Indonesia.go.id - Angin Sejuk di Sela Ranting Beringin

Angin Sejuk di Sela Ranting Beringin

  • Administrator
  • Rabu, 11 Desember 2019 | 00:27 WIB
PARTAI GOLKAR
  Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kanan) berjabat tangan dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo (kedua kanan) pada pembukaan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, Kamis (14/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Ketua Umum Airlangga Hartarto siap merangkul semua faksi. Konflik akan menyulitkan kader dalam pileg maupun pilkada. Stabilitas politik diperlukan untuk menghadapi situasi ekonomi yang sulit.

Bambang Soesatyo dipastikan segera menempati posisi salah satu Wakil Ketua Umum. Adalah Airlangga Hartarto, selaku Ketua Umum terpilih dan sekaligus formatur yang mendapat amanat dari arena Munas Partai Golkar, yang menyampaikan kabar itu ke wartawan, usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (10/12/2019). ‘’Bukan kandidat, itu sudah diputuskan,’’ kata Airlangga.

Pengangkatan Bambang Soesatyo sebagai Wakil Ketua Umum adalah isyarat bahwa Partai Golkar serius melakukan konsolidasi internal. Potensi konflik diredam dan faksionalisasi dicegah dengan menghindari  kompetisi yang terbuka, panas, dan sering kali berbiaya mahal. Semangat itulah yang diperlihatkan oleh partai berlambang pohon beringin itu dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-10 di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, 3-4 Desember 2019.

Menjelang Munas, tensi persaingan cukup panas. Ada sembilan kandidat yang mencalonkan diri untuk pemilihan ketua umum. Persaingan sengit terjadi antara kubu Airlangga dan Bambang Soesatyo. Dalam situasi panas itulah, baik Bamsoet (julukan Bambang Soesatyo) maupun Airlangga melakukan konsultasi kanan-kiri, terutama ke para senioren Golkar yang punya pengaruh besar, seperti Mantan Ketua Umum Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, juga Luhut Binsar Panjaitan.

Hasilnya, secara terbuka Bamsoet menyatakan mundur dari gelanggang, hanya sehari sebelum Munas menjadwalkan saat pemilihan. Mundurnya Bamsoet, yang kini menjabat Ketua MPR-RI itu, meniupkan angin sejuk di kalangan pimpinan partai beringin. Langkah itu diikuti pula tujuh calon lainya. Yang tetap bersikukuh berdiri sebagai penantang hanya Ridwan Hisyam, tokoh Golkar dari Jawa Timur.

Namun, peluang Ridwan kempis karena laporan pertangggungjawaban Airlangga diterima oleh utusan dari Penggurus (Dewan Pimpinan Daerah) Tingkat I (provinsi) maupun Tingkat II (kabupaten dan kota), yang mewakili cabang dan ranting beringin. Bahkan, suara mayoritas mutlaknya mencalonkan kembali Airlangga sebagai Ketua Umum 2019-2024. 

Maka, tanpa perlu lagi digelar agenda pemilihan, secara aklamasi Airlangga ditetapkan sebagai Ketua Umum. Ia juga menerima mandat sebagai formatur, dengan didampingi empat orang yang mewakili Golkar dari wilayah Indonesia Barat, Tengah, Timur, dan organisasi sayap Golkar.

Ridwan Hisyam otomatis tersisih. Namun, di balik politik menyawarah mufakat itu sepertinya ada satu kesepakatan, bahwa tak ada unsur yang akan ditinggalkan. The winner takes all tak berlaku. Airlangga akan mengakomodasi semua elemen yang ada, antara lain, dengan mengangkat Bamsoet sebagai salah satu Wakil Ketua Umum Golkar. Sususan lengkap personel Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkan sendiri baru akan diumumkan pertengahan Januari 2020. Para senioren Golkar akan ikut memastikan bahwa DPP Golkar akan mencerminkan semua elemen yang ada.

Kesepahaman dan kesepakatan di luar arena sidang adalah hal yang lumrah. Namun, pada tiga Munas Golkar terakhir seperti tak diperagakan. Walhasil, Munas menjadi ajang gesekan yang berujung saling gusur secara  politik. Tak heran bila setahun menjelang Pemilu 2014 Partai Gorkar terbelah. Ada kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Pembelahan itu bahkan terjadi sampai ke pengurus daerah di provinsi dan kabuaten/kota. Situasi itu berlarut-larut hingga digelarnya Munas Luar Biasa pada Mei 2016.

Sosok Setya Novanto ternyata memenangkan kontestasi dalam Munaslub itu, dengah menyisihkan Ade Komaruddin, tokoh muda Golkar yang baru beberapa bulan sebelumnya menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI. Novanto ditarik mundur dari posisi Ketua DPR-RI terkait isu  kontroversial “papa minta saham Freeport” 2015. Dengan posisinya sebagai Ketua Umum Golkar, Ade Komaruddin dicopot dan Novanto kembali ke posisi Ketua DPR sampai kemudian dicopot lagi karena ia ditangkap KPK gara-gara kasus korupsi e-KTP. Munaslub lagi, dan arena itulah yang membawa Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Golkar.

Geger Golkar 2011-2016 itu memang tak membuat suara Golkar rontok. Pada Pemilu 2014, Golkar bisa meraih 14,75 persen suara pemilih, naik 0,3 persen dari 2009. Tapi, Golkar gagal meraih kesempatan di tengah anjloknya suara Partai Demokrat. Terimbas dengan fenomena Jokowi, PDI Perjuangan menjadi juara di Pemilu 2014 dengan raihan 18,95 persen.

Namun, kader Golkar di daerah merasakan sulitnya keadaan akibat keretakan organisasi, utamanya di arena pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati. Target kemenangan meleset jauh, bahkan kader-kader potensial maju ke arena pilkada dengan kendaraan partai lain. Baru di era Airlangga konsolidasi mulai berjalan, meski dalam Pemilu 2019 raihan suara Golkar mesnyusut, dari 11,75 perseb  ke 12,33 persen, dan kursi di DPR-RI berkurang dari 91 kursi (2014) ke 86 kursi (2019).

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga mantan Ketua Umum Golkar 2004-2009, menyebut sepak terjang Setya Novanto menjadi faktor penting atas merosotnya suara Golkar itu. Apa pun penyebabnya, tampaknya kader Golkar secara umum memilih menghindari perpecahan. Konsolidasi perlu dilakukan, apalagi di tahun 2024 mereka punya peluang untuk memajukan kadernya ke kontestasi pilpres.

Partai Golkar yang tenang juga diharapkan oleh Pemerintahan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Golkar yang solid akan mendukung stabilitas politik, hal yang diperlukan pemerintah di tengah ketidakpastian situasi global. Seperti berulang kali dikatakan Presiden Jokowi, bahwa semua elemen bangsa ini perlu bahu-membahu mendorong langkah kemajuan politik, sosial-budaya dan terutama ekonomi.

Dalam rangka konsolidasi politik itu pula, Presiden Jokowi mengajak Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan Partai Gerindranya bergabung ke dalam koalisi besarnya. Stabilitas dan pembagunan ekonomi itu pada dasarnya, semestinya, oleh semua dan untuk semua. (P-1)