Calon inkumben Joko Widodo sudah bisa dipastikan akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua 2019-2024 setelah Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan berkaitan dengan sengketa hasil pemilihan presiden 2019. Putusan MK itu tentu melegakan semua pihak.
Bagi Joko Widodo-Ma’ruf Amin, duet pasangan yang memenangkan pilpres 2019-2024, tantangan pembangunan Indonesia ke depan juga tidaklah mudah. Namun, semua itu akan menjadi mudah bila semua pemangku kepentingan bangsa ini mau bekerja keras dan memiliki tekad yang sama untuk kemajuan.
Pasalnya, Indonesia berpeluang menjadi negara maju, mensejajarkan dirinya bersama negara emerging country lainnya, seperti Cina, India, Brazil, dan Meksiko. Peluang itu sangat besar. Bahkan, bila menggunakan pendekatan daya saing global, negara ini cukup mendukung menuju ke arah itu.
Bisa dikatakan, negara ini sudah berada di jalur yang benar untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru dunia. Pasalnya, sejumlah parameter cukup mendukung ke arah itu. Misalnya, dalam konteks kemudahan berusaha atau easy of doing business.
Seperti dilansir oleh Bank Dunia, Easy of Doing Business Indonesia menduduki peringkat ke-73 pada 2018. Pemeringkatan ini dilakukan setiap tahun oleh Bank Dunia. Khusus tahun ini, bank itu belum mengeluarkan pemeringkatan, dan harapannya peringkat Indonesia semakin baik.
Sejumlah parameter kemudahan berbisnis di negara ini sudah cukup mumpuni dan menarik bagi investor sehingga mereka berlomba-lomba masuk ke Indonesia. Begitu juga laporan terakhir dari lembaga pemeringkat global Standard & Poor (S&P) yang menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi BBB dari semula BBB-.
Seperti dilansir dalam laporan 31 Mei 2019, lembaga itu memberikan peringkat 'BBB' karena Indonesia mampu menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang kokoh didukung oleh kebijakan fiskal yang prudent.
Bahkan, meskipun ketika itu Mahkamah Konstitusi belum memutuskan soal sengketa pilpres, S&P sudah berani memproyeksi kondisi ini akan terus berlanjut seiring dengan terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia untuk periode 2019-2024.
Dalam laporannya, S&P menuliskan bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih cepat daripada rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama.
Pertumbuhan riil per kapital Produk Domestik Bruto (PDB) negara ini mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun).
Dapat Apreasiasi
Sebagai perbandingan, negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Ini sungguh prestasi yang mengesankan, menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat tersebut.
Di sisi lain, capaian tersebut juga menunjukkan kebijakan yang disusun pemerintah efektif dalam menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi eksternal yang menantang dalam beberapa tahun terakhir.
Terlepas dari semua itu, di periode kedua Pemerintahan Joko Widodo tentu kini mulai berpikir keras untuk menggenjot pertumbuhan perekonomian negara ini. Tujuannya investasi masuk ke dalam negeri dengan deras.
Khusus di kuartal II 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI telah memperhitungkan sentiment-sentimen yang memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia.
Berdasarkan kondisi itu, dia hanya berani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun ini di kisaran 5,02%-5,13%. Sri Mulyani pun mengakui prediksi pertumbuhan sebesar itu masih lebih rendah dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,27%.
Bagaimana dengan tahun depan? Seperti disampaikan Sri Mulyani, pemerintah tengah menyusun kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal untuk Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020. Target pun telah dipatok dengan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,3%-5,6%.
Dan, untuk memacu pertumbuhan itu, instrumen yang dipakai pemerintah adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau pertumbuhan investasi yang berada di kisaran 7%-7,4%.
Pertanyaan selanjutnya investasi itu diharapkan diperoleh dari mana? Sri Mulyani pun menjawab pemerintah mengharapkan investasi itu berasal dari pemerintah, BUMN, perusahaan nonBUMN, modal asing, dan dari swasta.
Seirama dengan pernyataan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengemukakan pemerintah dan DPR sudah mencapai kesepakatan untuk memenuhi target pertumbuhan investasi dan ekonomi di kisaran 7%-7,4%,
Dari kisaran pertumbuhan investasi sebesar itu, negara ini membutuhkan investasi yang masuk mencapai Rp5.802,6-Rp5.823,2 triliun. Sebuah target yang cukup ambisius namun bukan tak mungkin untuk diraih, apalagi sejumlah sinyal yang positif sangat mendukung ke arah tersebut. (F-1)