Pada 1 Juli 2020, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) akhirnya bergulir kembali. RUU ini telah disepakati dalam pleno Baleg DPR RI. Keputusan tersebut didukung seluruh fraksi dengan beberapa catatan perbaikan. Dengan demikian, RUU ini akan bergulir menjalani tahapan legal menuju pembahasan di Badan Pekerja (BP) DPR RI.
Menurut mekanisme yang ada, setelah pleno pada awal Juli itu, pimpinan Baleg akan mengirimkan surat ke pimpinan DPR, dan meminta agar diagendakan dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus). Selanjutnya, keputusan rapat Bamus akan bergulir ke agenda paripurna yang terdekat. Bila paripurna menyetujui, rancangan RUU itu akan menjadi draf resmi DPR RI, dan selanjutnya akan dikirim ke pemerintah.
Tentu, pemerintah akan membahasnya lagi, sebelum nanti duduk bersama dengan DPR di BP RUU ini. Perjalanan masih panjang. Namun, setidaknya ada titik terang setelah 16 tahun RUU ini menunggu pembahasan serius.
Sejumlah kalangan menilai, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi kebutuhan yang mendesak dalam perlindungan pekerja. PRT adalah warga negara yang perlu perlindungan hukum. Tatanan sosial yang berlaku sering kurang berpihak kepada nasib mereka. Jumlah mereka cukup besar. Menurut survei tim dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah mereka 4,2 juta jiwa.
Wilayah kerja PRT bersifat domestik dan privat sehingga selama ini tidak ada kontrol dan pengawasan pemerintah. Padahal, mereka bekerja pada wilayah rawan dan rentan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Mereka berhak mendapat perlindungan layaknya pekerja lain karena melakukan tugas yang memenuhi unsur upah, perintah, dan pekerjaan.
Data ILO 2015 menyebutkan, ada tren jumlah PRT di dunia terus meningkat dari 33,6 juta (1995), 52,6 juta (2010), lalu 67,1 juta pada 2015. Dari keseluruhan, 83% PRT adalah kaum perempuan dan 41% PRT berada di Asia. ILO menemukan, ternyata PRT bekerja dalam kondisi kerja terburuk, karena jam kerja panjang, waktu istirahat tidak memadai, gaji rendah, tanpa hari libur mingguan, cuti, dan sebagainya. Sebagian besar PRT, terutama di Asia, tidak memiliki perlindungan hukum seperti pekerja formal lainnya
Dalam kertas kerja ILO yang dibagikan kepada DPR RI disebutkan, dalam analisis pengumpulan data ketenagakerjaan Sakernas dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2015 disebutkan bahwa pada 2008 terdapat 2,6 juta PRT dan 2015 jumlahnya naik menjadi 4 juta PRT. Mereka yang menginap (live-in) cenderung menurun, di 2008 sebanyak 1 juta dan menyusut pada 2015 menjadi 683 ribu.
Tidak ada perubahan yang signifikan dalam pola rasio seks. Pada 2008 ada 320 PRT perempuan per 100 PRT laki-laki, dan 2015 ada 292 PRT perempuan per 100 PRT laki-laki. Dari keseluruhan mereka, ada 23% PRT yang tergolong usia anak-anak.
PRT tergolong pekerjaan tertua dalam peradaban manusia. Jumlah PRT di Indonesia tergolong tertinggi di dunia. Dengan jumlah 4,2 juta dari sekitar 260 juta penduduk pada 2015, jumlah PRT di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Bandingkan dengan beberapa negara di Asia, yakni India 3,8 juta dan Filipina 2,6 juta. Mereka mayoritas perempuan (84%) dan anak (14%). Keduanya merupakan kelompok yang rentan eksploitasi, pelecehan seksual, kekerasan, dan risiko terhadap human trafficking.
Mereka merupakan kaum pekerja yang bergulat dalam situasi yang tidak layak, karena jam kerja panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat khusus, tak ada hari libur, tak ada jaminan sosial (kesehatan PBI dan ketenagakerjaan). Parahnya PRT tergolong angkatan kerja yang tidak diakui sebagai pekerja sehingga dianggap pengangguran. Mereka tidak diakomodir dalam Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan di Indonesia.
Pokok Pikiran
Dalam dokumen resmi yang disimpan dalam akun resmi DPR RI http://www.dpr.go.id/, ada sejumlah pokok pikiran yang tertuang dalam dokumen berjudul: Urgensi dan pokok-pokok pikiran pengaturan penyusunan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Disebutkan, pertama, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan sesuai dengan harkat, martabat, dan asasinya sebagai manusia sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Kedua, PRT selama ini melakukan pekerjaan dengan memenuhi unsur upah, perintah, dan pekerjaan, dengan demikian mereka berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan, sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya. Yang ketiga, diskiriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT dan pekerjaannya karena bias jenis kelamin, kelas, ras, sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomis dan rendah harus dihentikan.
Selain itu, diakui PRT berada pada situasi rentan sehingga sering terjadi eksploitasi serta kekerasan di tempat kerja yang merupakan wilayah domestik yang tak terjamah hukum. Oleh karena itu perlu perlindungan terhadap pekerja rumah tangga yang ditujukan untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pekerja rumah tangga dan kesejahteraan pekerja rumah tangga beserta keluarganya.
Di dunia, prinsip-prinsip tersebut sudah termaktub dalam prinsip fundamental Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Perlu digarisbawahi, CEDAW adalah sebuah perjanjian internasional yang ditetapkan pada 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tata aturan CEDAW itu juga masuk dalam Konvensi ILO. Yaitu, Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat, Konvensi ILO No.98 tentang Hak untuk Berunding dan Bernegosiasi, Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama untuk Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama, Konvensi ILO No. 111 tentang Nondiskriminasi, Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Kerja, Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT
Selain bisa menjamin pemenuhan hak-hak dasar pekerja rumah tangga dan kesejahteraan pekerja rumah tangga beserta keluarganya, aturan ini diharapkan juga menjamin perlindungan dan meningkatkan kualitas hidup, di antaranya PRT berhak atas pendidikan dan pelatihan. Dan adanya jaminan dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja.
Sementara itu, dalam pokok-pokok pikiran RUU ini, yang dinamakan PRT adalah orang yang bekerja pada pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan memperoleh upah. Adapun jenisnya dikelompokkan menjadi PRT paruh waktu dan PRT penuh waktu.
Dalam RUU PRT ini kelak hubungan kerja antara PRT dan majikan dibuat dalam perjanjian kerja tertulis. Perjanjian ini untuk mencegah pelanggaran hak-hak yang faktanya selama ini terjadi pada PRT yang bekerja di wilayah privat. Dalam pokok pikiran RUU disebutkan pula, PRT berhak atas Tunjangan Hari Raya (THR) sesuai dengan agama dan kepercayaannya. THR diberikan dengan besarannya sebesar sekurang-kurangnya 1x upah/bulan.
PRT berhak mendapatkan perlindungan batasan jam kerja. Waktu kerja dilakukan secara akumulatif sesuai dengan kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja. PRT berhak mendapatkan istirahat antara jam kerja. PRT berhak atas libur mingguan 24 jam/minggu yang teknisnya bisa sesuai kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja. Mereka juga berhak atas cuti tahunan 12 hari setiap tahunnya. Untuk jaminan kesehatan, PRT masuk sebagai penerima PBI dan jaminan ketenagakerjaan. Serta batas usia juga akan dibatasi, minimum PRT 18 tahun, dan untuk memberlakukan butuh masa peralihan.
RUU PRT pertama kali masuk dalam Prolegnas sejak 2004. Dan RUU ini sudah masuk di 3 periode masa bakti DPR-RI.
- Periode Masa Bakti Tahun 2009-2014 RUU PPRT masuk Prioritas Tahunan dari 2010, 2011, 2012, 2013, 2014.
- Sejak 2010 RUU PPRT masuk dalam pembahasan Komisi IX DPR RI
- Tahun 2010-2011 DPR RI Komisi IX melakukan riset di 10 Kabupaten/Kota
- Tahun 2012 Komisi IX melakukan uji publik pada 3 kota, di antaranya Makassar, Malang, dan Medan.
- Tahun yang sama – 2012 dilakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina
- Tahun 2013 Komisi IX menyerahkan draft RUU PPRT ke Baleg DPR RI
- Tahun 2014 berhenti di Baleg DPR RI
- Masa Bakti Periode 2014-2019 masuk dalam Prolegnas (waiting list)
- Masa Bakti Periode 2019-2024 masuk lagi dalam Prolegnas
- Masuk RUU Prioritas 2020.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini