Tuntas sudah perundingan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Buah manis dari perundingan yang panjang pun dinikmati Indonesia, Kini Indonesia kembali memperoleh kesempatan memperpanjang fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat.
Ini tentu menjadi angin segar bagi sektor perdagangan nasional. Setidaknya, melalui fasilitas itu nilai perdagangan kedua negara akan terdongkrak, di tengah tekanan akibat pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda bakal melandai.
GSP adalah fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974. Indonesia, salah satunya. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada 1980. Bagi negara-negara berkembang, GSP merupakan fasilitas yang sangat bernilai sehingga negara-negara itu sangat bergantung pada fasilitas tersebut.
Namun, fasilitas tidak bisa dinikmati terus menerus dan ada evaluasinya. Nah, ketika Negeri Paman Sam melakukan peninjauan, diperpanjang atau dihentikan, umumnya negara-negara penerima fasilitas tersebut akan berjuang agar fasilitas tetap diperoleh.
Caranya bagaimana? Ya bernegosiasi atau melakukan lobi. Apalagi, fasilitas itu tak memberikan syarat atau ikatan khusus, baik bagi negara penerima fasilitas maupun pemberinya. Negara pemilik program GSP bisa bebas menentukan negara mana dan produk apa yang akan diberikan pemotongan bea masuk impor.
Dalam konteks Indonesia, evaluasi fasilitas GSP itu telah dilakukan sejak 2018 oleh Pemerintah AS. Indonesia pun tak ingin fasilitas itu lepas, makanya lobi atau negosiasi gencar dilakukan dan, itu sudah berlangsung selama 2,5 tahun,
Hasil lobi akhirnya berbuah manis. Diplomasi yang panjang menemukan ujungnya. Pemerintah AS memperpanjang fasilitas GSP untuk Indonesia. Indonesia berpeluang mendongkrak produk ekspornya ke Negeri Paman Sam tersebut.
Dalam konteks pemberian fasilitas GSP ini, ada 21 negara penerima fasilitas instrumen perdagangan AS tersebut. Dari 21 negara, empat negara tercatat yang menikmati manfaat terbesar. Selain Indonesia, negara lainnya adalah India, Thailand, Brasil, dan Afrika Selatan mulai 2011.
Berkaitan dengan perpanjangan fasilitas GSP itu, Pemerintah Indonesia menyambut baik perpanjangan tersebut. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan perpanjangan fasilitas itu akan membantu meningkatkan kinerja ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.
Banyak spekulasi di tengah perpanjangan fasilitas GSP. Pertama, konstelasi perdagangan dunia sedang berada di tengah ketidakpastian pascaterjadinya wabah pandemi yang melanda masyarakat secara global.
Kedua, hubungan dua raksasa ekonomi dunia, AS dan Tiongkok, masih memanas. Di tengah kondisi itu tentu kedua superpower ekonomi dunia itu saling berebut pengaruh.
Di sisi lain, sikap politik dan ekonomi Indonesia yang tetap menganut prinsip bebas dan aktif dalam pergaulan internasional sangat menguntungkan posisi negara tersebut, termasuk hubungannya dengan AS.
Wajar saja bila pengumuman perpanjangan GSP oleh AS dibuat hanya berselang sehari usai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Jakarta, Kamis (29/10/2020).
“Perpanjangan fasilitas GSP yang diberikan AS itu menunjukkan tingginya kepercayaan Pemerintah AS terhadap berbagai perbaikan regulasi oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka menciptakan iklim bisnis dan investasi yang lebih kondusif di tanah air,” ujar Duta Besar Indonesia untuk AS Muhammad Lutfi, dalam konferensi pers virtual, Senin (2/11/2020).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor Indonesia dengan pemanfaatan GSP hingga Agustus 2020 nilainya mencapai USD1,9 miliar, atau naik 10,6 persen secara year on year (yoy), atau menduduki peringkat kedua setelah Thailand.
Posisi Indonesia itu naik satu peringkat dibandingkan pencapaian pada 2019. Posisi pertama tetap diduduki Thailand. Nilai ekspor Negeri Gajah Putih tercatat mencapai USD4,82 miliar. Berikutnya, India (USD2,86 miliar), Indonesia (USD2,70 miliar), Brazil (USD2,27 miliar), dan Filipina (USD1,87 miliar).
Menurut Duta Besar RI untuk AS Mohammad Lutfi, Indonesia berpeluang menggeser Thailand sebagai negara pengguna fasilitas GSP terbesar menyusul dicabutnya sebagian fasilitas tersebut untuk Negeri Gajah Putih itu.
Masih dari informasi yang disampaikan Lutfi, Pemerintah AS telah mencabut fasilitas preferensi umum atau GSP pada 804 pos tarif produk Thailand. Jumlah tersebut setara dengan nilai USD2,4 miliar atau 50 persen dari total nilai ekspor Thailand yang menggunakan fasilitas keringanan bea masuk.
“Di tengah Indonesia mendapat kepastian kembali mendapat fasilitas GSP, Thailand justru kehilangan fasilitas untuk 804 pos tarif atau setara dengan USD2,4 miliar atau 50 persen dari fasilitas yang mereka nikmati selama ini,” kata Lutfi
Dalam pandangan wakil Indonesia di Washington itu, produk Indonesia yang bisa digenjot ekspornya dengan memanfaatkan fasilitas ini adalah produk suku cadang otomotif, panel elektronik, porselen, dan perhiasan. Pasalnya, produk tersebut sebelumnya banyak diekspor oleh negara-negara yang kini kehilangan eligibilitas sebagai penerima GSP seperti India dan Turki.
Selain produk otomotif, peluang peningkatan ekspor juga datang untuk produk kayu dan furnitur. Indonesia bisa memanfaatkan momentum terganjalnya akses Vietnam setelah Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) memulai penyelidikan penggunaan kayu ilegal pada produk yang diekspor ke AS.
“Dalam satu sampai dua tahun mendatang ekspor furnitur kita bisa tumbuh karena pesaing kita di Asean dituduh melakukan undervaluation mata uang dari kayu ilegalnya,” ujar Lutfi.
Produk furnitur dan kayu masuk dalam 10 besar ekspor RI yang menggunakan fasilitas GSP. Sepanjang Januari-Agustus 2020, ekspor furnitur yang memanfaatkan GSP naik 221 persen menjadi USD243,1 juta dan ekspor produk kayu naik 75,8 persen menjadi USD168,1 juta.
Sejumlah peluang sudah tersedia di depan mata. Seluruh pemangku kepentingan perlu kerja keras agar kemudahan itu, termasuk fasilitas GSP AS, dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku ekonomi dalam negeri untuk meningkatkan akses produk Indonesia ke pasar AS. Semoga.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri hudoso/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini