Rencana pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) digital bakal tak berjalan mulus seperti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) digital yang telah berlaku efektif per 1 Juli 2020.
Langkah maju pemerintah dengan memasukkan skema pengenaan PPh bagi perusahaan digital (over the top/OTT) asing dalam Pasal 6 UU Nomor 2/2020 harus terkendala akibat adanya penolakan keras dari Pemerintah AS.
Negeri Paman Sam itu berencana yang akan melakukan investigasi terhadap Indonesia terkait dengan skema pengenaan PPh digital. Mereka keberatan terhadap rencana penerapan PPh digital yang dinilai tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan asal AS.
Pemerintah Indonesia pun akhirnya menyampaikan komentar resmi bahwa terbuka ruang dialog dengan semua pemangku kepentingan terkait konsep kebijakan pengenaan digital service tax (DST) atau pajak transaksi elektronik (PTE) yang sesuai yang tercantum dalam UU.
Bisa jadi sikap pemerintah tersebut dinilai sebagai bentuk kehati-hatian dan terbukanya pintu negosiasi melalui saluran diplomasi. Selain itu, penerapan PTE masih membutuhkan ketentuan pelaksana, pemerintah juga masih menunggu hasil konsensus global dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk pemajakan ekonomi digital.
Pencapaian konsensus global sejauh ini cukup alot dan berpotensi molor. Di sisi lain, desakan penerapan PPh digital kian kuat dari kalangan pelaku usaha domestik juga perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, jangan sampai pasar besar negara ini hanya jadi obyek keuntungan bagi pelaku asing.
Dongkrak Penerimaan
Apalagi, penerapan PPh digital diyakini mampu menggairahkan pemain lokal karena menciptakan level playing field yang seimbang. Tak dipungkiri, dalam situasi pandemi saat ini yang membuat konsumsi layanan digital meningkat, pengenaan PPh digital menjadi mendesak dalam rangka mendongkrak penerimaan pajak yang sedang seret.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menepis rencana penerapan pajak digital di Indonesia dipermasalahkan oleh pemerintahan AS. "PPN bukan subjek dari suratnya USTR (United States Trade Repsentative). Yang dipermasalahkan USTR itu adalah PPh (Pajak Penghasilan), yang ini merupakan subjek dari pembicaraan di OECD mengenai bagaimana perusahaan membagi kewajiban pajak penghasilannya antaryurisdiksi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (16/6/2020).
Berkaitan dengan dengan surat USTR tersebut, Sri Mulyani menuturkan, ini akan menjadi pembahasan secara bilateral ataupun secara bersama-sama. "Untuk kepentingan bersama, kalau bisa aturannya sama untuk seluruh dunia. Jangan sampai ke Inggris begini, ke Prancis begini."
Benar, Pemerintah AS melalui USTR pada 2 Juni 2020 mengumumkan mereka akan memulai investigasi berkaitan dengan pengenaan pajak digital sebagai pengenaan yang tidak adil kepada partner dagang. Landasan yang digunakan negara itu mengacu kepada Pasal 301 Perundangan Perdagangan 1974.
Seperti dikutip dari USTR.gov, UU memberikan USTR wewenang yang luas untuk menyelidiki dan menanggapi tindakan negara asing yang mungkin tidak adil atau diskriminatif serta memberikan dampak negatif bagi perdagangan AS.
“Presiden Trump sangat prihatin, banyak mitra dagangnya mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil. Kami siap untuk mengambil semua tindakan yang sesuai untuk membela bisnis dan pekerja kami terhadap segala diskriminasi semacam itu," kata pejabat USTR Robert Lighthizer.
Wajar saja AS bereaksi demikian. Di era perdagangan lintas negara yang sudah cenderung tidak mengenal batas-batas wilayah, perusahaan asing menilai potensi pasar Indonesia sangat luar biasa.
Bayangkan, dari total penduduk Indonesia yang kini sudah mencapai 265,16 juta jiwa, sebanyak 64,8% penduduknya sudah melek internet, atau setara dengan 171,17 juta orang. Dari total itu, 93,9 persen menggunakan gadget smartphone untuk pirantinya. Sisanya baru perangkat lainnya, seperti PC atau desktop.
Oleh karena itu, wajar satu studi pernah memberikan prediksi pasar digital ekonomi Indonesia berpotensi bisa mencapai USD100 miliar pada 2025 dari USD27 miliar pada 2018. Dan, itu artinya ada peluang lapangan kerja dan lebih banyak lagi pilihan konsumen melalui piranti terutama bagi generasi muda yang melek terhadap teknologi.
Sebelum beranjak lebih jauh, kita bahas poin penting di UU No. 2/2020 soal Pajak Digital. Di regulasi itu disebutkan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Berikutnya, penetapan sebagai bentuk usaha tetap tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau PPMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, tetap dikenakan PTE.
UU itu juga menyebutkan PTE dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PMSE kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui PPMSE luar negeri.
Selain itu, disebutkan PPh atau PTE dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan atau PPMSE luar negeri.
UU itu menyebutkan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau PPMSE luar negeri dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang terutang dan/atau untuk memenuhi kewajiban PPh atau PTE.
Selanjutnya regulasi itu menyebutkan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan PPh dan PTE diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Dalam kasus menghadapi ancaman dari negara adikuasa itu, Indonesia sebenarnya tidak sendirian. Ada beberapa negara lain yang juga menghadapi kondisi serupa, seperti Brasil, Austria, India, Inggris, Italia, Turki, hingga Spanyol.
Terdengar cukup aneh, negara besar seperti AS merasa terdiskriminasi oleh negara-negara kecil. Namun, konsekuensi juga tetap perlu diantisipasi Pemerintah Indonesia, bila hasil investigasi yang dilakukan Pemerintah Trump memutuskan yang tidak menguntungkan, tentu akan memberikan dampak yang negatif, bisa berupa retaliasi dagang atau sanksi ekonomi ‘suka-suka’ lainnya.
Pintu negosiasi tetap perlu dikedepankan tanpa mengurangi tujuan yang pemerintah inginkan. Sebagai negara yang memiliki pergaulan di dunia internasional, sudah sewajarnya Indonesia lebih mengedepankan dengan membuka ruang dialog berkaitan skema fiskal digital ini.
Yang jelas, jalan tengah Pemerintah Indonesia yang membuka ruang dialog tentu patut didukung. Apalagi, nantinya pengenaan tax right itu menjadi konsensus global meskipun sebagai bagian masyarakat global persoalan pajak digital itu tetap harus dimusyawarahkan secara multilateral.
Dengan dialog, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya berharap ada titik temu agar tidak dirugikan. Namun, semua tidak mudah karena jalan diplomasi juga masih sangat terjal.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini