Kawasan pesisir dan pantai merupakan salah satu bagian terpenting dari geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan. Badan Informasi Geospasial menyebut, Indonesia memiliki 108.000 kilometer persegi (km2) garis pantai dan pesisir serta memegang peranan penting dan strategis. Pantai merupakan wilayah interaksi atau peralihan antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri unik. Meski hanya mencapai 8 persen dari seluruh muka bumi, tetapi ekosistem pantai dan pesisir Indonesia menyumbang sekitar 25 persen dari produk biologis global.
Salah satu ekosistem di pesisir dan pantai itu adalah mangrove. Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau dan air laut. Di Indonesia, hutan mangrove tumbuh di sekitaran daerah pasang surut pantai berlumpur, teluk dangkal, esturia, dan delta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, yakni mencapai 202 jenis tumbuhan mangrove dengan 89 spesies. Termasuk rumah bagi setidaknya 27 jenis ikan dan 4 jenis udang dan kepiting bernilai ekonomis tinggi. Mangrove juga menjadi sarang bagi berbagai satwa burung, primata, dan reptil.
Menurut data Peta Mangrove Nasional 2019, Indonesia memiliki 3,31 juta hektare (ha) luasan mangrove dengan 2.673.583 ha dalam kondisi baik dan 637.624 ha dengan kerapatan jarang. Hutan mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon atau sepertiga stok karbon pesisir global. Indonesia adalah rumah bagi 20 persen dari vegetasi mangrove dunia yang mencapai 15,2 juta ha.
Pemanfaatan hutan mangrove sejak beberapa tahun terakhir ini yang dilakukan secara terus menerus dan masif telah mengurangi luasan dan populasinya. Konversi hutan mangrove menjadi lahan permukiman, tambak, dermaga, dan pelabuhan serta tindakan lainnya. Tak sedikit pula dari masyarakat yang mengambil akar mangrove untuk dijadikan kayu bakar, bahan bangunan, dan lainnya.
Hal ini menyebabkan laju perusakan mangrove mencapai 52.000 ha per tahun. Kondisi ini tidak dibarengi dengan laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove baru yang lebih lambat jika dibandingkan dengan laju perusakannya.
Berkurangnya luasan hutan mangrove secara garis besar disebabkan oleh ulah manusia. Jika dilihat dari dampak kerusakannya berakibat rusaknya biota laut, terancamnya permukiman nelayan, suramnya mata pencarian para nelayan, dan menimbulkan abrasi pantai secara luas.
Padahal hutan mangrove punya karakteristik mampu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan alam di kawasan pantai. Selain itu dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang tak seragam. Mangrove juga mampu menahan lumpur sehingga mempercepat munculnya tanah timbul, perangkap zat-zat pencemar dan limbah serta mencegah intrusi air laut ke darat. Mangrove juga berfungsi sebagai kawasan pemijahan (spawining ground) dan berkembang biak (nursery ground).
Mangrove Rusak
Berdasarkan data Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 1980-an provinsi ini masih memiliki 112.577 ha lahan mangrove yang tersebar dari pesisir barat di Kabupaten Pangkep, Maros, Takalar, hingga ke Timur meliputi Sinjai hingga Luwu Raya. Kini luasan itu hanya bertahan di angka tak lebih dari 22.353 ha.
Kehancuran mangrove bisa dilihat salah satunya di Desa Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di desa pesisir ini, terdapat hamparan mangrove yang menjorok hingga 3 km dari bibir pantai dan membentuk hutan hijau yang dijadikan wisata edukasi dengan populasi 100.000 pohon. Namun, pada awal Mei 2020, sekelompok oknum tak bertanggung jawab dari sebuah perusahaan pengembang lokal membabat sekitar 200 pohon bakau di hutan mangrove.
Perusakan lahan mangrove juga terjadi di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene dan Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang di Kabupaten Pangkep. Pangkep semula adalah rumah bagi 1.264 ha mangrove. Salah satunya sebanyak 74,64 ha berada di Tekolabbua dan Pundata Baji menguasai 522, 58 ha lahan hutan mangrove. Di tempat ini terjadi konversi hutan mangrove menjadi tambak secara besar-besaran dan tersisa tak lebih dari 40 persennya saja.
Organisasi World Wild Fund (WWF) Indonesia di Sulsel juga tak tinggal diam dengan mengajak pemerintah, masyarakat, dan kalangan kampus untuk peduli terhadap pelestarian mangrove.
Sepanjang 2017-2020, WWF Sulsel berhasil melakukan penanaman mangrove di 9 kabupaten/kota di sepanjang pesisir utara Sulsel. Jumlah bibit yang ditanam mencapai 128.685 bibit, dengan total mangrove yang tumbuh dengan baik mencapai 62 persen, atau sekitar 115.068 pohon.
Moratorium Demi Kelestarian
Moratorium hutan mangrove bisa menjadi pertimbangan untuk melestarikan vegetasi mangrove di Indonesia. Demikian dikatakan Virni Budi Arifanti, peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam sebuah diskusi online di Jakarta, Rabu (13/4/2020).
Pengelolaan mangrove sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove atau SNPEM. Tetapi implementasi di lapangan terkadang sulit karena banyak faktor termasuk ego sektoral karena untuk pelestarian mangrove perlu kerja sama antar kementerian dan instansi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan P3SEKPI di Delta Mahakam, Kalimantan Timur, mengenai emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan akibat konversi mangrove menjadi tambak yaitu akan menghasilkan 1.925 CO2 per ha per tahun atau jika dikonversi setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh 1,1 juta kendaraan per tahun. "Karena itu saya mengusulkan moratorium konversi mangrove. Konversi mangrove menjadi lahan tambak menduduki angka tertinggi dan menjadi penyebab utama deforestasi mangrove," kata Virni.
Yusran Nurdin Massa, peneliti senior dari Blue Forests mengatakan, kondisi mangrove di Indonesia saat ini berada dalam situasi yang mengkhawatirkan sehingga butuh upaya khusus untuk perlindungannya. “Kondisi mangrove di Indonesia kita mengalami tekanan yang cukup berarti, di mana sekitar 40 persen mangrove Indonesia hilang dalam tiga dekade terakhir. Tak sedikit yang diratakan dengan tanah dan berubah menjadi kawasan pergudangan seperti yang terjadi di Batam," kata Yusran.
Moratorium dan konservasi hutan mangrove berguna sebagai mitigasi bencana seperti mengurangi dampak terjangan tsunami ke daratan dan mencegah kenaikan level laut. Mangrove dengan sistem akar yang kompleks dan kuat dapat menahan gelombang tsunami atau ombak tinggi dan mengikat sedimen yang ada di ekosistem sekitarnya. Dengan kemampuan tersebut akan memberi nilai lebih bagi mangrove untuk menghadapi kenaikan air laut jika vegetasinya dalam kondisi utuh.
Selain itu penanaman mangrove dengan densitas hingga 3 ribu pohon per ha dengan lebar 200 meter dapat mengurangi gelombang tsunami 50-60 persen dan kecepatan tsunami 40-60 persen.
Mitigasi Perubahan Iklim
Di luar itu, konservasi mangrove juga memegang peranan teramat penting dalam mitigasi perubahan iklim. Langkah moratorium dan konservasi mangrove akan mengurangi 10-31 persen dari estimasi emisi tahunan dari sektor penggunaan lahan di Indonesia. Tidak hanya memberi keuntungan ekologis tetapi juga finansial. Restorasi lahan mangrove dapat dilakukan jika komponen lingkungannya mendukung, di mana mangrove mampu melakukannya sendiri dalam 10 tahun.
Pakar perubahan iklim kehutanan Daniel Murdiyarso mengatakan, mangrove memiliki kapasitas penyimpanan 1.500 ton karbon per unit area dengan 80 persen berada di dalam tanah. Angka itu tiga kali lipat dari yang mampu dilakukan oleh hutan daratan yang bisa menyimpan 300 ton dalam kondisi rimbun, kata peneliti senior di Center for Internation Forestry Research (CIFOR) ini.
Hal serupa dikatakan oleh Yusran dengan menyebutkan bahwa pentingnya mangrove dilestarikan karena peranannya yang sangat penting untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon atau sepertiga stok karbon pesisir global.
Sehingga, lanjutnya, penting untuk mengangkat isu blue carbon dalam kerangka pengendalian pemanfaatan ekosistem mangrove di Indonesia. Carbon sequestration mangrove lima kali lebih besar dari vegetasi hutan tropis. Apalagi carbon stock yang mencapai 10 kali lebih besar dari hutan tropis. Dengan potensi penyerapan karbon sebesar 1.025 Mq C per ha per tahun, mangrove vital perannya untuk isu pengurangan emisi karbon.
Daniel, guru besar Ilmu Atmosfer di Jurusan Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) menambahkan, konservasi hutan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim adalah penting di saat Indonesia ingin mencapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang dicanangkan lewat Persetujuan Paris untuk 2030 dalam upaya mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen lewat upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Jika saja Indonesia mampu memenuhi seperempat dari target 29 persen pengurangan emisi karbon NDC dengan upaya sendiri maka sudah berkontribusi besar bagi kelestarian mangrove di Tanah Air.
Oleh karena itu sangat penting dalam melestarikan hutan mangrove dengan memanfaatkannya secara baik dan mengelolanya sembari melindungi dan merehabilitasi yang rusak. Juga harus menguatkan pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola mangrove.
Penulis: Anton Setiawan
Editor : Eri Sutrisno
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini