Sejak digelar sebagai agenda tahunan 25 tahun silam, Indonesia tak pernah absen mengikuti Konferensi Perubahan Iklim. Kali ini, acara itu dihelat di Madrid, Spanyol, 2-13 Desember 2019. Delegasi Indonesia pun hadir, dengan 44 anggota dari berbagai intansi, yang dipimpin Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong. Konferensi itu diikuti wakil dari 197 negara.
Di Madrid delegasi merah-putih memasuki arena konferensi dalam situasi khusus: Indonesia kini masuk dalam daftar 10 besar negara dengan emisi karbon terbesar, menggeser Kanada. Dengan masuk ke-10 besar emiten karbon ini, Indonesia mengikuti rangkaian konferensi itu dengan memperlihatkan gairah dan komitmennya ikut aktif mengurangi beban planet bumi, dengan mengurangi emisi karbon.
Salah satunya ditunjukkan oleh Paviliun Indonesia, yang lokasinya dipilih dekat dengan bangunan untuk ruang sidang utama. Wamen Ale Dohong menyebut denyut paviliun itu sebagai soft diplomacy. Di situ diperkenalkan program-program Pemerintah RI terkait isu karbon lewat pameran dan seminar-seminar.
Dari paviliun itu Pemerintah Indonesia menunjukkan kesungguhannya untuk menekan emisi karbonnya, antara lain, melalui restorasi lahan gambut, moratorium kebun sawit, penghijauan lahan kritis, berbagai industri berkelanjutan, produksi kayu dan produk olahannya dengan eco-labeling, HTI (hutan tanaman industri), perhutanan sosial, dan seterusnya.
Indonesia juga menunjukkan potensinya untuk program blue-carbon, yakni memanfaatkan laut sebagai area penyerapan karbon. Potensi tersebut antara lain ada pada terumbu karang yang habitatnya begitu luas dengan segala keragamannya, hutan mangrove, padang lamun, rawa pasang surut, dan seterusnya. Potensi mangrove Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Namun, budidayanya perlu memberikan manfaat timbal balik.
Untuk memperoleh manfaat imbal balik itulah delegasi Indonesia perlu berjuang di forum konferensi ini. Tidak kurang dari 40 orang negosiator dikerahkan. Bagaimana pun juga program pengurangan emisi itu mestinya memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat di mana aktivitas dilakukan. Kegiatan itu juga perlu membuka peluang Indonesia mengakses teknologi mutakhir di bidang pertanian, capacity building, transfer teknologi, mitigasi, adaptasi, sejumlah, penelitian, sumber pembiayaan, dan sejumlah isu lainnya. Ketentuan teknis terkait hal-hal tersebut memang perlu diperjuangkan agar jelas dan adil untuk semua pihak.
Acuannya ialah Perjanjian Paris (The Paris Agreement) yang dihasilkan dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris. Indonesia meratifikasi Accord de Paris itu di Markas Besar PBB New York, pada April 2016. Yang menjadi subyek perjanjian itu adalah emisi gas rumah kaca, gas-gas yang memberikan efek panas pada massa udara di atmosfir. Meski masuk 10 besar, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hanya 1,49 persen dari emisi global. Volumenya sekitar 0,554 Giga ton setara CO2.
Perjanjian Paris itu bermaksud menekan emisi carbon untuk mencegah pemanasan global. Tanpa ada upaya pencegahan akan terjadi kenaikan suhu global rata-rata 2,5-4,7 derajat Celsius di akhir abad ini (dibanding suhu pada awal revolusi industri), dan akan mengakibatkan bencana besar. Gunung-gunung es di kutub akan mencair, permukaan laut naik, sejumlah spesies akan punah, tanaman pangan terusik, dan pola iklim berubah. Bencana hidrometeorologis bakal berlipat, seiring kenaikan kandungan uap air di udara akibat meningkatnya temperatur atmosfir bumi.
Kenaikan konsentrasi CO2 rata-rata dunia memang mencemaskan. Dari 290 ppm (mg per kg udara) di tahun 1850 merangkak ke 353 ppm pada 1990 dan menjadi 379 ppm pada 2005. Bila tak ada upaya pencegahan, konsentrasi GRK dapat mencapai 455 ppm setara CO2 pada 2100 yang bisa menimbulkan bencana besar. Pelaksanaan Perjanjian Paris diharapkan bisa menekan kenaikan suhu cukup 2 derajat, atau bahkan 1,5 derajat Celsius, ke level yang masih mungkin ditoleransi planet bumi dengan sejumlah tindakan adaptasi dan mitigasi.
Gejala kenaikan temperatur itu sudah tampak. Pada periode 1901-2010 terjadi kenaikan paras air laut rata-rata 19 cm. Terjadi tren kenaikan frekuensi kejadian cuaca ekstrim termasuk badai dengan skala 4 -5. Menurut Kementerian LHK, di Tarakan, Kalimantan Timur, terjadi kenaikan suhu 0,63 derajat Celsius dalam 25 tahun terakhir, di Sumatra Selatan 0,67 dan di Malang 0,69 derajat Celsius.
Situasi itulah yang mendorong PBB menggelar The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Konferensi ini disepakati digelar setahun sekali dengan tajuk UNFFCCC Parties yang kemudian dibakukan sebagai Conference of the Parties (COP). Sejarah mencatat Berlin sebagai tempat COP 1 digelar 1994, lalu Genewa Swisss tahun berikutnya, dan COP-3 yang melegenda dihelat di Kyoto dengan hasil Protokol Kyoto 1996.
Melalui Protokol Kyoto itulah langkah awal pengendalian emisi karbon dilakukan. Di bawah rezim The Kyoto Protocol ditentukan negara-negara yang dinilai telah mengemisi karbon di atas ambang batas diwajibkan membayar kredit karbon. Yang masuk kelompok ini terutama negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea, dan seterusnya. Yang jadi ukuran ialah konsumsi bahan bakar fosil per kapita. Saat itu Tiongkok masih tergolong negara masih ada di bawah ambang batas seperti halnya Indonesia, Malaysia, dan banyak lainnya.
Di bawah Protokol Kyoto ada skema perdagangan karbon (carbon trading). Mereka yang bisa membuat aksi pengurangan karbon akan memperoleh kredit karbon yang bisa dijual kepada mereka yang belum menjalankan kewajibannya. Namun, rezim Protokol Kyoto itu terdegradasi dengan adanya fatsun baru bahwa ternyata emisi karbon tak melulu terkait dengan konsumsi bahan bakar fosil. Pembukaan hutan, kebakaran hutan, pembukaan lahan gambut, sampah, bahkan budidaya ternak dan tanaman pun bisa dinyatakan sebagai pelepasan karbon. Perubahan ini terasa betul dalam sidang COP ke-13 di Bali, 2007. Bisnis carbon terseok.
Situasi baru ini yang diatur pada Perjanjian Paris 2015. Negara-negara peserta konferensi diminta untuk menyusun target pengurangan emisi masing-masing. Indonesia yang sudah menyiapkan diri sejak pasca-COP ke-13 di Bali siap memangkas emisinya 29% pada tahun 2030 di bawah Perjanjian Paris. Level 29% itu bisa dilakukan tanpa syarat, tanpa bantuan masyarakat internasional. Bila, ada bantuan yang cukup memadai, Indonesia bisa menekan emisinya sampai 41%.
Menekan emisi 29% itu pun tidak terlalu muluk. Bisa dilakukan dengan menekan laju deforestasi dari 0,9 juta ha per tahun menjadi 0,35 juta ha. Restorasi gambut 2 juta ha, reboisasi lahan kritis 2 juta ha, penggunakan energi ramah lingkungan dan sejumlah lainnya. Pelaksanaan langkah-langkah Accord de Paris itu sendiri akan efektif berjalan 2020. Dengan catatan, urusan teknisnya bisa dibuat jelas.
Toh Pemerintah RI seperti menekan pedal gas dalam negosiasi dengan warga dunia lainnya dalam COP 25 di Madrid itu. Banyak peluang kerja sama yang bisa diraih di sana. Indonesia memiliki potensi untuk mencetak karbon kredit, antara lain, dengan hutan mangrove, konservasi terumbu karang dan padang lamun, energi terbarukan, dan masih banyak lainnya. Sikap yang terbuka itu juga menunjukkan bahwa selama 25 tahun komitmen Indonesia untuk ikut menyelamatkan planet bumi tidak pernah bergeser. Tetap lestari. (P-1)