Indonesia.go.id - Konsentrasi di Zona Merah, Pangkas Ancaman Kualitas SDM

Konsentrasi di Zona Merah, Pangkas Ancaman Kualitas SDM

  • Administrator
  • Minggu, 9 Februari 2020 | 22:49 WIB
STUNTING
  Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) berdialog dengan warga penerima Program Keluarga Harapan tahap I tahun 2020 yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta nutrisi keluarga agar dapat mendukung program nasional pencegahan stunting. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pd.

Bukan sekadar masalah kurangnya tinggi badan anak, stunting telah diyakini sebagai ancaman nyata kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Alhasil, pemerintah pun tancap gas mewujudkan target 14 persen di 2024.

Hasil survei pemantauan status gizi (PSG) sejak 2015 sampai 2017 di Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan bahwa prevalensi angka balita kerdil di Sulbar mengalami peningkatan.

Seorang anggota DPR RI asal Sulbar Andi Ruskati, saat berada di Mamuju, Sulbar, Selasa (4/2/2020) menyampaikan bahwa prevalensi balita pendek (kerdil) di provinsi ini mengalami peningkatan dari 38,4 persen pada 2015 menjadi 40,1 persen di tahun 2017.Sebelumnya di Sulbar, dalam sebuah dialog yang di antaranya membahas soal stunting, Wakil Ketua DPRD Sulbar Abdul Rahim mengaku prihatin atas hasil riset Prakarsa. Di mana riset itu menunjukkan bahwa kasus penderita stunting di Sulbar tertinggi kedua di Indonesia. Tertinggi pertama adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di provinsi tersebut, konsumsi gizi pada balita juga menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya atau 71,1 persen mempunyai asupan energi kurang, begitupun dengan asupan protein yang sebanyak 46,4 persen. Pada Rabu (5/2/2020), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memang menyebutkan, masih ada sebanyak 160 kabupaten yang termasuk ke dalam zona 'merah' dalam penanganan masalah stunting.

Tito juga berharap, ke depannya antara pemerintah pusat dan daerah bisa duduk bersama untuk mendapatkan solusi membantu 160 kabupaten itu keluar dari zona merahnya. Memang, stunting tidak hanya membuat anggota legislatif geregetan. Pemerintah sendiri juga berupaya serius menekan angka stunting demi menyadari itu bukan sekadar masalah kurangnya tinggi badan anak. Stunting diyakini pula sebagai ancaman nyata terhadap kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. 

Itulah pulalah sebabnya, Presiden Joko Widodo berulangkali memberikan perhatian terhadap masalah kesehatan anak tersebut. Dalam beberapa kesempatan, dia meminta agar dilakukan percepatan penyelesaian masalah stunting.

Di acara Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rancangan RPJMN 2020-2024,pada Desember 2019, misalnya, Presiden menekankan agar pemerintah daerah turun tangan. “Terutama daerah yang sudah pada posisi peta (stunting)-nya merah, itu hati-hati. Semua daerah, semua provinsi ada semuanya. Dulu lima tahun yang lalu kita angkanya 37 persen, gede banget. Sudah turun menjadi 28 persen. Tapi itu masih tinggi sekali,” tuturnya.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1581258178_antarafoto_cegah_stunting_020220_ms_1.jpg" style="height:333px; width:600px" />Tim medis Rumah Sakit Indriati Solo Baru, Sukoharjo memberikan sosialiasasi pemberian gizi bayi untuk mencegah kegagalan tumbuh kembang anak (stunting). Foto : Antara/Maulana Surya/aww.

 

Langkah Intervensi

Stunting dapat diintervensi dengan gizi spesifik dan gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Langkah ini diproyeksikan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita.

Adapun yang meliputi intervensi gizi spesifik, yaitu pemberian makanan pada ibu hamil, ibu hamil mengonsumsi tablet tambah darah, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), pemberian ASI eksklusif, pemberian ASI didampingi oleh pemberian MPASI pada usia 6-24 bulan, dan berikan imunisasi lengkap pada anak.

Sementara itu, yang disebut dengan intervensi gizi sensitif adalah melakukan berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Proyeksinya, intervensi tersebut berkontribusi cukup signifikan, hingga 70% penurunan stunting.

Kegiatan intervensi gizi sensitif umumnya bersifat makro dan dilakukan secara lintas kementerian dan lembaga. Di antaranya meliputi penyediaan dan upaya memastikan akses pada air bersih dan sanitasi, menyediakan akses ke layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua, dan memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja.

Memang persoalan stunting bukan ancaman baru di negeri ini. Itu sebabnya, sebanyak 54 persen tenaga kerja Indonesia sekarang, menurut informasi Bank Dunia, dulunya terkena stunting.

Pada 2017, World Bank juga melaporkan bahwa Indonesia adalah negara ke-4 di dunia dengan jumlah balita stunting tertinggi. Jumlah stunting (kondisi gagal tumbuh anak balita yang disebabkan oleh malnutrisi kronis) di Indonesia hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan India, Pakistan, dan Nigeria.

 

Terus Menurun

Kendati belum menggembirakan lantaran berada di atas nilai standar maksimal WHO, yakni 20 persen atau seperlima dari total anak balita dalam suatu negara, penurunan angka prevalensi stunting terus terjadi di Indonesia.

Data 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia yang lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Hingga 2017, WHO masih menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia dengan angka mencapai 36,4 persen.

Namun, pada 2018, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa angka prevalensi stunting terus menurun hingga 23,6 persen. Dari data yang sama juga diketahui bahwa stunting pada balita di Indonesia juga turun menjadi 30,8 persen, setelah pada rilis Riskesdas 2013 tercatat stunting balita mencapai 37,2 persen.

Angka stunting  yang masih di atas standar WHO disadari memberikan implikasi buruk terhadap pembangunan dan kemajuan di Indonesia. Stunting menjadi ancaman bagi produktivitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia karena rentan diserang pelbagai penyakit. Stunting juga mengurangi perkembangan daya saing SDM.

Bahkan World Bank memaparkan, kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat beban stunting demikian signifikan. Kerugian ekonomi bisa mencapai 2 hingga 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun dari suatu negara.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan, ada beberapa masalah yang akan timbul akibat  stunting ini seperti: kemiskinan antargenerasi, mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup, mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen, dan hilangnya 11 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1581258599_antarafoto_penyerahan_program_keluarga_harapan_290120_agr_7.jpg" style="height:267px; width:600px" />Presiden Joko Widodo (kiri) berdialog dengan warga sebelum penyerahan Program Keluarga Harapan tahap I tahun 2020 di Lapangan Rajawali, Kota Cimahi, Jawa Barat. Foto : Antara/M Agung Rajasa/pd.

 

Komitmen Pemerintah

Itulah sebabnya, pemerintah menolak untuk sekadar tinggal diam menghadapi bahaya stunting. Pada kepemimpinan Presiden Jokowi periode pertama, misalnya, pemerintah menekankan pentingnya upaya pencegahan stunting yang menggunakan pendekatan multisektor melalui konvergensi program di semua tingkatan. Pada pertemuan tingkat menteri berikutnya, Jusuf Kalla, Wapres RI ketika itu, menetapkan lima pilar pencegahan stunting.

Yakni, pertama komitmen dan visi pemimpin tertinggi negara, kedua, kampanye nasional berfokus pada pemahaman perubahan perilaku, komitmen politik, dan akuntabilitas, ketiga konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah, dan masyarakat; dan keempat mendorong kebijakan nutritional food security, dan kelima adalah pemantauan serta evaluasi.

Dalam rangka mempercepat pencegahan stunting, pemerintah juga menetapkan tiga prioritas. Yaitu pertama, prioritas wilayah pada 2018 ditetapkan 100 wilayah prioritas. Kemudian pada 2019 menjadi 160 wilayah prioritas, 2020 menjadi 260 wilayah prioritas, dan hingga 2024 akan diperluas cakupannya hingga ke seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

Kedua, sasaran prioritas yang terdiri atas ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-23 bulan (rumah tangga 1.000 HPK). Dan ketiga, intervensi prioritas yang terdiri atas intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.

Terkait sasaran prioritas kedua, Dalam Laporan Pemantauan Kinerja Anggaran dan Pembangunan Program Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting, Semester I, yang dilansir Kemenkeu RI, Agusus 2019, disebutkan bahwa pemerintah melalui belanja K/L telah berhasil menyasar 56.247 ibu hamil KEK yang mendapatkan PMT (98% dari target semester I), sebanyak 78.918 balita kurus yang mendapatkan PMT (97% dari target semester I), sebanyak 181.854 posyandu (60,2%) merupakan posyandu aktif yang kegiatannya antara lain orientasi kader posyandu serta edukasi gizi (kerja sama dengan Kemendagri dan PKK).

Lalu, sebanyak 146 lembaga PAUD (dari target 200 lembaga) menerima bantuan untuk pelaksanaan pendidikan PAUD, sebanyak 743.183 keluarga yang memiliki anak bawah dua tahun (baduta) mendapatkan promosi pengasuhan 1.000 HPK. Selain itu ada sebanyak 10.587 remaja putri (dari target 29.327 remaja putri) menerima edukasi kesehatan reproduksi dan gizi, sebanyak 12,5 juta KPM telah menerima BPNT dengan 6,3 juta KPM pada lokasi prioritas stunting, serta sebanyak 80% ibu hamil penerima PKH memeriksakan kesehatannya di fasilitas layanan.

Saat pertanyaan mengenai progres pencegahan stunting, pada Februari 2020, Presiden Jokowi kembali menegaskan komitmen pemerintah. Presiden bahkan terkesan optimistis, menyusul tuntasnya pemetaan stunting.

“Sudah kelihatan semua, mana yang merah, kuning, hijau. Karena itu, dari 28 persen akan ditekan masuk ke angka 14. Memang perlu kerja keras, tapi karena peta sudah jelas, maka kita akan konsentrasi ke daerah-daerah yang masih merah,” pungkasnya, usai meninjau renovasi Masjid Istiqlal Jakarta, Jumat (7/2/2020). (N-1)

 

Penulis : Ratna Nuraini
Editor : Eri Sutrisno