Arus listrik 55 MW (Megawatt) telah mengalir dari perut bumi Gunung Patuha di Cicidey, Kabupaten Bandung, sejak 2014. Itu tahap I, dan investasinya Rp1,2 triliun. Tahap II pun kini mulai digarap. Targetnya, pada 2023 ada 55 MW tambahan lagi dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Patuha. Biayanya USD179 juta. Selesai? Tidak. Di Gunung Patuha masih tersedia potensi panas bumi untuk dikembangkan sampai 400 MW.
Jawa Barat dianugerahi alam indah yang kaya potensi energi geotermal. Yang sudah dikembangkan di Kabupaten Bandung-Garut ialah PLTP Darajat, PLTP Kamojang, PLTP Karaha Bodas, PLTP Wayang Windu, PLTP Patuha, dan di Bogor-Sukabumi ada PLTP Gunung Salak. Di luar Jawa Barat, PLTP ada di Sumatra Utara, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Flores. Kapasitas terpasang 2.000 MW di 13 lokasi. Kontribusinya terhadap produksi listrik nasional sekitar 3 persen.
Secara global, pemanfaatan PLTP memang masih rendah. Yang tertinggi Islandia, yang kontribusinya hampir 30 persen. PLTP di Filipina, Selandia Baru, dan Kenya menyumbang 10-11 persen dari produksi listrik nasionalnya. Namun dengan produksi di atas 2.000 MW, Indonesia adalah penghasil listrik geotermal terbesar kedua di dunia setelah Amerika. Indonesia akan terus memanfaatkannya untuk menghasilkan listrik hingga 7.000 WM sebelum 2030. Harganya pun kian kompetitif.
Produk PLTP Dieng, Jawa Tengah, misalnya dijual ke PLN dengan harga USD6,95 sen per KWH dan PLTP Patuha USD6,82 per KWH. Level itu sudah setara dengan listrik tenaga air, dan tak tergolong harga listrik subsidi. Memang, tidak semurah listrik dari hasil pembakaran batubara, tapi jauh lebih murah dari listrik tenaga matahari atau tenaga angin.
Renewable energy memang menjadi tujuan bersama masyarakat global. Memanen energi matahari menjadi pilihan di banyak negara, terutama di Amerika Serikat (AS), Kanada, Tiongkok, dan negara-negara Eropa Barat. Kincir angin juga menjadi sumber energi listrik yang kompetitif di bagian Barat Tiongkok. Namun, di negeri vulkanis dan tropis basah seperti Indonesia, geotermal, dan tenaga air lebih menjanjikan.
Sejauh ini, dunia masih ditopang energi listrik hasil pembakaran fosil, yakni BBM (bahan bakar minyak), gas bumi, dan batubara. Begitu pula untuk energi transportasi. Konsumsi bahan bakar fosil selama sekitar 150 tahun terakhir itu telah secara signifikan meningkatkan konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya dalam atmosfir bumi.
Temperatur bumi dan air laut meningkat. Semakin besar uap air bertumpuk di udara, pola sirkulasi udara dan air laut bergeser. Pola iklim berubah. Topan badai makin merajalela. Banjir dan longsor dimana-mana. Kebakaran hutan dan lahan, pencemaran air dan udara, kerusakan elemen-elemen alam yang terus-menerus, dianggap ikut memicu munculnya mutan-mutan virus penyakit seperti MERS, SARS, Flu Burung, dan belakangan Covid-19.
Badai Covid-19 kali ini membuat isu energi terbarukan menjadi penting. Banjir minyak murah yang digelontorkan Maret 2020 oleh Arab Saudi pun disambut dingin oleh pasar. Energi terbarukan pun dipandang sebagai salah satu jalur mitigasi untuk menyelamatkan planet bumi dari kerusakan yang makin parah. Indonesia termasuk negara yang bergairah memanfaatkan kekayaan geotermalnya.
Kekayaan sumber daya geothermal di Indonesia cukup melimpah. Ada potensi geotermal di 312 unit lapangan. Potensi seluruhnya lebih dari 11 ribu MW. Belum 20 persen yang termanfaatkan. Karena itulah pembangunan PLTP terus digenjot di berbagai tempat. PLTP Patuha I, misalnya, dengan daya 55 MW dapat menghasilkan 441 GWh (Gigawatt jam) pada 2019, bisa untuk mencukupi kebutuhan listrik 60 ribu rumah tangga.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Indonesia 2019
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1584504151_energi_panas_bumi.jpg" />
Sumber : Direktorat Panas Bumi Kementerian ESDM.
Beberapa PLTP lain memiliki daya yang lebih besar. PLTP Sarula di Sumatra Utara berkapasitas 330 MW. Di Jawa Barat, PLTP Gunung Salah menghasilkan daya 377 MW, PLTP Wayang Windu 227 MW, PLTP Kamojang 235 MW, dan PLTP Darajat 270 MW.
Manfaat PLTP untuk mengurangi tekanan perubahan iklim cukup nyata. PLTP Patuha I yang dikelola PT Geo Dipa Energi (GDE), perseroan dengan pemegang saham terbesarnya Pemerintah RI, berhasil membukukan kredit karbon sebesar 377 ribu ton gas rumah kaca setara CO2. Artinya, bila listrik 55 MW itu diproduksi dengan bahan bakar fosil, ia akan menghasilkan cemaran CO2 377 ton per tahun. Potensi cemaran itu dihilangkan oleh pemanfaatkan panas bumi.
Di Indonesia sumber panas bumi itu berasal dari uap air yang dibor lebih dari 1.000 ke dalam perut bumi. Air yang berada dalam kantung reservoar itu berubah menjadi uap akibat pemanasan batuan keras di bawahnya yang secara permanen dipanggang oleh magma bumi. Temperatur uap air dapat mencapai suhu di atas 30 derajat Celsius. Namun, di Indonesia temperatur uapnya umumnya antara 125-225 derajat Celsius.
Melalui pipa-pipa logam, uap panas itu masuk ke dalam instalasi pemindah termal. Kalor uap air digunakan untuk memanaskan dan menguapkan senyawa karbon ringan Isobutana. Ia pun berubah menjadi gas panas tekanan tinggi. Gas itu dialirkan untuk memutar turbin, lantas putaran turbin menghasilkan listrik. Kemudian, uap yang sudah mendingin dan kembali menjadi air itu diinjeksikan kembali ke reservoar. Tak ada yang hilang. Lestari sampai akhir zaman.
Sukses mengoperasikan PLTP Patuha I (55 MW) dan merevitalisasi PLTP Dieng (66 MW), PT Geo Dipa pun siap mengembangkan Patuha II dan PLTP Cadradimuka juga di sekitar Dieng. Dari Patuha I saja, perseroan ini dapat membagikan bonus sebesar Rp11,5 miliar ke Pemkab Bandung, untuk periode 2014-2019, dan Rp3,1 miliar lainya ke warga Patuha sebagai CSR (corporate social responsibinity). Dana CSR itu digunakan untuk pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
Bila masyarakat pintar dan berdaya, mereka tak akan melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam di sekitarnya. Gunung Patuha akan lestari dengan segala sumber daya alamnya. Itu sumbangan penting agar Ibu Bumi tak semakin sakit, merana, dan mereproduksi bencana.
Penulis: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini