Indonesia.go.id - Rindu Dendam di Balik Keris Naga Siluman

Rindu Dendam di Balik Keris Naga Siluman

  • Administrator
  • Sabtu, 14 Maret 2020 | 03:43 WIB
HUBUNGAN DIPLOMATIK
  Presiden Joko Widodo (kiri) dan Raja Belanda Willem Alexander memeriksa pasukan kehormatan saat kunjungan kenegaraan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020). Kunjungan kenegaraan Raja dan Ratu Belanda tersebut untuk peningkatan kerja sama bilateral di bidang ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Untuk kali pertama, Kerajaan Belanda meminta maaf atas tindak kekerasan di era 1945-1949. Ganjalan diplomatik mencair. Hubungan kedua negara yang diwarnai rasa rindu dendam itu punya potensi ekonomi besar. 

Di bawah payung awan putih langit biru cerah, cahaya matahari lembut, dan angin semilir. Cuaca yang bersahabat itu menyambut kedatangan Tamu Agung dari Belanda, Raja Willem Alexander  dan Ratu  Maxima Zurreguleta Cerruti, di Istana Bogor, Senin (9/3/2020) menjelang siang. Upacara  kenegaraan yang megah, senyuman hangat Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana, menyapa tamu dari Negeri Kincir Angin itu di pelataran Istana Bogor.

Kunjungan Raja dan Ratu Belanda itu meniupkan semangat persahabatan yang lebih karib. Sebelum meluncur ke Bogor, Raja-Ratu Belanda itu menyempatkan diri berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di Jakarta Selatan. Ada upacara peletakan karangan bunga dan mengheningkan cipta di sana.

Seiring dengan kunjungan persahabatan ini pula, Pemerintah Belanda pun mengembalikan relik sejarah, berupa keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro, yang dirampas Pemerintah Belanda 190 tahun lalu. Pengembalian keris pusaka itu juga menggambarkan kepedulian pemerintah (mantan) kolonial itu akan simbol sejarah dan budaya Indonesia.

Namun, klimaksnya ada pada pidato Raja Willem Alexander sendiri. Di hadapan Presiden Joko Widodo, Ibu Negara Iriana, dan para pejabat Indonesia serta delegasi Belanda, saat membicarakan tentang pentingnya membangun hubungan kerja sama Indonesia-Belanda, Raja Willem secara terbuka meminta maaf atas tindak kekerasan yang dilakukan pihaknya pada tahun-tahun pertama, sejak Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan.

‘’Pada tahun-tahun setelah diumumkannya Proklamasi, terjadi sebuah  perpisahan yang menyakitkan dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Maka, selaras dengan pernyataan pemerintahan sebelumnya, saya ingin menyampaikan penyesalan saya dan permohonan maaf untuk kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda di tahun-tahun tersebut,’’ ujar Raja Willem, di Istana Kepresidenan Bogor.

Permintaan maaf dan pengakuan adanya kekerasan yang berlebihan, yang disampaikan oleh Raja Belanda, adalah hal penting yang perlu dicatat. Hal tersebut tak sempat diucapkan neneknya, Ratu Juliana (bertahta 1948-1981), atau ibundanya, Ratu Beatrix (1980-2013). Sejarah politik kolonial Belanda di Indonesia lebih dekat kepada sosok Ratu Wilhelmina yang bertahta dalam era yang panjang, sejak 1890 hingga 1948. Raja Willem yang kini berusia 52 tahun seperti mewakili nenek buyut, nenek, dan ibundanya sekaligus.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Raja Willem. Pertama, disebutnya proklamasi. Kedua, kekerasan yang  berlebihan dari pihak Belanda. Ada progres penting dalam pandangan politik kesejarahan Belanda atas Kemerdekaan RI. Selama ini, secara resmi Belanda tidak mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Dalam versi Belanda (sebelumnya), Kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, dalam upacara penyerahan kedaulatan usai digelar Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Pandangan itu tidak lepas dari kepentingan untuk memberikan perlindungan hukum dan politik atas aksi-aksi militer Belanda sepanjang masa revolusi kemerdekaan RI 1945-1949. Maka selama puluhan tahun, Pemerintah Belanda menolak mengakui adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan begitu, Pemerintah Belanda bisa berdalih bahwa segala tindak kekerasan itu adalah langkah hukum dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap mereka yang disebut pemberontak.

Sikap itu menjadi pangkal kerumitan pertama hubungan diplomatik antara RI dan Belanda. Ditambah pula adanya klausul RI wajib membayar kerugian perang Belanda seperti dalam rumusan KMB di Den Haag 1949. Kemudian ada ada isu nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia1956-1957, lantas isu pembebasan Irian Barat (Papua) awal 1960an. Pada era 1980-an hingga era dekade pertama 2000-an, Belanda menjadi pangkalan bagi aktivis HAM yang mengoposisi Pemerintah Indonesia.

Berbagai insiden politik sempat terjadi. Indonesia secara sepihak membubarkan IGGI (Inter-governmental Group on Indonesia), yakni konsorsium negara-negara donor yang memberi pinjaman lunak kepada Indonesia sejak 1967. Gara-garanya, JP Pronk, Menteri Kerja Sama Luar Negeri Belanda, yang menjadi Ketua IGGI dianggap terlalu menekan Indonesia dalam isu Timor Timur. Ternyata, pasca-IGGI dibubarkan 1992, Indonesia tak kesulitan membentuk konsorsium baru tanpa Belanda. Seluruh bantuan Belanda telah lunas dibayar 2002.

Insiden politik terjadi lagi akhir 2010. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono urung bertolak ke Belanda, beberapa jam sebelum keberangkatannya. Pasalnya, sekelompok aktivis RMS (Republik Maluku Selatan) berniat menangkap Presiden SBY atas tuduhan pelanggaran HAM Pemerintah RI di masa lalu. Pemerintah Belanda tidak peduli dan tidak memberi jaminan perlindungan atas ancaman tersebut. Para analis menyebut, ancaman itu terkait kegagalan Belanda mengurus simpatisan RMS yang notabene adalah warga negaranya.

Pemerintah Belanda memilih bersikap lunak terhadap ulah aktivis yang mengatasnamakan HAM. Hal itu tidak lepas dari visi Kerajaan Belanda yang ingin menjadikan negerinya yang seluas Jawa Tengah itu menjadi the Capital of Global Justice. Klaim itu terkait kehadiran Mahkamah Internasional, yang mengadili sengketa hukum antarnegara (sejak 1950), dan Mahkamah Pidana Internasional (1998), yang mengadili pelanggaran HAM. Pengadilan ini ada di Den Haag. Isu HAM mendapat tempat istimewa di negeri yang sedang membangun citra sebagai The Capital of Global Justice itu.

Situasi ini membuat sejumlah aktivis dan veteran geram. Belanda dianggap hanya pandai mencari kesalahan bangsa lain, tapi bagaimana pelanggaran HAM Belanda di tanah jajahan? Gugatan itu setidaknya telah muncul sejak 1970-an parlemen lantas mendesak pemerintah membentuk komisi untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM oleh serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) 1945-1950.

Laporan resminya baru dirilis Januari 1995, setebal 282 halaman. Di dalamnya tertera ada 140 kasus pelanggaran. Antara lain, ada Kasus Rawagede di Karawang, Jawa Barat, 1947, yang menimbulkan 150 korban jiwa. Versi Indonesia, korban tewas 431 orang. Belum lagi pembantaian warga sipil oleh Kapten Raymond Westerling di Makassar dan banyak kasus lainnya. Tak ada permintaan maaf secara terbuka.

Para aktivis persahabatan Indonesia-Belanda, antara lain jejaring Histori Bersama, tak mau berhenti mempersoalkan ketidakadilan itu. Kekerasan sepanjang revolusi kemerdekaan RI, bagi mereka, bukan isu sepele. Dalam taksiran mereka, kekerasan itu menyebabkan timbul korban 150 ribu orang dari pihak Indonesia (sebagian besar rakyat), dan 15.000 orang pihak Belanda (sebagian besar warga sipil).

Pemerintah Belanda pun akhirnya melunak. Menteri Luar Negeri Bernard Rudolt Bot tampak hadir dalam upacara peringatan HUT ke-60 RI di Jakarta, 17 Agustus 2005. PM Balkenende juga hadir pada resepsi diplomatik HUT ke-63 Kemerdekaan RI yang dihelat KBRI di Wisma Duta, Den Haag. Belanda mengakui, Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 itu secara de facto. Terakhir adalah permintaan maaf oleh Pangeran Willem Alexander.

Potensi Ekonomi

Setelah sekian lama hubungan politik kedua negara berjalan tanpa gereget, kunjungan Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima membawa suasana lebih segar. Toh, di balik hubungan diplomatik yang terkesan kurang bergairah itu terjalin hubungan sosial budaya dan ekonomi yang semakin menjanjikan. Belanda adalah tujuan ekspor Indonesia terbesar ke-11 di dunia.

Dengan meninggalkan berbagai warisan budaya, Belanda tetap terasa dekat bagi sebagian orang Indonesia. Hubungan Indonesia dan Belanda pada masa lalu tak seluruhnya murung dan kelam. Banyak momen indah yang dapat dikenang, di antaranya menjadikan Belanda sebagai tempat menuntut ilmu. Toh, hubungan masyarakat kedua negara ini seperti dibalut rasa rindu dendam yang tak berkesudahan.

Saat ini masih banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang tertarik menempuh studi di Belanda. Ada sekitar 2.500 mahasiswa Indonesia di sana dan terus meningkat 5-7 persen per tahun. Populasi mahasiswa asing asal RI di Belanda adalah yang terbesar dibanding negara manapun.

Pada sisi sebaliknya, sebagian warga Belanda pun memandang Indonesia juga negeri yang dekat. Tak kurang dari 215 ribu turis Belanda datang ke Indonesia setiap tahunnya, terbesar ke-4 untuk wisatawan asal Eropa. Yang istimewa, para  pelancong dari negeri tulip itu betah sampai dua minggu di Indonesia. Investor Belanda pada 2019 juga menanamkan modal sampai USD2,5 miliar (sekitar IDR35 triliun) di Indonesia, naik 122 persen dari 2018.

Belanda tak termasuk yang galak menghadang ekspor minyak sawit (dan derivatifnya) dari Indonesia ke Uni Eropa. Sejarah mencatat, para peneliti Belanda yang membawa sawit ke Indonesia di akhir abad 19. Kini, mereka lebih mengedepankan dialog tentang sawit yang lebih ramah lingkungan.

Sikap positif yang ditunjukkan oleh komunitas sosial-budaya dan komunitas bisnis di kedua negara tentu bisa menjadi modal bagi hubungan ke depan yang semakin menguntungkan kedua belah pihak. Maka, kunjungan Pangeran Willem dan Ratu Maxima ke Indonesia itu juga mempertemukan banyak proposal bisnis. Raja Willem dan Ratu Maxima juga terlihat menikmati kunjungannya ke Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan kawasan Danau Toba.

 

Penulis: Putut Tri Husodo
Editor: Ratna Nuraini/Elvira