Pencanangan Indonesia secara resmi sebagai kandidat tuan rumah Olimpiade seperti diumumkan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (6/10/2020), merupakan sebuah loncatan besar bagi kemajuan dunia olahraga di tanah air.
Olimpiade adalah salah satu cara untuk menaikkan citra dan martabat bangsa di mata internasional. Bukan sebaliknya, pamer diri atau sekadar gagah-gagahan. Itulah yang dilakukan Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Tiongkok ketika terpilih sebagai tempat penyelenggara Olimpiade.
Jepang telah menjadi pembuka jalan bagi bangsa-bangsa di Asia untuk mewujudkan mimpi sebagai pelaksana Olimpiade. Saat pertama kali menggelar Olimpiade pada 1964, dengan Tokyo sebagai kota pelaksana, Jepang menunjukkan diri mampu bangkit dari keterpurukan akibat Perang Dunia II.
Dunia dibuat tercengang dengan modernisasi yang ditampilkan Jepang. Sembilan hari menjelang pembukaan Olimpiade 1964, Kota Tokyo memperkenalkan Shinkansen, sebuah jaringan kereta cepat pertama di dunia saat itu yang mampu melaju hingga kecepatan 300 kilometer (km) per jam.
Kereta peluru ini melayani Tokyo ke Osaka dan Nagoya sejauh 513 km dalam waktu empat jam. Mereka juga memperkenalkan sistem penghitungan lomba dengan akurasi sangat tinggi dan penyiaran pertandingan dengan sistem satelit.
Hal serupa dilakukan Korea Selatan ketika menggelar Olimpiade 1988. Negeri Ginseng ini baru saja bangkit setelah menghadapi krisis ekonomi dan politik delapan tahun sebelumnya. Namun mereka mampu membuktikan diri serta sukses sebagai tuan rumah.
Hal yang sama juga dialami Tiongkok ketika Beijing terpilih sebagai tuan rumah. Negeri Panda itu berhasil menyingkirkan kritikan pedas dunia sebagai salah satu kota terpolusi dan terjorok. Kemampuan Tiongkok membangun fasilitas-fasilitas olahraga sangat modern dan mewah diacungi jempol banyak negara.
Beijing juga menyediakan infrastruktur transportasi modern dengan bandar udara (bandara) besar dan sistem kereta cepat berteknologi tinggi. Otoritas Beijing juga mampu menjaga kualitas udara sesuai standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO agar aman bagi para atlet yang berlomba. Beijing bahkan merelokasi sejumlah pabrik pencemar polusi ke lokasi lain, di luar ibu kota Tiongkok itu.
Indonesia pun sebetulnya sejak jauh hari sudah mulai menyiapkan infrastruktur-infrastruktur olahraga berkualitas internasional. Hal itu dilakukan sejak pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) tak lagi dipusatkan di Jakarta.
Sejak 2008 hingga saat ini, PON secara rutin digelar di luar Jakarta. Pada 2008, Provinsi Kalimantan Timur menjadi tuan rumah. Empat tahun kemudian, giliran Riau menjadi tuan rumah PON ke-18 diikuti Jawa Barat pada 2016, dan Papua tahun depan. Tradisi ini akan terus berlanjut ketika pada 2024 Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatra Utara menjadi tuan rumah bersama.
Daerah-daerah tadi memunculkan pusat-pusat olahraga baru karena adanya infrastruktur-infrastruktur olahraga megah berkualitas internasional dibangun dengan anggaran tidak sedikit.
Mereka juga membangun infrastruktur pendukung seperti bandara, jalan, dan jembatan dengan kualitas sangat baik. Papua, misalnya, untuk keperluan PON 2021 telah selesai membangun sebuah kompleks olahraga bernilai hampir Rp4 triliun di Sentani, Jayapura.
Terdapat sejumlah fasilitas olahraga modern di dalamnya, termasuk Stadion Utama Lukas Enembe dan Arena Akuatik Lukas Enembe. Keduanya menjadi salah satu infrastruktur olahraga terbaik di Indonesia saat ini.
Stadion dan arena akuatik itu telah disertifikasi induk olahraga sepak bola dan renang dunia serta diizinkan untuk menggelar pertandingan-pertandingan internasional di Papua.
Peningkatan Kualitas Atlet
Kita melihat bahwa Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok telah membuktikan diri mampu menempa atlet-atlet mereka untuk menjadi pahlawan olahraga bagi negaranya.
Pada Olimpiade Tokyo 1964, atlet-atlet Negeri Sakura membawa negaranya bertengger di peringkat ketiga perolehan medali di bawah Uni Soviet dan Amerika Serikat yang keluar sebagai juara.
Hal serupa dilakukan atlet-atlet Korea Selatan pada 1988 saat membawa negara mereka berada di urutan keempat perolehan medali. Atlet-atlet Tiongkok memberi kejutan besar saat negara mereka menjadi tuan rumah.
Bermodalkan 51 medali emas, 22 perak dan 30 perunggu, mereka mengantarkan Tiongkok untuk pertama kali dalam sejarah sebagai juara umum Olimpiade.
Prestasi hebat para atlet asal Jepang, Korsel, dan Tiongkok tak hanya dilakukan ketika negaranya menjadi tuan rumah Olimpiade. Mereka konsisten menjaga posisi negaranya agar selalu berada di urutan 10 besar perolehan medali di sepanjang ajang Olimpiade yang diikuti negaranya.
Jepang, Korsel, dan Tiongkok telah lama bereksperimen untuk mengembangkan sektor olahraga di negara mereka hingga menjadi sebuah industri. Mereka melibatkan sains dan teknologi untuk memajukan olahraga di ketiga negara.
Presiden Komite Olimpiade Tiongkok Gou Zhongwen mengatakan, Pemerintah Tiongkok sejak 1995 telah membangun 620.000 gelanggang olahraga (GOR) dan stadion di penjuru negeri sebagai pusat pembinaan olahraga berbentuk akademi-akademi olahraga.
Sistem kurikulum khusus olahraga prestasi juga ikut disiapkan agar menghasilkan atlet-atlet profesional dan bermental juara. “Kami setiap tahun harus menyeleksi 4.000 bibit atlet unggulan untuk bertanding di ajang Olimpiade yang kami ikuti. Mereka berasal dari 20.000 lokasi pemusatan latihan di daerah-daerah,” kata Gou seperti dikutip dari Inside The Game, Maret 2019.
Indonesia tak perlu ragu untuk meniru langkah ketiga negara raksasa olahraga di benua Asia itu. Sudah saatnya induk-induk organisasi cabang olahraga di Tanah Air memanfaatkan kehadiran infrastruktur-infrastruktur olahraga berkelas internasional di daerah sebagai pusat pembinaan atlet-atlet muda berpestasi.
Ini agar fasilitas olahraga tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tidak terbengkalai. Kejuaraan-kejuaraan berskala nasional atau internasional harus secara rutin digelar.
Indonesia pernah mencetak sejumlah atlet juara Olimpiade dan semuanya dari cabang olahraga bulutangkis. Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ricky Subagja, Rexy Mainaky, Taufik Hidayat, Candra Wijaya, Tony Gunawan, Hendra Setiawan, Markis Kido, Tontowi Ahmad, dan Liliyana Natsir adalah para pebulutangkis yang telah membuat lagu Indonesia Raya berkumandang di arena Olimpiade.
Indonesia masih memerlukan lebih banyak lagi atlet-atlet dari berbagai cabang olahraga sekaliber mereka untuk bisa berbicara banyak di ajang Olimpiade 12 tahun lagi. Pemanfaatan sains dalam olahraga harus semakin ditingkatkan agar dapat memperbaiki teknik bertanding para atlet. Belum lagi upaya pemenuhan nutrisi untuk atlet.
Olimpiade Hemat Biaya
Pelaksanaan Olimpiade identik dengan anggaran besar. Tiongkok adalah contohnya di mana mereka telah menghabiskan biaya hingga USD40 miliar atau sekitar Rp560 triliun dengan kurs Rp14.200 per dolar untuk membangun seluruh fasilitas olahraga dan fasilitas pendukung saat Olimpiade 2008.
Negara itu juga memperluas kapasitas Bandara Internasional Beijing sehingga menjadi salah satu bandara terbesar di dunia. Tiongkok juga membangun kereta bawah tanah, jaringan kereta cepat, dan memperbanyak jalan tol baru.
Namun bertepatan dengan Hari Kota Sedunia pada 30 Oktober 2020 lalu Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach menyampaikan bahwa ke depannya Olimpiade diminta agar dilaksanakan secara sederhana dan hemat biaya. Tuan rumah Olimpiade harus mampu menampilkan sisi inovasi dan kreativitas dalam pelaksanaan dibandingkan bermewah-mewah.
Indonesia telah berpengalaman dengan pengelolaan anggaran yang terbatas. Ini dibuktikan ketika menjadi tuan rumah Asian Games 2018 meski dengan keterbatasan anggaran tetap mampu menghadirkan perhelatan yang mendapat pujian banyak pihak termasuk dari IOC.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, untuk mendanai Asian Games 2018 pemerintah mengeluarkan anggaran bersumber dari APBN 2015-2018 sebesar Rp24 triliun. Angka itu masih lebih kecil dari apa yang dikeluarkan Qatar dan Tiongkok saat menggelar Asian Games.
Qatar harus mengeluarkan hingga Rp36 triliun saat Doha menjadi tuan rumah Asian Games 2006 dan Tiongkok menggelontorkan Rp210 triliun agar ajang Asian Games 2010 di Guangzhou bisa terlaksana.
Berkaca dari hal itu, Indonesia diyakini bisa menggelar sebuah event Olimpiade yang bersahaja dan tak terlupakan dengan biaya yang hemat. Terlebih, pemerintah sejak enam tahun terakhir gencar berinvestasi pada pembangunan infrastruktur pendukung.
Mengutip data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hingga 2024 nanti di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi akan ada lebih dari 4.800 km jalan bebas hambatan baru. Begitu pula pembangunan belasan ribu kilometer ruas jalan baru di seluruh pulau. Sejumlah bandara dan pelabuhan baru juga ikut dibangun termasuk perluasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Infrastruktur perkotaan pun telah ikut dibenahi dengan terbangunnya jaringan kereta bawah tanah di Jakarta, kereta ringan di Jabodetabek dan Palembang, sistem bus terpadu terhubung jalan tol dalam kota, pembenahan jaringan kereta dalam kota,kereta cepat Jakarta-Bandung, dan rencana kereta cepat Jakarta-Surabaya.
Sektor pariwisata yang diharapkan dapat membantu menambah devisa negara saat Olimpiade digelar pun mulai dibenahi. Pemerintah berkreasi dengan mengembangkan 10 destinasi wisata baru selain Bali. Terakhir, pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade 2032 seperti dipesankan Presiden Joko Widodo, harus dilihat sebagai upaya kita menata diri dan memperbaiki berbagai hal yang masih kurang dan perlu ditingkatkan.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini