Indonesia.go.id - Membangun Papua Lebih Cepat dan Tepat

Membangun Papua Lebih Cepat dan Tepat

  • Administrator
  • Sabtu, 12 Desember 2020 | 01:23 WIB
KEBIJAKAN
  Anggota Polisi Air dan Udara (Polairud) turut membagikan masker kepada tukang becak di Pulau Dom Sorong Kepulauan, Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (2/12/2020). Foto: ANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Presiden menerbitkan inpres sebagai pedoman pembangunan Papua yang lebih inovatif, inklusif, dan afirmatif dengan menekankan pada harmoni sosial dan demokrasi lokal.

Komitmen Pemerintah kepada Provinsi Papua dan Papua Barat tidak perlu diragukan. Sejumlah kebijakan sudah dilakukan. Mulai pembangunan jalan TransPapua, bandara, pelabuhan, pasar-pasar, sarana olahraga, menggelar program Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar, hingga terakhir tentang penambahan kapasitas daerah untuk melakukan surveilance dan penanggulangan pandemi Covid-19.

Untuk memastikan semua kebijakan berjalan seperti semestinya, pada 29  September 2020 terbit Instruksi Presiden (Inpres) tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Inpres ini dibuat sebagai pedoman agar arah pembangunan yang dilakukan jajaran kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk Papua dan Papua Barat lebih fokus dan padu.

Inpres nomor 9 tahun 2020 itu merupakan kelanjutan dari Perpres (Peraturan Presiden) nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Dalam inpres baru itu disebutkan perlunya langkah terobosan, terpadu, tepat, fokus, dan sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah guna mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat di dalam bingkai NKRI.

Presiden pun menginstruksikan kepada jajarannya untuk mengambil langkah pengawalan yang bersifat terobosan, terpadu, tepat, fokus, dan sinergi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi demi mempercepat pembangunan di kedua provinsi tersebut.

Untuk mengambil langkah-langkah terobosan itu, Presiden Jokowi memberikan rambu-rambu strategi, yakni:

  1. Pendekatan tata kelola pemerintahan yang baik, terbuka, dan partisipatif yang didukung oleh sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) dan kebijakan yang berbasis data dan informasi;
  2. Pendekatan pembangunan Papua dari perspektif sosial budaya, wilayah adat, dan zona ekologis dalam rangka pembangunan berkelanjutan, dan fokus pada orang asli Papua (OAP);
  3. Percepatan program pembangunan berbasis distrik (kecamatan) dan kampung di wilayah terpencil, wilayah tertinggal, wilayah pedalaman, pulau-pulau kecil, perbatasan negara, dan pegunungan yang sulit dijangkau;
  4. Penerapan pendekatan dialog dengan semua komponen masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga penyelenggara pemerintahan daerah;
  5. Pendampingan dan peningkatan terhadap aparatur pemerintah daerah dan pelibatan peran serta masyarakat;
  6. Pemberdayaan dan pelibatan aktif masyarakat lokal dan tokoh adat dalam pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan publik;
  7. Pemberdayaan pengusaha OAP dan pengusaha lokal Papua;
  8. Peningkatan kerja sama, kemitraan, dan kolaborasi dengan mitra pembangunan internasional, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, wirausaha sosial, filantropi, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya melalui instrumen kemitraan multipihak;
  9. Peningkatan pengelolaan komunikasi publik dan diplomasi yang terpadu dan terintegrasi.
  10. Peningkatan kerja sama kementerian/lembaga, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, pemerintah daerah, tokoh dan organisasi kemasyarakatan dalam menciptakan wilayah Pulau Papua yang aman, stabil, dan damai; dan
  11. Penguatan koordinasi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pembangunan di wilayah Pulau Papua.

Dalam instruksi itu, Presiden Jokowi juga menetapkan desain baru dan rencana aksi percepatan pembangunan kesejahteraan dalam semangat transformasi otonomi khusus berlandaskan pendekatan afirmatif, holistik, berkesetaraan gender, dan kontekstual Papua yang difokuskan pada lima kerangka baru untuk Papua (the new framework for Papua), yaitu:

  1. Percepatan pembangunan sumber daya manusia unggul, inovatif, dan berkarakter yang mempertimbangkan kontekstual Papua di seluruh wilayah Pulau Papua yang dikhususkan kepada OAP;
  2. Percepatan transformasi dan pembangunan ekonomi Papua yang berkualitas dan berkeadilan dengan pertimbangkan keterkaitan antarwilayah, kota-kampung, wilayah adat, kemitraan antarpelaku ekonomi, dan potensi sektor-sektor ekonomi daerah yang dikelola secara terpadu dari hulu ke hilir yang terfokus kepada OAP;
  3. Percepatan pembangunan infrastruktur dasar secara terpadu guna mendukung pelayanan publik dan transformasi ekonomi di seluruh wilayah Pulau Papua;
  4. Peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, dan pembangunan rendah karbon sesuai kearifan lokal, zona ekologis, dan penataan ruang wilayah di Pulau Papua dengan memperhatikan kearifan lokal; dan
  5. Percepatan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik dalam kerangka penguatan otonomi khusus, pelayanan publik, demokrasi lokal yang inklusif, harmoni sosial, dan keamanan daerah yang aman dan stabil serta penghormatan dan perlindungan nilai- nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.

 

Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) John Wempi Wetipo menyambut baik Inpres nomor 9 tahun 2020 itu. Ia mengatakan, percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat memang perlu menggunakan pendekatan kearifan lokal.

"Di dalam inpres itu, kearifan lokal sudah ada dan harus diprioritaskan. Tidak hanya di Papua, juga di Papua Barat yang memiliki kurang lebih tujuh wilayah adat, yakni Lapago, Meepago, Animha, Saireri, Mamta, Domberai, serta Bomberai," katanya.

Menurut mantan Bupati Jayawijaya ini, dengan pendekatan kearifan lokal itu, pembangunan segala bidang yang dilaksanakan di Papua tetap menjadikan orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri. "Semua ini tentu membutuhkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah," ujarnya.

Lebih jauh, ia  mengharapkan, implementasi di lapangan dapat lebih melibatkan tokoh-tokoh yang paham mengenai kondisi Papua. "Jika tidak melibatkan tokoh-tokoh yang paham kondisi Papua diprediksi implementasi Inpres nomor 9 ini sulit berjalan sebagaimana mestinya," katanya.

Wempi berharap, tim yang ditunjuk mengurus hal tersebut dapat bekerja sesuai dengan masing-masing bidang tugasnya. "Tujuan dari Inpres nomor 9 sendiri adalah untuk menjadikan Papua sama berkembangnya dengan provinsi lain, sehingga perlu diseriusi dengan baik," ujarnya lagi.

Dalam sebuah laporan, Kantor Staf Presiden menyebutkan sejumlah indikator yang menunjukkan membaiknya kondisi sosial ekonomi Papua dan Papua Barat pada periode 2015-2019. Pada periode itu, angka kemiskinan di Papua turun dari 28,40 persen menjadi 27,53 persen, dan Papua Barat turun dari 25,72 persen menjadi 22,17 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua naik dari 57,25 ke 60,84, sedangkan Papua Barat dari 61,73 ke 64,7. 

“Bukti transformasi ekonomi berjalan baik di Papua,” kata Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono.

Edy menambahkan, studi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuian Indonesia (LIPI) dan The Asia Foundation pada 2018 menunjukkan, pembangunan jaringan jalan (akses dan konektivitas) terbukti memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Mereka bisa menjual barang dagangan ke luar daerah dalam jumlah lebih banyak dibandingkan sebelumnya. 

Perbaikan konektivitas juga memperbaiki kehidupan sosial, karena dengan itu masyarakat bisa lebih sering saling mengunjungi. “Pembangunan jalan mendorong penurunan biaya dan waktu tempuh,” ujar Edy.

Lebih jauh, lanjut Edy, tingkat pengangguran terbuka dua provinsi tersebut mengalami penurunan selama periode 2015-2019, yaitu dari 3,99 persen menjadi 3,65 persen untuk Papua dan dari 8,08 persen menjadi 6,24 persen untuk Papua Barat.

Namun Edy mengakui, pertumbuhan ekonomi Papua pada 2019 memang negatif, disebabkan oleh penurunan tajam produk domestik regional bruto (PDRB) dari sektor pertambangan akibat transisi sistem produksi PT Freeport dari tambang terbuka menjadi tambang bawah tanah. Tetapi sektor pertambangan dikeluarkan, pertumbuhan ekonomi Papua 2019 cukup bagus, yaitu 5,03 persen (ketika pertumbuhan ekonomi nasional 5,02 persen). “Artinya kita bisa mengatakan bahwa secara umum distribusi pendapatan di wilayah Papua dan Papua Barat membaik,” ungkap Edy.

Di sisi lain, pada akhir 2019, pemerintah meresmikan beroperasinya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong, Papua Barat. Edy mengatakan, KEK Sorong difokuskan pada industri pengolahan hasil tambang (nikel) dan hasil hutan/perkebunan. “Hal itu merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah untuk menyebar pusat pertumbuhan ekonomi agar tidak hanya menumpuk di bagian Barat Indonesia,” ujar Edy.

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini