Di tengah badai Covid-19 saat ini, pemerintah mencabut kewajiban penggunaan kapal nasional untuk ekspor batu bara dan Crude Palm Oil (CPO). Dengan demikian, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 yang memberikan kewajiban tersebut, dicabut setidaknya untuk sementara waktu. Regulasi itu dinilai bisa menghambat upaya pemerintah mendorong ekspor guna menopang kegiatan ekonomi yang terdampak oleh pandemi.
Padahal sebelum meledak wabah Covid-19 pun ekonomi dunia sudah mengalami pelambatan, antara lain, akibat perang dagang AS-Tiongkok. Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service sempat mengajukan proyeksi pertumbuhan 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia G-20 minus 0,5 persen sepanjang tahun ini. Pandemi Covid-19 tentu membuat pukulan lebih berat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui adanya situasi sulit ini. Pelambatan global yang disusul dengan dampak corona ini, menurut dia, hanya bisa mengungkit ekonomi RI 4,5 persen. Itu prediksi optimistis. Bila pandemi kian menjadi-jadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan tak mungkin bisa lebih rendah lagi. Maka segala upaya mempertahankan denyut ekonomi tentu perlu didukung.
Di sinilah regulasi dalam Permendag No. 82/2017 menjadi isu penting. Munculnya Permendag itu untuk memberdayakan armada angkutan laut domestik terutama untuk dua komoditas unggulan, batu bara dan CPO. Permendag No. 82/2017 tadi diteken Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat Enggartiasto Lukita pada 26 Oktober 2017 dan berlaku per 26 Oktober 2018.
Peraturan itu kemudian direvisi lagi menjadi Permendag No. 80 Tahun 2018 dan berlaku per 1 Mei 2020. Seperti disebutkan pada Pasal 1, pengusaha yang mengekspor batubara dan/atau CPO wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan angkutan laut yang dikuasai Perusahaan Angkutan Laut Nasional; dan
b. menggunakan asuransi dari perusahaaan perasuransian nasional atau konsorsium perusahaan perasuransian nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peniadaan Permendag itu telah terkonfirmasi dari pernyataan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menurutnya, Permendag yang mewajibkan menggunakan kapal nasional telah dicabut. Awalnya, katanya, aturan ini dibuat dengan maksud untuk meningkatkan investasi di perkapalan dalam negeri. “Memang dulu, pada 2017, ini dimaksudkan agar pelaku usaha kapal dalam negeri melakukan investasi. Namun realitasnya tidak terjadi, sehingga mengganggu ekspor,” ujarnya.
Luhut pun menekannya bahwa kegiatan ekspor tidak boleh terganggu. Bahkan, dia menceritakan, soal permendag itu juga sempat dibahas dalam rapat terbatas dengan presiden dan diputuskan untuk dicabut. Dua komoditas yang wajib menggunakan angkutan pelayaran dalam negeri adalah komoditas batu bara dengan pos tarif/HS 27.02- 27.08 dan CPO. Bisa jadi, lahirnya permendag itu bertujuan agar pelaku usaha, di bidang pelayaran nasional, bisa menikmati kue ekonomi dari dua komoditas unggulan negara tersebut.
Yang jelas, seperti disampaikan Menko Luhut Binsar Panjaitan, kegiatan ekspor impor tidak boleh terganggu, sehingga dalam rapat terbatas dengan presiden diputuskan agar Permendag tersebut dicabut. “Dengan demikian, kapal dari luar sekarang boleh mengangkutnya, agar tak mengganggu kegiatan ekspor,” ungkapnya.
Sebelum pernyataan itu terlontar dari Menteri Luhut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga sudah menyatakan permohonannya berkaitan dengan Permendag tersebut. Kementerian ESDM sudah berkirim surat ke Kementerian Perdagangan. Isi surat itu meminta agar ada fleksibilitas soal penggunaan kapal nasional, sehingga tidak terjadi keterlambatan pengiriman batu bara.
Target produksi
Batu bara adalah salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia. Kementerian ESDM menetapkan target produksi batu bara sebesar 550 juta ton pada 2020. Dari jumlah produksi itu, wajib pasok ke dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) sebanyak 155 juta ton selebihnya diekspor. Pada 2019 produksi batu bara mencapai 610 juta ton. Pencapaian itu setara dengan 124,74 persen dari Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2019 yang ditarget 489 juta ton.
Lalu bagaimana dengan CPO? Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi minyak sawit Indonesia mencapai 51,8 juta ton pada 2019, naik 9 persen dibandingkan dengan 2018. Dari total produksi itu, ekspor CPO dan produk turunannya sebesar 36,17 juta ton, tumbuh 4,2 persen dari 2018. Komposisi ekspor sawit itu terdiri dari ekspor produk olahan CPO sebesar 68 persen, CPO sebesar 20 persen, biodiesel sebesar 3 persen dan oleokimia 9 persen.
Dari gambaran itu, terlihat ada tren bahwa industrialisasi atau hilirisasi produk sawit ini cukup sukses. Persoalannya, ekspor dua unggulan itu—batu bara dan CPO—kini terkendala dengan adanya wabah yang menyerang semua negara termasuk ke pasar utama dua komoditas itu.
Ketidaksiapan pelaku pelayaran nasional dalam memanfaatkan kebijakan penggunaan kapal yang dikuasai pelaku dalam negeri, mengakibatkan hal itu tak berjalan efektif. Bayangkan, armada kapal yang berbendera Indonesia yang berukuran 70.000 dead weight tonnage (DWT), utilisasinya tidak lebih dari 30 persen untuk muatan batu bara.
Di sisi lain, pengusaha juga enggan berinvestasi untuk membangun kapal besar karena mahalnya biaya. Biaya pembangunan kapal dengan bobot 70.000 DWT tidak ringan, mencapai sekitar USD30 juta atau sekitar Rp450 miliar. Investasi sebesar itu baru bisa balik modal sekitar 15 tahun hingga 20 tahun.
Terlepas dari semua itu, Tiongkok sebagai pasar utama kini sudah mulai pulih, termasuk kegiatan ekspor impornya. Itu setelah mereka berhasil meredam wabah Covid-19, dengan menutup Kota Wuhan dan Provinsi Hubei, sebagai episentrum wabah. Ini tentunya menjadi kabar yang menggembirakan.
Langkah pemerintah untuk mencabut aturan itu sudah tepat dan patut diapresiasi di tengah kondisi saat ini. Pasalnya, pemerintah kini dihadapkan pada kondisi defisit transaksi berjalan atau current acount deficit (CAD) dan virus corona yang menekan ekonomi nasional.
Dengan kondisi itu, potensi ekspor batu bara dan CPO, yang terkait kepentingan negara menangguk devisa, tentunya tidak boleh terganggu oleh situasi pelayaran. Untuk kepentingan jangka panjang bagi ekonomi nasional, pembatalan permendag adalah langkah pahit yang terpaksa harus ditempuh. Kesempatan memberlakukan azas cabotage, yakni memberikan hak eksklusif bagi armada pelayaran berbendera Indonesia, ternyata menghadapi ketidaksiapan para pelaku usaha nasional menyediakan armada kapalnya. Hak eksklusif itu kini terpaksa ditiadakan untuk kepentingan yang lebih besar.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini