Menghadapi 2020, pelbagai pelaku usaha siap menghadapinya dengan penuh optimistis. Pelambatan pertumbuhan global yang dimulai di awal 2018 diprediksi mulai menuju berakhirnya eskalasi.
Tak dipungkiri, mereka masih dibayangi keraguan, namun pelaku usaha masih memiliki keyakinan ekonomi akan tumbuh secara bertahap menuju yang lebih cerah. Itu yang terjadi di pelaku industri sawit Indonesia, termasuk petaninya.
Sunardi adalah salah satunya, petani kelapa sawit, yang juga pendidik di satu sekolah negeri di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dalam satu perbincangannya dengan Indonesia.go.id mengungkapkan petani sawit kini sudah mulai tersenyum kembali.
Apa pasal? Tanya saya. Penyebabnya, “Harga sawit kini mulai di kisaran Rp1.300 per kilo TBS [tandan buah segar],” ujarnya, seraya tersenyum.
Bisa jadi ungkapan Sunardi itu benar adanya. Di beberapa daerah harga sawit TBS sudah mulai merangkak naik. Di Medan misalnya, harga TBS sudah di kisaran Rp1.350. Begitu pun di Sumatra Selatan di harga Rp1.330 per kilogram.
“Kami sempat terpuruk beberapa waktu lalu. Yang kami peroleh ketika itu hanya cukup untuk membayar petaninya saja,” tambah Sunardi. Benar ketika itu harga sawit berada di kisaran Rp7.000 per kilogram.
Harus diakui, komoditas sawit Indonesia beberapa waktu lalu sempat terpukul dengan adanya pengenaan bea masuk 8%-18% terhadap produk biodiesel dari kelapa sawit selain adanya kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation dari Uni Eropa.
Sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku proses terus berjalan. "Gugatan WTO kita proses saja karena Menteri Perdagangan dan pemerintah sudah menyiapkan tim untuk berproses di WTO," kata Airlangga di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Gugatan terhadap UE disampaikan Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, pada 9 Desember 2019, menyikapi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE.
Kebijakan Uni Eropa melalui RED II dan Delegated Regulation dinilai merupakan bentuk diskriminasi karena membatasi akses pasar kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit.
Apa sebenarnya RED II? RED II merupakan kebijakan dari Uni Eropa yang mewajibkan penggunaan bahan bakar yang berasal dari energi yang dapat diperbaharui mulai 2020 hingga 2030.
Sedangkan Delegated Regulation adalah merupakan aturan pelaksana RED II. Di aturan itu memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Charge (ILUC) yang berisiko tinggi, terhadap kebijakan itu.
Langkah Benar
Pemerintah Indonesia pun menentangnya. Gugatan pun sudah dilayangkan pada 9 Desember 2019. Menurut hemat saya, langkah ini sudah benar dan sudah menunjukkan jati diri bangsa yang berdaulat. Apalagi kebijakan Uni Eropa jelas sangat merugikan dan berdampak negatif terhadap pasar ekspor kelapa sawit ke benua biru itu.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia bersama Malaysia, negara ini pun tidak tinggal diam. Memang, negara ini harus mulai menata diri bagi pengembangan salah satu komoditas unggulannya. Pasar yang saling bergantung satu sama lain memang tidak bisa dihindari.
Namun, kemandirian ekonomi juga tetap harus diperkuat sehingga kasus diskriminasi pasar pada kasus sawit Indonesia tidak perlu terjadi di masa mendatang. Selain memperluas pasar, termasuk pasar Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) dan Tiongkok yang besar, produk sawit juga berusaha dioptimalkan penggunaannya terutama di pasar domestik.
Produk sawit kini juga terus digencarkan menjadi bahan baku campuran dengan solar melalui B30, B50, hingga nantinya B100. Tentu saja kenapa tidak? Setelah melalui sejumlah uji coba, biodiesel jenis ini sangat memungkinkan bagi kendaraan bahkan ramah terhadap lingkungan.
Konsistensi menjadikan komoditas kelapa sawit tetap sebagai produk unggulan negara ini juga membutuhkan peremajaan kembali kebun sawit. Pemerintah berencana meremajakan sebanyak 500.000 hektare kebun sawit dalam tiga tahun.
Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hingga November 2019, lembaga itu telah menyalurkan Rp2,4 triliun untuk peremajaan sawit rakyat seluas 98,87 ribu hektare. Jumlah peremajaan ini meningkat 622% dibandingkan 2018 senilai Rp352,76 miliar.
Direktur Utama BPDPKS Dono Boestomi mengatakan, selain tetap melanjutkan program peremajaan di 2020, salah satu yang menjadi fokus lembaganya adalah upaya stabilisasi harga melalui program B30.
BPDPKS pun menyiapkan dukungan dana untuk pengembangan industri bahan bakar berbasis sawit. "Program peremajaan akan diarahkan untuk meremajakan pohon sawit untuk 500.000 hektare selama 3 tahun ke depan. Untuk itu tengah dipersiapkan prosedur dan tata kerja program peremajaan, termasuk alternatif surveyor untuk program ini," katanya.
Kebijakan pemerintah dengan menentang diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa sudah benar. Selain itu, diversifikasi pasar ekspor juga perlu terus dilakukan mengingat kampanye hitam yang digaungkan Eropa terhadap produk sawit Indonesia.
Sawit adalah masa depan termasuk untuk keberlangsungan energi negara selain untuk kepentingan pasar ekspor. Oleh karena itu, Indonesia harus berperan lebih dalam menjaga harga sawit yang merosot, seperti beberapa tahun terakhir ini. (F-1)