Indonesia.go.id - Fundamental Ekonomi Indonesia Masih Solid

Fundamental Ekonomi Indonesia Masih Solid

  • Administrator
  • Rabu, 20 Juli 2022 | 09:23 WIB
EKONOMI KUARTAL II
  Calon pembeli mencoba sepatu yang dijual pada Pagelaran Sabang-Merauke di Djakarta Theater, Jakarta Pusat. Alas kaki, makan dan tembakau menjadi penyumbang tertinggi dalan menyumbang pertumbuhan ekonomi. ANTARA FOTO
PMI Indonesia pada kuartal II-2022 yang tercatat mencapai 53,6 persen atau lebih tinggi dari kuartal I-2022 sebesar 51,7 persen.

Perekonomian dunia kini tengah berada di persimpangan jalan. Sejumlah negara mengalami inflasi. Begitupun, krisis energi dan pasokan pangan yang dialami dunia, sebagai dampak perang Ukraina vs Rusia.

Di tengah kondisi itu, perekonomian Indonesia masih menunjukkan pada jalurnya. Kontan sikap optimisme masih terus menyeruak sebagai gambaran ekonomi negara masih cukup kuat menopang perjalanannya ke depannya.

Sejumlah indikasi itu sangat jelas tergambarkan dari survei terakhir yang dilakukan Bank Indonesia, yakni survei indeks keyakinan konsumen (IKK) yang dilakukan Mei 2022. Hasil survei itu memberikan gambaran bahwa konsumen masih optimistisbahwa kondisi ekonomi terus menguat.

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono-- mengutip hasil survei yang dilakukan bank sentral--menjelaskan bahwa hasil survei IKK Mei 2022 tercatat mencapai 128,9, lebih tinggi dari 113,1 pada bulan sebelumnya. Apa saja yang menjadi faktor peningkatan dari IKK tersebut?

Mengutip hasil survei IKK, peningkatan indeks itu terpantau pada seluruh kategori pengeluaran, usia, dan tingkat pendidikan responden.  Secara spasial, peningkatan IKK terjadi di hampir seluruh kota cakupan survei, dengan yang tertinggi di kota Bandung, diikuti kota Pangkalpinang, dan Mataram.

Keyakinan konsumen pada Mei 2022 yang menguat didorong oleh meningkatnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini. Peningkatan tersebut terjadi pada persepsi terhadap penghasilan saat ini, ketersediaan lapangan kerja, dan pembelian barang tahan lama (durable goods).

Tidak itu saja, penguatan keyakinan konsumen pada Mei 2022 juga didorong oleh meningkatnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan, terutama ekspektasi terhadap kondisi usaha ke depan. Dari hasil survei itu, kondisi perekonomian yang kuat juga tergambarkan dari kinerja industri pengolahan pada kuartal II-2022, yang meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, seperti disampaikan oleh Bank Indonesia dalam pernyataan resminya, Kamis (14/7/2022).

Bank sentral itu juga baru saja mengeluarkan prompt manufacturing index atau PMI Indonesia pada kuartal II-2022 yang tercatat mencapai 53,6 persen atau lebih tinggi dari kuartal I-2022, sebesar 51,7 persen.

Peningkatan ini mencerminkan bahwa manufaktur Indonesia masih berada dalam fase ekspansi (indeks>50). Pertumbuhan kinerja manufaktur terjadi pada seluruh komponen pembentuk PMI, dengan indeks tertinggi pada volume produksi, total pesanan, serta persediaan barang jadi.

Masih menurut rilis Bank Indonesia, peningkatan itu terjadi pada seluruh komponen pembentuk PMI-BI, dengan indeks tertinggi pada komponen volume produksi, volume total pesanan, dan volume persediaan barang jadi. Berdasarkan subsektor, peningkatan terjadi pada mayoritas subsektor, dengan indeks tertinggi pada subsektor tekstil, barang kulit dan alas kaki (56,05 persen), makanan, minuman dan tembakau (54,60 persen), serta logam dasar besi dan baja (53,47 persen).

Menurut Bank Indonesia, perkembangan PMI-Bank Indonesia tersebut sejalan dengan perkembangan kegiatan sektor industri pengolahan pada survei kegiatan dunia usaha (SKDU) yang positif dan meningkat dengan nilai saldo bersih tertimbang (SBT) sebesar 2,19 persen. Saldo bersih tertimbang adalah perkalian antara saldo bersih dan bobot masing-masing sektor ekonomi.

Saldo bersih dihitung dengan cara mengurangkan persentase responden yang menjawab naik dengan persentase responden yang menjawab turun. Bila hasilnya positif, itu artinya ekspansi. Sedangkan bila negatif, itu artinya kontraksi.

Bila ditelaah lebih jauh, masih dengan parameter PMI-Bank Indonesia, harus diakui aktivitas manufaktur memang masih cukup ekspansif pada periode tersebut.

Namun, seluruh pemangku kepentingan negeri ini juga harus menyadari bahwa kinerja sepanjang Juni sebenarnya terjadi pelambatan dalam 10 bulan terakhir. Artinya, ada tren perlambatan permintaan luar negeri.

Ekspansi permintaan faktanya sangat ditopang dari pesanan domestik. Sejumlah sentimen dan kendala dari sisi input masih membayangi kinerja manufaktur.

Sengkarut di rantai pasok tidak mudah diurai, sehingga ketersediaan bahan mentah relatif langka. Kalaupun ada, harganya mahal dan berdampak terhadap penambahan beban produksi.

Risiko peningkatan biaya produksi tentu bakal mendorong produsen untuk berbagi beban dengan konsumen. Ini akan memperburuk tingkat inflasi, yang ujung-ujungnya mengganggu permintaan domestik.

Perlu juga diketahui, inflasi Indonesia kini berada di angka 4,3 persen, sudah mencapai batas atas. Bank Indonesia dan otoritas moneter terus menjaga batas tersebut.

Dalam konteks ini, pengendalian rantai pasok bahan mentah ke industri manufaktur akan sangat vital untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi.

Langkah ini juga akan menentukan tingkat inflasi yang harus dijaga setidaknya dalam dua kuartal terakhir tahun ini. Apalagi, bangsa ini telah menetapkan sektor industri manufaktur memegang peranan penting dalam upaya pemulihan ekonomi.

Geliat manufaktur otomatis mendorong pertumbuhan produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, meningkatkan ekspor, hingga memacu investasi.

Selama semester pertama tahun ini, progres pemulihan ekonomi sudah berjalan lebih baik. Bank Dunia bahkan mengapresiasi Indonesia sebagai salah satu negara yang mampu menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi setelah pandemi Covid-19 mereda.

Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam beberapa waktu terakhir sangat mungkin terganggu apabila kinerja manufaktur tidak dijaga dengan antisipasi yang tepat. Pasalnya, tekanan eksternal dari gejolak ekonomi global sangat berpotensi juga menjalar ke domestik.

Pengalaman yang terjadi, berupa inflasi yang tinggi di Amerika Serikat, harus menjadi peringatan bagi bangsa ini untuk mendeteksi arah perekonomian ke depan. Sebab, bakal memengaruhi arus modal di Indonesia.

Terlepas dari semua itu, bangsa ini tetap harus percaya diri untuk terus mendorong perbaikan ekonomi ke depan yang berkelanjutan. Secara fundamental, perekonomian Indonesia masih cukup solid.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari