Pandemi Covid-19, sejak pertama kali terendus pada awal Maret 2020 telah mengubah banyak kebiasaan di masyarakat Indonesia. Kita pun harus menyesuaikan dengan apa yang disebut sebagai normal baru atau new normal demi menekan penyebaran virus ini. Tidak ada yang pernah menyangka jika sebagian dari kita harus bekerja dan belajar dari tempat tinggal sehingga muncul istilah bekerja dari rumah atau work from home (WFH) dan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Untuk keperluan beraktivitas bekerja atau belajar dari rumah diperlukan sistem jaringan telekomunikasi dengan fasilitas internet yang mumpuni. Ini dilakukan agar mampu membuka beragam aplikasi aktivitas daring untuk WFH dan PJJ tadi. Jika hal itu dilakukan di kota besar atau kawasan yang masih dilayani oleh para operator telekomunikasi atau seluler, mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Apalagi pemerintah juga turun tangan dengan ikut menyediakan fasilitas koneksi internet gratis di berbagai titik serta penyediaan kuota internet khusus bagi anak-anak sekolah.
Lalu bagaimana nasib mereka yang berada di wilayah yang berkategori terluar, terdepan, dan tertinggal atau 3T? Kesenjangan pasti akan muncul karena hanya sedikit sekali operator penyedia layanan telekomunikasi berbasis seluler atau internet yang berani masuk hingga ke wilayah 3T tadi. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau APJII menyebutkan, hingga akhir 2019 pengguna internet di tanah air sudah mencapai 200 juta orang di mana 56,4 persen berada di Pulau Jawa diikuti Sumatra (22,1 persen). Sedangkan Maluku dan Papua hanya sebesar 3 persen.
Memang pembangunan jaringan backbone kabel serat optik melalui Palapa Ring sudah selesai dilakukan pada tahun lalu. Namun hal itu belum cukup untuk bisa menyambungkan sistem telekomunikasi internet di seluruh negeri. Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, dari 83.218 desa/kelurahan di tanah air, sebanyak 12.548 desa/kelurahan belum terhubung layanan telekomunikasi berbasis 4G alias masih blank spot. Dari jumlah itu, sebanyak 9.113 desa/kelurahan berada di wilayah 3T.
Pemerintah, seperti dikatakan Menteri Kominfo Johnny G Plate, menargetkan untuk menyediakan jaringan internet bagi 9.113 desa/kelurahan di kawasan 3T paling lambat pada 2022. Semua ditangani oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), sebuah badan layanan umum yang dibentuk untuk membantu penyediaan layanan telekomunikasi dengan prioritas di wilayah 3T.
Satelit Kecepatan Tinggi
Untuk keperluan itu, Bakti memiliki sembilan satelit dengan status menyewa dan kapasitas total sebesar 50 gigabyte per second (Gbps). Namun jumlah itu pun masih belum mencukupi untuk mendukung layanan internet bagi fasilitas-fasilitas pelayanan masyarakat di wilayah 3T, seperti sekolah dan pondok pesantren, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), kantor pemerintahan daerah (desa, kelurahan, kecamatan), serta kantor polisi dan markas tentara. Oleh karena itulah, sungguh tepat rencana pemerintah untuk membangun satelit berbasis teknologi pita lebar (broadband). Melalui satelit yang diberi nama Satelit Republik Indonesia atau Satria, Indonesia pun bersiap memasuki era baru teknologi layanan internet dengan kehadiran satelit kapasitas sangat tinggi atau very high throughput satellite (VHTS).
Teknologi VHTS memungkinkan operator satelit mengoperasikan frekuensi secara berulang lebih efisien dan mampu menghasilkan kapasitas lebih dari 100 Gbps. Satria akan berbeda dengan satelit Palapa yang berteknologi tetap (fixed satellite service/FSS). Satria sendiri memiliki kemampuan 5-6 kali lipat dari satelit berteknologi FSS. Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah membangun infrastruktur untuk transformasi digital yang kuat dan inklusif demi mengurangi disparitas internet di seluruh negeri.
Satelit dengan operator PT Satelit Nusantara Tiga akan dibuat di pabrik Thales Alenia Space di Cannes, Prancis. Thales Alenia Space adalah sebuah perusahaan industri antariksa patungan Prancis dan Italia. Satria diperkirakan mengangkasa pada orbit 146 derajat Bujur Timur di akhir 2023 menggunakan roket buatan SpaceX, Falcon 9-5500. Proyek satelit senilai USD500 juta atau sekitar Rp7,1 triliun dengan kurs Rp14.200 per dolar ini akan memiliki masa orbit selama 15 tahun.
Banque publique d'investissement (BPI) France, sebuah bank investasi Prancis dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dibentuk Tiongkok akan menjadi bagian dari lembaga penjamin dari proyek satelit ini. Indonesia akan menjadi negara keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Luksemburg, dan Kanada yang memiliki satelit internet berkecepatan tinggi. Satria akan menjadi satelit internet terbesar yang pernah dimiliki oleh negara di Asia dengan kapasitas sebesar 150 Gbps. Kapasitas itu, seperti dikutip dari keterangan Direktur Utama Bakti Anang Latif, sangat mumpuni untuk menaungi layanan internet pada 150.000 titik (spot) di seluruh Nusantara yang belum tertangani Palapa Ring. Yakni, sebanyak 54.400 titik berada di Sumatra diikuti Sulawesi (23.900 titik), Jawa (19.400 titik), Kalimantan (19.300 titik), Papua dan Maluku (18.500 titik) serta sebanyak 13.500 titik di Bali dan Nusa Tenggara.
Bersifat Multifungsi
Satria bukan sekadar sebuah satelit berkecepatan sangat tinggi. Fasilitas internet yang digendong oleh itu juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan berbagai kualitas layanan di kawasan 3T. Satelit akan ikut membantu peningkatan kualitas proses belajar di 93.900 sekolah dan pesantren. Tak hanya itu, proses layanan kependudukan yang sudah berbasis internet juga akan semakin cepat dilakukan pada 47.900 kantor pemerintahan daerah (desa, kelurahan, kecamatan) dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat pada 3.700 puskesmas dan rumah sakit.
Dengan Satria, semua akan terasa lebih efisien, efektif, dan tentu saja lebih cepat dari sisi waktu. Kehadiran Satria juga ikut membantu aparat kepolisian dan TNI di 3.900 titik untuk keperluan keamanan masyarakat serta kepentingan pertahanan wilayah, terutama dalam mempermudah pengawasan aktivitas masyarakat di perbatasan. Bukan itu saja. Kehadiran Satria harus bisa dimanfaatkan para pegiat usaha mikro kecil menengah (UMKM) di daerah 3T untuk makin meningkatkan aktivitas perekonomian terutama yang berbasis digital.
Di sektor keuangan, Satria bakal menggoda penetrasi lebih luas bagi perbankan nasional untuk lebih banyak lagi membuka kantornya dan mempercepat penyaluran pembiayaan ultramikro di kawasan 3T. Hal ini tentunya akan mendorong percepatan terciptanya keuangan inklusif di seluruh Tanah Air. Ini semua baru dapat diwujudkan jika Satria sudah mengorbit pada 2023.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini