Indonesia.go.id - Dari Indonesia untuk Paru-paru Dunia

Dari Indonesia untuk Paru-paru Dunia

  • Administrator
  • Jumat, 17 Juli 2020 | 03:54 WIB
PERUBAHAN IKLIM
  Hutan daratan Indonesia. Foto: Antara Foto/Raisan Al Farisi

Pemanfaatan nilai ekonomi karbon telah menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Butuh waktu 10 tahun untuk mendapatkan kredit karbon. Lewat pelbagai negosiasi, tahapan menyiapkan kelembagaan hingga pemantauan implementasi di lapangan, Pemerintah Indonesia akhirnya menerima pembayaran hasil kerja (result based payment/RBP) penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari Pemerintah Norwegia.  

Kredit karbon yang dikucurkan Norwegia pada tahun ini sebesar 530 juta Krona Norwegia atau sekira Rp813 miliar. Ini merupakan pembayaran insentif berbasis performa dari Kerajaan Norwegia yang pertama kepada Indonesia sebagai bagian dari perjanjian REDD+ yang disepakati oleh kedua negara tersebut pada 2010.

REDD+ atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), merupakan suatu kerangka kerja yang dibuat berdasarkan Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim.

Melalui kerangka ini, negara-negara maju memberikan insentif kepada negara-negara berkembang dalam upaya perlindungan hutan sebagai langkah mengurangi emisi gas rumah kaca. Pemberian insentif dari pemerintah Norwegia ini bukan sekadar menjamin peningkatan upaya perlindungan hutan di Indonesia, tetapi juga berpotensi meningkatkan kucuran dana bagi kegiatan REDD+ secara global.

Kredit karbon akhirnya dikucurkan sebagai buah dari keterlibatan Indonesia sejak menandatangi pakta Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) pada 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat.

Norwegia berkomitmen memberikan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) karena Indonesia berhasil menekan emisi gas rumah kaca (emisi karbon) sebesar 11,2 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2eq) periode 2016-2017.

Nilai Rp813 miliar itu merupakan perhitungan tim verifikator dengan mengkalikan 11 juta ton CO2eq dengan harga pasar karbon saat ini yakni Rp72.000 per ton.

Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon).

Pemanfaatan nilai ekonomi karbon telah menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Tentu ini merupakan kabar yang menggembirakan sebagai upaya mengurangi gas rumah kaca global. Harapannya, program Pemerintah Norwegia ini terus berlanjut.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, setelah pembayaran RBP pertama tersebut akan dilaksanakan pembayaran karbon untuk RBP berikutnya atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya.

Insentif mitigasi perubahan iklim dari Norwegia kepada Indonesia tersebut akan disalurkan kepada Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

 

Butuh Perpres

Pada Rapat Terbatas Kabinet di Jakarta, Senin (06/07/2020), Menteri LHK meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membuat kebijakan khusus terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas Perjanjian Paris pada 2016 menjadi 29% pada 2030 dan 41% dengan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan skema REDD+.

Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia. Kebijakan pengaturan Instrumen NEK akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta untuk mendukung pembangunan rendah emisi gas buang.

Sebagai salah satu negara dengan luas lahan hutan tropis dan lahan gambut terbesar selain Brasil dan Kongo, potensi karbon Indonesia sangatlah besar.

Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Kementerian LHK berbentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK.

Selain itu, perpres itu dibutuhkan juga untuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), result based payment (RBP) dan pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan instrumen pengendalian dan pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi).

Jika perpres ini telah disetujui maka KLHK akan mampu menyusun peta jalan ekonomi karbon untuk jangka panjang. Sebagai gambaran, saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta hektare (ha), dengan luas tutupan dominan di Sumatra sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha.

Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas seperti di Sumatra 9,60 juta ha dan di Kalimantan sebesar 8,40 juta ha. Kemudian untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar, seperti di Sumatra luas mangrove 666,4 ribu ha dan Kalimantan seluas 735,8 ribu ha.

Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan (aboveground biomass) sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove (termasuk soil karbon) adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, jika hutan Indonesia ini dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan, maka akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar.

Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK pernah menghitung potensi pendapatan Indonesia dari perdagangan karbon bisa mencapai Rp350 triliun. Perhitungan tersebut berasal dari perkiraan nilai karbon seluruh lahan gambut di tanah air sebesar Rp70 triliun, jika terus dipelihara dengan baik nilainya bisa lima kali lebih besar.

Pengelolaan dana karbon ini bisa dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun komunitas. Tentu saja hal ini nantinya akan diatur lebih detail di Perpres NEK.

Sejauh ini, Kementerian Keuangan dan Bappenas telah menghitung besaran biaya yang digunakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca bisa mencapai Rp250 triliun per tahun hingga 2030, sekitar 5% di antaranya berasal dari APBN. Secara nominal, anggaran perubahan iklim mengalami tren peningkatan sejak tahun 2016-2018 dengan alokasi mencapai Rp92,5 triliun per tahun atau 4,3% dari APBN per tahun.

Untuk itu, pemerintah memobilisasi sumber-sumber pembiayaan di luar APBN agar upaya pencapaian target tercapai untuk pengurangan emisi sebesar 29% tahun 2030 dan sebesar 41% penurunan emisi didukung kerja sama internasional.

Adapun inovasi pembiayaan perubahan iklim dilakukan melalui penerbitan Green Sukuk. Pada 2018 nilainya mencapai Rp16,75 triliun dan 2019 mencapai Rp11,25 triliun.

Alokasi pendanaan Green Sukuk pada 2019 adalah untuk sektor transportasi sebesar 49%, meningkatkan ketahanan iklim daerah rentan (11%), energi terbarukan (5%), efisiensi energi (27%), serta pengelolaan limbah untuk energi (9%).

 

Menahan Laju Deforestasi

Apa saja upaya Indonesia dalam menurunkan emisi GRK? Kebijakan paling terdampak dalam menahan laju deforestasi adalah Instruksi Presiden (Inpres) nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang juga dikenal sebagai kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut.

Inpres Moratorium tersebut lalu diperpanjang setiap dua tahun, 2013-2015-2017 hingga terakhir pada tahun 2019 melalui Inpres nomor 5 tahun 2019. Kebijakan ini diikuti dengan penentuan Satu Peta Indonesia. Kebijakan Satu Peta Indonesia diharapkan dapat mengurai persoalan tumpang-tindih izin pemanfaatan hutan dan konflik agraria.

Upaya lainnya adalah sejak periode pertama pemerintahan Joko Widodo, pemerintah bekerja keras untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta menguatkan penegakan hukum kehutanan. Titik-titik rawan karhutla selalu menjadi prioritas untuk diantisipasi serta ditangani secara cepat dan lintas sektoral.

Penurunan emisi GRK juga terkait dengan penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE). Oleh karena itu, pemerintah mendorong pemanfaatan pembangkit listrik tenaga bayu (angin) di Sulawesi Selatan. Menggiatkan kendaraan listrik untuk transportasi umum di kota-kota besar serta kawasan industri dan wisata. Membuat kebijakan bahan bakar biodiesel dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) secara bertahap dari B30 menjadi B100 dalam 10-15 tahun ke depan.

Satu hal, Kementerian LHK bersama instansi terkait lainnya juga telah membangun sistem untuk mengontrol dan memantau kadar emisi gas rumah kaca di seluruh daerah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak 2014 sampai 2019 terjadi penurunan luas deforestasi yang signifikan. Ketika 2014-2015 terjadi karhutla terparah di periode pemerintahan Jokowi, luas hutan berkurang 1.092.181,5 hektare (ha).

Kemudian tingkat penyusutan membaik menjadi 629.176.9 ha pada 2015-2016, lalu pada 2016-2017 menjadi 480.010,8 ha, pada 2017-2018 membaik lagi menjadi 439.439,1 ha dan terakhir pada periode tahun lalu 462.400 ha.

Berdasarkan konvensi perubahan iklim (UNFCC), Indonesia memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan 17,2%, sektor energi 11%, dan sektor limbah 0,32% serta sektor pertanian 0,13% serta sektor industri dan transportasi sebesar 0,11%. Dengan demikian, hutan Indonesia mempunyai kontribusi terbesar dalam menurunkan emisi GRK.

Menteri Siti Nurbaya menyebut keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017 di bawah komando pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mendapatkan pengakuan dunia.

Indonesia dinilai mampu menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai sumbangan bagi paru-paru dunia. Alhasil, atas keberhasilan tersebut Indonesia menerima insentif penurunan emisi GRK dari Norwegia.

Dalam perjanjian kerja sama bilateral Indonesia-Norwegia untuk menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan pada 26 Mei 2020, Norwegia berkomitmen menyiapkan dana 6 miliar Krona Norwegia atau setara Rp9,2 triliun.

 

 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini