Di sela-sela situasi kesibukannya dalam penangulangan wabah virus corona, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas tentang listrik negara. Selain menegaskan komitmen pemerintah atas subsidi serta tarif diskon listrik untuk pelanggan kecil, selama wabah berkecamuk, dalam rapat yang berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, itu presiden mengapresiasi kerja keras seluruh jajaran Kementerian ESDM, PLN, dan instansi lainnya sehingga pada 2020 ratio elektrifikasi pedesaan bisa mencapai level 99,48 persen.
Dengan capaian itu artinya 99,48 persen desa di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 72 ribu buah itu, sudah terkoneksi dengan pembangkit listrik, besar, kecil, atau mikro. Rasio ini meningkat sangat signifikan. Di 2014, rationya masih di posisi 84,3 persen. Capaian itu juga melampaui target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk 2015-2019 yang sebesar 96 persen.
Namun presiden mengingatkan, electricity access population Indonesia berada di peringkat ke-95, masih tertinggal dari Malaysia peringkat ke-87 atau Vietnam peringkat ke-84. Begitu pula, dari sisi electricity supply quality, Indonesia belum meraih posisi tinggi atau baru di peringkat-54. Sedangkan, Filipina 53, Malaysia 38, Thailand 31, dan Tiongkok 18. Artinya, listrik di sebagian desa Indonesia berfungsi sebatas penerangan dan penunjang telekomunikasi. Tapi, belum menjadi energi untuk produksi.
Saat ini, menurut presiden, di Indonesia masih ada 433 desa yang belum berlistrik. Memang, tidak seberapa dibanding jumlah desa yang ada. Desa yang belum berlistrik itu berada di empat provinsi, yakni di Papua 325 desa, Papua Barat 102 desa, NTT 5 desa, dan di Maluku 1 desa.
Tak semua listrik itu hasil pasokan PLN. Laporan akhir 2019 oleh Kementerian ESDM menyebutkan, listrik PLN telah masuk ke 74.430 desa. Namun, di luar itu ada 5.515 sumber listrik swadaya masyarakat setempat atau sumbangan lembaga filantropi untuk mengintroduksi atau menambah kapasitas listrik yang ada.
Dalam ratas itu Presiden menekankan beberapa hal. Pertama, untuk 433 desa yang belum berlistrik, agar diidentifikasi secara jelas untuk menentukan strategi pendekatan teknologi yang tepat apakah dengan ekstensi jaringan listrik ataukah dengan pembangunan minigrid seperti mikrohidro, PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), atau pun distribusi tabung listrik yang dilengkapi dengan stasiun pengisian energi listrik.
Yang kedua, siapkan anggaran, regulasi, dan kebijakan investasi yang diperlukan untuk mendukung program desa berlistrik ini. Ketiga, tidak cukup desa berlistrik saja tapi juga peningkatan akses warga terutama warga miskin dalam mendapatkan listrik.
“Terakhir, saya minta program listrik untuk desa ini bisa betul-betul memberikan nilai tambah bagi peningkatan produktivitas ekonomi di desa,’’ kata Presiden Jokowi.
Dengan demikian, program listrik desa itu perlu disambung dengan program pemanfaatan listrik secara efisien, produktif, terutama untuk pengembangan industri rumah tangga dan industri rumahan. ‘’Dengan adanya listrik, kita harapkan anak-anak bisa belajar di malam hari dengan penerangan yang cukup sehingga kualitas pendidikan kita juga semakin meningkat,” kata Presiden Joko Widodo.
Setelah acara ratas, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kepada wartawan mengungkapkan kendala saat melistriki 433 desa dalam 5 tahun terakhir. Di antaranya, infrastruktur, keamanan dan sumber-sumber energi yang akan digunakan sebagai pembangkit. “Memang dari sisa yang itu ada kendala seperti infrastruktur, bagaimana kita bisa masuk ke pelosok itu, bagaimana kita bisa memetakan lokasinya,” ujarnya, dikutip dari laman Setkab, Sabtu (4/4/2020).
Kendala lain, menurut Menteri ESDM, adalah keamanan. Karena sebagian desa ada di daerah rawan. Perlu dukungan aparatur keamanan untuk masuk ke desa-desa tersebut. “Kemudian juga kita harus mengidentifikasi sumber-sumber energi apa yang dipakai untuk bisa dijadikan pembangkitnya,” kata Menteri ESDM.
Secara umum, Kementerian ESDM bersama PLN telah memetakan lokasi, potensi sumber daya serta kebutuhan listrik setiap wilayah yang belum berlistrik tersebut. Pemerintah dan PLN sudah memiliki banyak alternatif untuk memanfaatkan sumber energi yang terbarukan. “Kemungkinan menambah pemasangan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Tapi, alat ini life time-nya hanya 3 tahun,” tambahnya.
Selain itu mereka juga akan melakukan terobosan atau inovasi nonkonvensional. Pertimbangan ini diambil mengingat sebagian lokasi wilayah timur itu belum memiliki infrastruktur lengkap sehingga membutuhkan dana besar dan waktu yang lebih lama. Untuk menarik jaringan baru ke desa-desa tersebut akan memakan waktu lama dan biayanya sangat besar.
Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan listrik desa-desa tersebut akan dilakukan dengan sejumlah inovasi, salah satunya tabung listrik (talis) yang memiliki umur pakai 15 tahun. Pembiayaan stasiun pengisian listrik adalah tanggung jawab PLN dengan total nilai proyek Rp735 miliar. Sementara itu, tabung listrik akan mendapatkan anggaran dari dana desa atau APBD, total nilainya Rp525 miliar.
“Kita tahu, medan di Papua sangat berat. Sebagian besar desa-desa itu berada di pegunungan ribuan meter,’’ kata Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini.
Tak ada jalan, tambah dia, tidak ada transportasi. Untuk itu, PLN menggunakan pendekatan spatial optimization dan pattern recognition. Dengan cara itu, ada pemanfaatan sumber energi setempat. Untuk menyimpannya, PLN berinovasi menggunakan tabung listrik atau talis. “Mirip powerbank, tapi bisa untuk menerangi satu rumah, karena talis ini konsepnya memang berukuran portabel yang bisa ditenteng,” tutur Zulkifli.
Tabung listrik sendiri merupakan inovasi lanjutan kerja sama PLN dengan lima perguruan tinggi yaitu UI, ITB, IPB, UGM, dan Universitas Cendrawasih, yang pada 2019 meluncurkan program Papua Terang. Program tersebut melibatkan 500 mahasiswa dari lima perguruan tinggi tersebut. Talis adalah hasil inovasi tahap berikutnya yang dikembangkan dari program tersebut.
Talis berupa tabung listrik mungil berbobot sekitar 5 kilogram. Tabung ini bisa menampung energi listrik sebesar 300 watt hour (Wh) hingga 1.000 Wh. Penggunaannya cukup mudah, pemilik hanya tinggal memilih sistem AC atau DC dan tinggal dihubungkan dengan kabel ke bolam lampu. Jika daya listriknya sudah habis, pemilik bisa men-charge ulang di PLTS, mikrohidro, pikkohidro, PLTA, ataupun pembangkit listrik biomassa, yang terdekat.
Dengan menggunakan talis, masyarakat di daerah terpencil itu bisa berhemat dalam pemasangan jaringan kabel karena biaya pembelian dan pemasangan listrik dengan talis hanya sekitar Rp3,5 juta. Jika menggunakan kabel konvensional tarifnya biasa lebih dari Rp4 juta. Beberapa pihak siap mendukung program ini. TNI menyatakan siap melakukan pengawalan untuk pelaksanaan program ini. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes dan PDTT), Pemprov Papua, dan Pemprov siap membantu pengadaan talisnya. Pemerintah pusat dan PLN kebagian urusan pembangkit tenaga listriknya yang permanen.
Untuk memastikan ketersediaan anggaran, lanjutnya, Kemenkeu akan menjadikan Program Listrik Perdesaan masuk dalam APBN melalui Kementerian BUMN. Sedangkan Kementerian BUMN memastikan adanya tata kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaannya. Program ini juga didukung oleh Kantor Staf Presiden, Sekretariat Kabinet, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian ESDM.
“Begitu situasi pandemi Covid-19 sudah normal, kami akan segera mengeksekusinya,” kata Direktur Utama PLN itu.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor : Putut Trihusodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini