Situasi mendapatkan likuiditas modal di pasar global kini semakin ketat. Pembatasan mobilitas sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang merontokkan pertumbuhan ekonomi setahun terakhir ini mendesak sejumlah negara mencari pembiayaan alternatif. Negara dan korporasi saling berebut dana murah untuk pembiayaan.
Keberadaan sovereign wealth fund (SWF) atau lembaga pengelola investasi (LPI) bagi Indonesia adalah salah satu terobosan untuk menjaring pembiayaan pembangunan nasional yang semakin besar ke depan.
Di samping itu, SWF ini untuk meningkatkan foreign direct investment (FDI) Indonesia dan menurunkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
LPI atau Indonesia Investment Authority (INA) resmi bekerja pada awal 2021, seiring dengan pelantikan Dewan Pengawas LPI oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (27/1/2021).
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyebut LPI sebagai kendaraan finansial yang akan digunakan negara untuk mengatur dana publik. Diharapkan ke depan, melalui investasi yang dilakukan LPI terhadap dana milik negara, stabilitas ekonomi bisa tercapai.
LPI Indonesia akan memiliki enam kewenangan utama, yakni penempatan dana dalam instrumen keuangan, pengelolaan aset, kerja sama dengan pihak lain, termasuk entitas dana perwalian (trust fund), menentukan calon mitra investasi, memberikan dan menerima pinjaman, dan menatausahakan aset.
Modal awal LPI disuntikkan sebesar Rp15 triliun, lalu diharapkan akan terpenuhi pada 2022 sebesar Rp75 triliun. Pemerintah optimistis, dana kelolaan LPI dalam waktu tidak lama akan mencapai USD600 miliar atau (Rp8.000 an triliun).
Meski masih bayi, sejumlah negara sudah menyatakan ketertarikannya pada LPI Indonesia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Kanada.
Model Negara Lain
Merujuk pada SWF Institute, dana kelolaan SWF negara-negara di dunia hingga 2020 mencapai sekira USD7,1 triliun. SWF sendiri bukan hal baru.
Negara-negara Arab Teluk adalah perintis lembaga pengelola dana negara tersebut. Lembaga model SWF pertama kali didirikan di Kuwait tahun 1953, yakni Kuwait Investment Authority (KIA). Dana kelolaan Kuwait berbasis komoditas minyak. KIA sekarang menduduki peringkat lima besar dunia dengan aset USD533,65 miliar.
Tetangganya, Uni Emirat Arab (UAE), menyusul pada 1976 dengan mendirikan Abu Dhabi Investment Authority yang kini menjadi SWF nomor tiga terkaya dunia dengan aset USD579,6 miliar.
Umumnya SWF didirikan pascabooming komoditas ekspor yang menghasilkan devisa hasil ekspor (DHE). Pada era 1960-an hingga 1990-an, komoditas migas menjadi andalan ekspor banyak negara. Keuntungan petrodolar dikelola dengan maksimal oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah.
Harus diakui, SWF berbasis komoditas lebih kuat dibanding nonkomoditas, dengan menguasai 6 dari 15 SWF terbesar dunia saat ini. Sedangkan SWF nonkomoditas terbesar adalah Global Investment Corp (GIC/Singapura) beraset USD453,2 miliar.
Global Investment Corp didirikan pada 1981. Dalam operasionalnya GIC membentuk unit usaha yang sekarang sudah mendunia termasuk merambah hingga ke industri telekomunikasi Indonesia (Temasek Holdings). Temasek juga mengelola aset SWF senilai USD417,35 miliar.
Sukses Singapura tersebut ditiru oleh Tiongkok dengan membentuk China Investment Corporation (CITIC) pada 2007 dan Korea Selatan pada 2006, menyusul Jepang dan India. Tapi dari segi aset, SWF Tiongkok mendominasi di peringkat 20 besar dunia. Aset CITIC saat ini malah nomor dua terbesar dunia dengan nilai USD1,045 triilun atau hampir Rp15.000 triliun.
Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (25/1/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah mempunyai tolok ukur (benchmark) dari berbagai negara yang sudah lebih dulu mengelola SWF.
Pertama, Norwegian Oil Fund (NOF) yang sumber dananya berasal dari surplus hasil migas negara tersebut. NOF saat ini memiliki dana kelolaan sebesar USD1,2 triliun (data Januari 2021). Tujuan investasi yaitu imbal hasil (financial return) dan fokus ke publicly listed company secara jangka panjang.
Adapun kriteria investasi paling tinggi adalah investasi saham atau equity sebesar 60% dari total aset portofolio. Dana tersebut dikelola oleh badan khusus di bawah Bank Sentral Norwegia (Norges Bank Investment Management/NBIM). SWF Norwegia di pasar global dinamakan Norway Pension Government Fund Global. Lembaga ini adalah pengelola SWF terbesar di dunia.
Kedua, Government of Singapore Investment Corporation (GIC), SWF milik Singapura dengan dana kelolaan lebih dari USD400 miliar. Target investasi GIC yaitu financial return dan fokus ke publicly listed company secara jangka panjang. Kriteria investasi terdiri dari asset class antara lain global equities, bonds, private equity, dan real estate.
Ketiga, National Investment & Infrastructure Fund (NIIF), yakni SWF milik India. NIIF memiliki aset kelolaan sebesar USD3 miliar yang sumber dananya berasal dari internal dan FDI. Tujuan investasi yaitu imbal hasil dan meningkatkan FDI.
Adapun, kriteria investasi NIIF yaitu menggandeng co-investment partners, mendorong perkembangan sektor infrastruktur jangka panjang. Entitas perusahaan yaitu berbentuk trust fund yang diinvestasi langsung oleh pemerintah India. Kerangka kerja regulasi SWF ini diawasi oleh komite yang diketuai Menteri Keuangan.
Dengan berkaca pada para raksasa SWF ini, diharapkan LPI Indonesia mampu menggarap investasi secara transparan, tata kelola yang baik, memperhatikan manajemen risiko dan bermanfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari