Indonesia.go.id - Alokasi APBN untuk Koperasi dan UMKM

Alokasi APBN untuk Koperasi dan UMKM

  • Administrator
  • Rabu, 2 Desember 2020 | 01:13 WIB
UU CIPTA KERJA
  Pekerja membungkus makanan ringan makaroni di pabrik Jaya Rasa, Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (10/11/2020). Kementerian Koperasi dan UKM bersama BPJS Ketenagakerjaan menyepakati program jaminan sosial ketenagakerjaan di sektor koperasi dan UMKM. Foto: ANTARA FOTO/Candra Yanuarsyah

Rancangan peraturan pemerintah (RPP) Cipta Kerja akan mewajibkan kementerian, lembaga, dan daerah mengalokasikan 40% belanja barang dan jasanya ke UMKM dan koperasi. Sembilan BUMN menyiapkan Rp35 triliun.

Keberpihakan negara pada koperasi dan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah tertera dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Nah, kini pemerintah tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) klaster koperasi dan UMKM terkait peran mereka dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Yang menarik, bila selama ini bentuk keberpihakan itu bersifat normatif, kini pemerintah membuatnya menjadi operasional dan lebih  mengikat. Pemerintah menyiapkan dalam bentuk regulasi.

Nantinya, RPP itu mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengalokasikan 40% anggaran belanja barang dan jasanya untuk mengambil pasokan barang dan jasa dari UMKM dan koperasi di daerah masing-masing. Ketentuan ini juga berlaku untuk pengadaan barang dan jasa oleh BUMN. Dalam konteks UMKM, pemerintah memang sangat serius memperhatikan nasib sektor usaha yang menyentuh pelaku usaha yang banyak menyerap tenaga kerja tersebut.

Lembaga UMKM Crisis Center menyebutkan, sektor UMKM berperan besar bagi ekonomi negara ini. Sektor itu menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja dan berkontribusi sekitar 60 persen atas produk domestik bruto (PDB). Persoalannya, seperti disampaikan oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, sektor UMKM saat ini menjadi yang paling terdampak oleh pandemi. Bahkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan, setelah September 2020 hampir separuh UMKM akan mengalami krisis atau gulung tikar.

Oleh karena itu, sebagai wujud afirmasi ke sektor UMKM, Presiden Joko Widodo akan mewajibkan seluruh kementerian atau lembaga (K/L) untuk belanja produk UMKM minimal 40%. Kebijakan ini bertujuan mendorong sektor UMKM agar segera pulih di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Apalagi mayoritas sektor usaha di Indonesia adalah pelaku UMKM. Nantinya, setiap K/L diwajibkan untuk membeli produk dan jasa dari sektor tersebut. Saat ini, pemerintah tengah menyusun aturan turunan, agar dasar hukum pelaksanaan lebih jelas.

"Presiden setuju bahwa 40% belanja K/L harus untuk UMKM. Dalam rapat terbatas, saya juga minta agar belanja K/L diprioritaskan ke UMKM. Ini juga sudah masuk dalam UU Cipta Kerja," ujar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam seminar virtual, Kamis (22/10/2020).

Tidak berhenti di situ, Teten melanjutkan, Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian BUMN akan melakukan sinergi untuk mewujudkan rencana tersebut. Bahkan, Menteri BUMN Erick Thohir diketahui telah memerintahkan seluruh perusahaan BUMN agar mengutamakan produk UMKM dalam belanja modal. "Kerja sama untuk pengadaan di BUMN mencapai Rp14 miliar ke bawah untuk UMKM,” ujarnya. Sekarang, baru ada sembilan BUMN yang menyatakan komitmen dengan nilai belanja sekitar Rp35 triliun. “Secara bertahap akan seluruh BUMN," jelas Teten.

 

Tumpuan Pemulihan

Dengan sejumlah upaya diharapkan pelaku UMKM akan memiliki ruang yang luas untuk meningkatkan eskalasi bisnis. Bahkan, kebijakan ini memberikan peluang bagi sektor UMKM untuk menjadi tumpuan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Seperti disampaikan di atas, pemerintah kini tengah menyiapkan RPP klaster UMKM UU Cipta Kerja. RPP itu akan mengatur peran UMK dan koperasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Salah satu bunyi Pasal 70 Ayat (3) RPP tersebut sangat jelas menyebutkan, "Kementerian BUMN memerintahkan pengalokasikan pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat kepada UMK serta koperasi yang dilakukan oleh BUMN, anak perusahaan, dan/atau perusahaan terafiliasi."  Pemerintah pusat dan pemda yang tidak memenuhi syarat pengalokasikan anggaran tersebut diancam sanksi administratif. Instansi pemerintah pusat yang tidak memenuhi syarat pengalokasian 40 persen itu akan dikenai sanksi berupa tidak dibayarkannya tagihan atas perbendaharaan negara. Adapun pemda yang tidak memenuhi syarat pengalokasian sebesar 40 persen tersebut akan dikenai sanksi pengurangan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).

Untuk mendukung kebijakan ini, lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah (LKPP) serta K/L dan pemda diminta memperluas peran serta UMK dan koperasi dengan mencantumkan produk dan jasa hasil produksi dalam negeri. Pemerintah pusat dan pemda juga diwajibkan memprioritaskan pemberian insentif dan kemudahan berusaha dalam proses pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Insentif yang diberikan, antara lain, pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak dan retribusi, pemberian bantuan modal, dan pemberian bunga pinjaman rendah.

Guna meningkatkan kemudahan berusaha, UMK juga akan mendapatkan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, dukungan fasilitas teknologi, dan kemudahan persyaratan dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa. Lebih lanjut, kelompok kerja pengadaan barang dan jasa juga dilarang menambah persyaratan yang tidak sesuai dengan ketentuan. UMK yang ikut melakukan penyediaan barang dan jasa juga dijamin akan mendapatkan uang muka 100% dengan jaminan kontrak kerja atau perjanjian kerja.

Rencana perluasan pemberian insentif oleh pemerintah tentu patut diapresiasi. Dengan adanya stimulus tambahan tersebut, harapannya usaha mikro dan kecil serta koperasi tetap berjalan dan semakin kuat. Mereka tetap di garda terdepan dan menjadi penggerak ekonomi bangsa.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini