ini mungkin yang dimaksud apparel park itu seperti yang telah dilakukan di beberapa negara. India dengan Bengalore, salah satunya. Konsep ini dibenarkan oleh pengurus Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFi). Bersama dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), kedua asosiasi itu baru saja diterima Kepala Negara di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyatakan, Presiden menawarkan sebuah blok tanah sekitar 4.000 hektare di Brebes, Jawa Tengah. Asosiasi menilai pendirian kawasan industri TPT di Brebes tepat lantaran daya saing dan infrastruktur pendukungnya yang sudah cukup memadai, seperti infrastruktur jalan tol dan pelabuhan.

Rencana merelokasi kawasan tekstil ke Jawa Tengah bagi pabrikan yang tergabung kedalam APSyFI adalah karena kawasan pabrikan di Jawa Barat terkendala masalah limbah. Begitu juga masalah UMR yang sudah tidak kompetitif. Bayangkan UMR Brebes masih Rp1,74 juta, bandingkan UMR Jawa Barat yang sudah mencapai Rp1,81 juta.

“Akses tol lebih bagus untuk logistik. Saya kira, kalau pengelola kawasan industri sudah ada, pasti pindah,” sebut APSyFI.

Tentu bukan hanya sebuah kawasan saja yang dibutuhkan. Kawasan itu juga harus didukung pembangkit listrik tenaga gas, dan pusat pelatihan. “Pusat pelatihan itu penting untuk mendidik tenaga kerja petani ke sektor manufaktur.”

Pendapat APSyFI dibenarkan Ketua API Ade Sudrajat. Menurutnya, Presiden Jokowi menawarkan agar sentra pabrikan TPT didirikan di seputaran Tegal. Menurutnya, lahan yang disiapkan di Tegal seluas 42 hektare. API mengusulkan agar masa guna bangunan pabrikan diperpanjang menjadi 50 tahun.

Rencana pendirian sebuah kawasan tekstil di Jawa Tengah merupakan bentuk perhatian yang sangat besar dari pemerintah. Industri ini sebelumnya juga telah mendapatkan perlindungan dengan keluarnya tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pada 5 November 2019.

Ketiga beleid itu bertujuan menahan banjir impor tekstil, terutama asal Tiongkok. Ketiga PMK tersebut adalah PMK 161/PMK.010/2019, PMK 162/PMK.010/2019, dan PMK 163/PMK.010/2019. Dan, ketiga PMK itu berlaku 200 hari sejak diundangkan pada tanggal tersebut.

Ihwal turunnya 3 PMK sebenarnya tidak lahir begitu saja. Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, bahkan juga sudah turun tangan melakukan penyelidikan berkaitan dengan banjir impor tersebut.

Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia menyebutkan ada kerugian yang serius yang dialami industri dalam negeri akibat dari lonjakan jumlah impor produk kain. Dengan ketiga aturan tersebut, Kementerian Keuangan telah menetapkan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk beberapa jenis barang impor.

Bisa jadi keluarnya ketiga aturan tersebut sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mengamankan industri dalam negeri serta mendorong penggunaan produk dari pasar domestik.

Peroleh Perlindungan

Harus diakui produk TPT adalah sektor manufaktur yang kinerjanya masih moncer. Bisa jadi wujud pertahanan sektor manufaktur  nasional. Sebab, selain sebagai sektor padat karya, industri TPT memiliki orientasi ekspor. Nah, salah satu bentuk dukungan terhadap produk unggulan itu adalah dengan memberikan perlindungan (safeguard).

Sebelum keluarnya kebijakan safeguard itu, pemangku kepentingan industri TPT melalui APSyFi sudah mengeluhkan kondisi pabrikan yang tergabung di asosiasi tersebut. Pabrikan yang tergabung di asosiasi itu berasal dari industri serat, benang, dan kain.

Menurut asosiasi itu, dalam tiga tahun terakhir, utilitas produksi ketiga pabrik ini terus menurun. Utilisasi kain misalnya, sekarang tinggal 50% pada 2018 dari sebelumnya 60% pada 2017. Lalu benang dari 76% menjadi 70%. Begitu pun dengan produk serat dari 70% tinggal menyisakan 65%-67%.

Keluhan asosiasi terkonfirmasi juga dari pernyataan Direktur Kepabeanan Internasional dan Antarlembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Syarif Hidayat. Dia mengakui negara asal impor tekstil didominasi dari Tiongkok. “Sebanyak 70% berupa produk kain, benang, dan tekstil lainnya terbanyak memang Tiongkok."

Masih menurut data Ditjen Kepabeanan Internasional dan Antarlembaga Bea dan Cukai menyebutkan lonjakan impor itu terutama produk kain tekstil dengan kode HS 107 HS.

Selain itu juga lonjakan volume impor benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial sebanyak 6 HS code, dan lonjakan volume impor produk tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya sebanyak 8 HS code.

Inilah yang melatarbelakangi lahirnya 3 PMK itu. Melalui PMK 161/PMK.010/2019, Kementerian Keuangan telah menetapkan BMTPS (bea masuk tindak pengamanan sementara) terhadap produk benang (selain benang jahit) dari serta stapel sintetik dan artifisial yang diimpor mulai dari Rp1.405/Kg.

Sementara itu, dalam PMK 162/PMK.010/2019, penetapan BMTPS untuk produk kain yang diimpor mulai dari Rp1.318/meter hingga Rp9.521/meter serta tarif ad valorem berkisar 36,30% hingga 67,70%.

Untuk PMK 163/PMK.010/2019, pengenaan BMTPS terhadap produk tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya yang diimpor sebesar Rp41.083/Kg.

Menurut asosiasi itu, dalam tiga tahun terakhir, utilitas produksi ketiga pabrik ini terus menurun. Utilisasi kain misalnya, sekarang tinggal 50% pada 2018 dari sebelumnya 60% pada 2017. Lalu benang dari 76% menjadi 70%. Begitu pun dengan produk serat dari 70% tinggal menyisakan 65%-67%. Artinya, sebanyak 70% berupa produk kain, benang, dan tekstil lainnya terbanyak memang dari Tiongkok.

Keluarnya tiga beleid PMK dan rencana pendirian apparel park yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir tentu patut didukung. Artinya, pendirian kawasan itu berarti ada investasi dan penyerapan tenaga kerja baru dan akhirnya produk tekstil Indonesia bersaing lagi di pasar global. (F-1)