Pembatasan luas penggunaan lahan perkebunan merupakan upaya mendorong pemerataan bagi pelaku usaha.
Penggunaan lahan bagi kepentingan budi daya tanaman perkebunan kini dituntut lebih efektif dan efisien. Selain itu, regulasi yang baru juga menuntut tetap terpeliharanya kemampuan sumber daya alam dan terjadinya pemerataan perekonomian bagi pelaku usaha.
Latar belakang itulah yang menjadi pijakan ketika pemerintah melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Sektor Pertanian.
Dalam beberapa kali kesempatan, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono menjelaskan, penetapan batas maksimum dan minimum luas lahan perkebunan ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, lahan untuk budi daya tanaman perkebunan menjadi salah satu faktor produksi utama. Namun, lahan untuk budi daya perkebunan pun semakin terbatas. Hal ini bisa terjadi akibat bertambahnya jumlah penduduk atau adanya peningkatan penggunaan lahan untuk sektor lain.
Dia pun menambahkan, penggunaan lahan untuk keperluan budi daya tanaman perkebunan juga harus dilakukan secara efektif dan efisien serta dengan memperhatikan terpeliharanya kemampuan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan. “Faktor pemerataan perekonomian bagi pelaku usaha itu perlu sehingga harus perlu dilakukan pembatasan luas maksimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan," ujarnya.
Izin Baru
Kementan juga memastikan bahwa pembatasan penggunaan lahan untuk usaha perkebunan pada delapan komoditas strategis hanya berlaku bagi perizinan usaha yang terbit setelah PP nomor 26 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian diberlakukan pada 2 Februari 2021.
Ke delapan komoditas perkebunan strategis tersebut meliputi kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, tebu, teh, dan tembakau. PP nomor 26 tahun 2021 merupakan peraturan pelaksana dari UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang diundangkan pada 2 November 2020.
Bagaimana penjelasannya dari bunyi PP nomor 26 tahun 2021? Pada Pasal 2 (1) disebutkan bahwa penggunaan lahan untuk usaha perkebunan ditetapkan batasan luas maksimum dan minimum. Pasal 2 (1) menyebutkan, batasan luas maksimum dan minimum diterapkan terhadap komoditas perkebunan strategis tertentu. Lalu, Pasal 2 (3) menambahkan, penetapan batasan luas harus mempertimbangkan jenis tanaman dan ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat.
Nah, soal pembatasan sangat jelas disebutkan di Pasal 3 (1). Batasan luas maksimum yang wajib dipenuhi perusahaan perkebunan meliputi kelapa sawit 100.000 hektare (ha), kelapa 35.000 ha, karet 23.000 ha, kakao 13.000 ha, kopi 13.000 ha, tebu 125.000 ha, teh 14.000 ha, dan tembakau 5.000 ha.
Pasal 3 (2) menyebutkan, batasan luas maksimum berlaku untuk satu perusahaan perkebunan nasional. Pasal 4 (2) menyebutkan, batasan luas minimum yang wajib dipenuhi perusahaan perkebunan meliputi kelapa sawit 6.000 ha, tebu 2.000 ha, dan teh 600 ha.
Pasal 5 (1) menyebutkan, perusahaan perkebunan yang tidak dapat memenuhi batasan luas minimum dapat melakukan kemitraan. Pasal 5 (2) menambahkan, dalam melakukan kemitraan, perusahaan perkebunan harus memiliki lahan minimum 20% dari luas lahan yang diusahakan sendiri.
“Merujuk ketentuan peralihan dan keputusan rapat koordinasi antarkementerian, berlaku pengecualian (grandfather clause) untuk perizinan yang sudah berjalan, pembatasan penggunaan lahan hanya untuk perizinan setelah PP nomor 6 tahun 2021 diundangkan,” kata Sekjen Kementan Momon Rusmono, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR tentang PP turunan UUCK, Rabu (17/3/2021).
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono tak mempersoalkan tentang aturan ini, khususnya berkaitan dengan batasan luas maksimal penggunaan lahan kelapa sawit. Menurutnya, batasan tersebut masih baik. "Saya pikir batasan tersebut masih oke, sepanjang diterapkan untuk setiap PT/legal entity. Dan yang penting, peraturan tidak berlaku surut," katanya.
Memang benar. Regulasi baru melalui PP nomor 26 tahun 2021 hanya berlaku bagi izin usaha baru. Dari delapan komoditas strategis tentu perkebunan sawit yang dianggap paling seksi dan popular.
Dan, tidak dipungkiri CPO sebagai produk perkebunan sawit hingga kini masih menjadi penyelamat kinerja neraca perdagangan Indonesia. Realitas itu bisa terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik sumbangan sektor pertanian masih berkontribusi USD0,65 miliar atau 2,12 persen dari total ekspor nasional sepanjang Januari–Februari 2021.
Wajar saja, sektor perkebunan menjadi sektor strategis dan dibanggakan, yakni komoditas kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi. Artinya, sektor perkebunan berkontribusi besar dalam upaya pemulihan ekonomi nasional (PEN) di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari