Angkie Yudistia, demikian namanya. Ia ialah salah satu Staf Khusus Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang berasal dari kalangan milenial. Seperti diketahui, pada 21 November 2019 Presiden Jokowi kembali melantik tujuh staf khusus (stafsus). Keunikan Angkie tak lain karena dirinya adalah tuna rungu.
“Angkie Yudistia. Umur 32 tahun. Angkie anak muda penyandang disabilitas yang aktif bergerak di sosiopreneur melalui disable enterprise. Saya minta Angkie untuk menjadi juru bicara presiden di bidang sosial," ujar Presiden Jokowi di Istana Merdeka.
Angkie tentu bangga dirinya sebagai penyandang disabilitas dipilih sebagai staf khusus. Dia siap membantu Presiden Jokowi mewujudkan Indonesia ramah disabilitas. Itu disampaikan Angkie setelah diperkenalkan oleh Presiden Jokowi.
Angkie memperkenalkan diri dengan bahasa isyarat. "Perkenalkan, nama saya Angkie," ucap Angkie sambil membentuk bahasa isyarat namanya dengan tangan kanan. "The one and only woman with disability, perempuan berkebutuhan khusus diberikan kesempatan terbaik oleh Bapak Presiden berdiri di sini menyuarakan 21 juta jiwa disabilitas di seluruh Indonesia," ucapnya.
Bagi mereka yang tak mengenal Jokowi tentu mudah salah sangka, dan barangkali tak sedikit yang bahkan berburuk sangka, bahwa pengangkatan Angkie Yudistia sebagai stafsus oleh Presiden Jokowi ialah demi pencintraan semata-mata.
Dugaan ini tentu salah. Pasalnya jauh sebelum Jokowi menjadi presiden, yaitu saat Jokowi masih menjabat Wali Kota Solo, ia sebagai pemimpin daerah telah tercatat sebagai pionir yang mempelopori pengadopsian kebijakan yang berpihak pada kaum disabilitas. Ya, Jokowi tercatat telah berkontribusi besar atas terciptanya Kota Surakarta sebagai kota ramah disabilitas.
Seperti diketahui, pada 2008 Pemda Kota Surakarta telah menerbitkan Perda Kota Surakarta No.2 Tahun 2008 Tentang Kesetaraan Difabel. Perda itu kemudian ditindaklanjuti lahirnya Perwali Kota Surakarta No. 9 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Surakarta No.2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel.
Ini artinya, bicara kebijakan ‘affirmative action’ bagi kelompok disabilitas di Surakarta nisbi telah dimulai jauh hari, bahkan jauh sebelum Pemerintah Pusat mengesahkan konvensi CRPD (Convention on the Right of Persons with Disabilities) menjadi UU No 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Wajar saja Kota Surakarta sering disebut-sebut sebagai role model tentang kota ramah disabilitas, sekaligus juga merupakan kota pertama yang mendapat apresiasi dari lembaga Zero Project International di tahun 2014.
Tak berhenti di situ. Saat menjabat menjadi presiden, pada 2018 Presiden Jokowi menghelat Asian Para Games atau Pesta Olahraga Difabel Asia. Perhelatan olahraga paralimpik se-Asia yang ketiga ini diikuti 43 negara boleh dikata sukses dihelat di Indonesia.
Perubahan Paradigma
Akhir pemerintahan Orde Baru, Indonesia sebenarnya telah merumuskan undang-undang khusus bagi kelompok penyandang disabilitas. Ini ditandai lahirnya UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Namun sejalan perkembangan perubahan paradigma di tingkat global, UU Penyandang Cacat jelas jauh dari mencukupi, baik dalam konteks sosiologis, yuridis, maupun filosofis. Pasalnya, materi UU Penyandang Cacat ini lebih bersifat belas kasihan (charity based), di mana pemenuhan hak-hak kelompok penyandang disabilitas masih dinilai sebagai problem sosial.
Ya, zaman itu secara sosiologis masih ada anggapan kuat, kondisi disabilitas merupakan aib. Mereka dimaknai sebagai identik dengan orang sakit dan tidak berdaya. Penyandang disabilitas dipandang sebagai ‘liyan’ (the other). Celakanya, anggapan ini di masa lalu dianggap sebagai kebenaran dan sekaligus kewajaran sosial secara taken for granted.
Karena itulah, bagi pemerintah saat itu posisi kaum disabilitas cenderung dikontruksi sebagai objek hukum. Mereka cukuplah dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya. Ya, bicara kelangsungan hidup mereka sebagai objek hukum maka posisinya sekadar diasuh oleh subjek hukum lain, entah itu negara atau masyarakat, melalui agenda kebijakan berbasis belas kasihan yaitu serangkaian kegiatan berupa rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Demikianlah, kira-kira paradigma dan filosofi lama terkait penyandang disabilitas. Ini tercermin kuat dalam pemilihan judul undang-undang, UU Penyandang Cacat, serta definisi penyandang cacat sebagaimana tertuang pada Pasal 1, yang bunyinya ialah:
“Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik, b) penyandang cacat mental dan c) penyandang cacat fisik dan mental”.
Namun semua itu bukanlah kesalahan Indonesia sepenuhnya. Pasalnya, para perancang International Bill of Human Rights sendiri sejak awal tidaklah pernah memasukkan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang rentan terhadap potensi pelanggaran HAM.
Juga tak satupun klausul kesetaraan dari Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1966), dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), yang secara eksplisit menyebut penyandang disabilitas sebagai kategori yang dilindungi.
Bicara dinamika di tingkat internasional, isu disabilitas barulah mulai menemukan momentumnya di tahun 1971. Saat itu Sidang Umum PBB memproklamasikan sebuah Deklarasi Orang dengan Terbelakangan Mental, dan kemudian di tahun 1975 diikuti dengan Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Dalam deklarasi ini ditegaskan antara lain, hak mereka untuk melakukan pekerjaan yang produktif atau untuk terlibat di dalam jabatan lainnya yang sesuai dengan kemampuan mereka. Deklarasi ini membuat penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM.
Namun begitu, merujuk Fajri Nursyamsi dkk (2015) dalam Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia – Menuju Indonesia Ramah Disabilitas disebutkan, bahwa instrumen awal saat itu masih mencerminkan gagasan disabilitas sebagai model medis. Model tersebut memandang penyandang disabilitas sebagai orang dengan masalah medis, yang penanganannya bergantung pada jaminan sosial dan kesejahteraan yang disediakan oleh setiap negara.
Sejarah mencatat di sepanjang 1970-an hingga 1980-an, Majelis Umum PBB menghasilkan sejumlah resolusi yang berdampak pada dilaksanakannya Program Aksi Dunia tentang Penyandang Disabilitas di tahun 1982. Dua tujuan awal dari program aksi itu adalah pencegahan dan rehabilitasi. Baru setelah itu, tujuan berikutnya adalah persamaan kesempatan.
Program Aksi Dunia tentang Penyandang Disabilitas ialah strategi global yang memberikan cetak-biru bagi negara-negara untuk mencapai partisipasi penuh dan setara dari penyandang disabilitas. PBB menyoroti bahwa sikap masyarakat terhadap disabilitas bisa menjadi penghalang untuk mewujudkan hak asasi manusia sepenuhnya dan kesetaraan penyandang disabilitas. Periode ini menandai dimulainya pergeseran paradigma menuju pendekatan berbasis hak asasi manusia bagi para penyandang disabilitas.
Pada dekade 1990-an, tercatat banyak kemajuan berarti. Pada 1992, Majelis Umum PBB menetapkan setiap tanggal 3 Desember sebagai momen peringatan tahunan Hari Disabilitas Internasional atau Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Penetapan momen peringatan tahunan ini sengaja diciptakan untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan para penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Pada 1993, Majelis Umum PBB mengadopsi Peraturan Standar PBB tentang Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities (STRE). Aturan standar ini berfungsi sebagai panduan untuk pembuatan kebijakan, mengambil tindakan untuk menghilangkan hambatan dan menciptakan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas dalam masyarakat dan proses pembangunan.
Tak berhenti di situ, puncak momentumnya ialah memasuki dekade tahun 2000. Pada 2006, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD). Mulai dibuka untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB pada 30 Maret 2007 dan mulai diberlakukan pada 3 Mei 2008.
Menarik digarisabawahi di sini, konvensi CRPD sebagai perjanjian internasional bertujuan mempromosikan, melindungi dan memastikan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua penyandang disabilitas. Selain itu, juga patut dicatat, dalam konvensi ini terjadi perubahan mendasar paradigma dan filosofi sebagai pendekatan terhadap penyandang disabilitas, yaitu dari charity based menuju human right based.
Indonesia jelas tak menunggu lama dan segera bergegas meratifikasi CRPD. Pada 2011, lahirlah UU No 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Tak berhenti di situ, menindaklanjuti komitmennya Indonesia kemudian merevisi UU Penyandang Cacat, dan menyusun perundang-undangan baru yang sepenuhnya mengimplementasikan klausul-klausul konvensi CRPD melalui pengesahan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU itu terlihat jelas perubahan definisi tentang disabilitas. Pasal 1 Ayat (1) UU Penyandang Disabilitas menyebutkan:
“setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.
Menarik juga disimak perspektif hak asasi manusia dalam UU Penyandang Disabilitas telah termuat kuat pada Pasal 3 Ayat (a) hingga (e), yang berbunyi: “Pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas bertujuan:
(a) Mewujudkan penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar penyandang disabilitas secara penuh dan setara;
(b) Menjamin upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak sebagai martabat yang melekat pada diri penyandang disabilitas;
(c) mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, mandiri, serta bermartabat;
(d) Melindungi penyandang disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif serta pelanggaran hak asasi manusia; dan
(e) memastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan serta berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.” (W-1)