Tenaga kerja Indonesia (TKI) tercatat sebagai yang terbesar di antara pekerja migran di Taiwan. Dari 706 ribu pekerja asing yang ada saat ini (54% perempuan dan 44% laki-laki) sebanyak 271 ribu orang (38%) berasal dari Indonesia. Disusul kemudian pekerja dari Vietnam 221 ribu dan Filipina 154 ribu. Sebagian besar mereka (63%) bekerja pada usaha hortikultura (buah dan sayuran, usaha perikanan) serta industri manufaktur yakni 63%. Selebihnya, sebagai asisten rumah tangga.
Pekerja migran Indonesia kini juga telah banyak mengisi kebutuhan tenaga di Korea Selatan, Jepang, Macau, Turki, bahkan Eropa. Itu di luar jalur migrasi klasik TKI yang ke Hong Kong, Brunei, Malaysia, Singapura, Brunei, dan negara-negara Arab terutama Saudi.
Secara keseluruhan jumlah TKI ini tidak mudah dihitung. Kementerian Luar Negeri mencatat, jumlah mereka sekitar 4,3 juta (2018). Namun, Kementerian Tenaga Kerja memperkirakan di atas 5 juta. Tak mudah memastikan. Selain mereka datang dan pergi, sebagian lagi telah mendapatkan visa tinggal dan memboyong keluarga mereka, meski mereka tetap berstatus WNI.
Namun, pada 2018 hanya tercatat sekitar 3,6 juta TKI yang aktif mengirimkan uang keringatnya ke tanah air, menghasilkan remitansi USD11 triliun, lebih dari Rp155 triliun. TKI menjadi penghasil devisa terbesar kelima setelah migas, batubara, minyak sawit, serta pariwisata. Kontribusi TKI amat berarti.
Boleh jadi, masih ada remitansi lainnya yang dikirim tanpa melalui jasa perbankan sehingga tak bisa dicatat. Bukan rahasia lagi, banyak TKI yang membawa pula uang ringgit, dolar Hong Kong atau riyal Arab Saudi dalam bentuk tunai. Ada taksiran bahwa devisa riil yang dihasilkan TKI dapat menembus angka lebih dari Rp175 triliun pada 2018.
Tidak heran bila dalam pertemuan pimpinan KADIN dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, 12 Juni lalu, kontribusi devisa TKI tetap diharapkan untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan yang semakin lebar. Sektor TKI meski memperoleh penguatan mengingat potensinya amat besar.
Pembenahan di sektor TKI memang berpeluang meningkatkan devisa. Filipina adalah contoh negara yang sangat terbantu oleh tenaga kerja migrannya. Pada 2018, 3,5 juta tenaga kerja asal Filipina mampu menyumbang devisa USD33 miliar untuk negaranya. Secara rata-rata, tenaga kerja asal Filipina menerima imbalan tiga kali lipat dibandingkan TKI.
Kenyataan itu tak lepas dari kualifikasi tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri. Sebagian besar TKI, yakni 32% bekerja di sektor domestik sebagai asisten rumah tangga. Porsi kedua terbanyak adalah pekerja di usaha perkebunan yakni 19%, terutama di Malayisa. Pekerja kontruksi dan buruh pabrik porsinya 18% dan 9%. Selebihnya perawaat orang tua (6%), staf toko atau hotel 4%, sopir 2%, dan awak kapal 0,5%. Lebih separuh TKI bekerja di Malaysia.
Jenis pekerjaan itulah yang membuat remitansi pekerja Filipina lebih tinggi remitansinya. Pekerja Filipina bisa meraih peluang masuk ke manajer industri, sektor keuangan, perbankan, teknologi informasi, keteknikan, staf adminitrasi, penjaga konter di mal-mal, operator mesin, dan berbagai pekerjaan yang menuntut kecakapan teknis dan kemahiran berbahasa Inggris. Tak sedikit warga kelas menengah Filipina yang bersedia keluar negeri menjadi pekerja migran.
Karena bekerja di sektor formal dengan kualifikasi yang diakui, pekerja Filipina misa mendapatkan kontrak kerja yang baik, jelas hak dan kewajibannya. Sementara itu, TKI yang bekerja di sektor rumah tangga (domestik) tak semuanya bisa mendapatkan kontrak kerja yang aman-terlindungi.
Perbaikan tata kelola pengiriman TKI terus dilakukan. UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, bahkan mengamanatkan agar pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) sampai pemerintah desa, ikut bertanggung jawab membekali calon TKI dengan dokumen yang legal dan keterampilan yang diperlukan.
Dengan adanya pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, calon pekerja migran tak harus mengikuti pelatihan yang diadakan perusahaan pengerah TKI yang biasanya mengenakan biaya cukup tinggi. Biaya pelatihan itu cukup membebani calon TKI. UU itu juga mengamanatkan agar TKI dikirim ke negara-negara yang memiliki UU Perlindungan terhadap pekerja migran.
Namun, dalam beberapa hal, UU nomor 18/2017 itu masih memerlukan peraturan pelaksanaanya bentuk peraturan pemerintah (PP). PP ini diperlukan antara lain untuk mengatur ihwal pendidikan keterampilan calon TKI yang harus dilakukan pemerintah daerah. Bekal keterampilan akan membawa TKI bekerja di sektor formal. (P-1)